Senin, 06 Mei 2013

Bahaya Gerilya Papua Merdeka di Inggris

 Nama Benny Wenda telah dihapus dari daftar buronan Interpol. 

 Atribut OPM di Amsterdam, Belanda
Tokoh gerakan kemerdekaan Papua, Benny Wenda, terus bergerilya di Inggris--khususnya setelah namanya dihapus dari daftar buronan Interpol. Pada 28 April 2013 lalu, ia bahkan meresmikan kantor pusat Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris.

Dengan titel Koordinator Free West Papua Campaign, Benny secara leluasa berkampanye di Inggris untuk kemerdekaan Papua Barat. Tidak tanggung-tanggung, peresmian kantor tersebut dihadiri oleh Walikota Oxford Mohammad Niaz Abbasi, anggota parlemen Inggris Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxford Elise Benjamin.

Hal ini tak pelak membuat marah pemerintah Indonesia. Melalui Kementerian Luar Negeri, Indonesia protes keras dan menyatakan berkeberatan atas diresmikannya kantor OPM itu. Pemerintah menginstruksikan Duta Besar Indonesia di Inggris, Hamzah Thayeb, untuk menyampaikan nota protes secara resmi.

"Atas instruksi kami, Dubes RI di London telah menyampaikan posisi pemerintah tersebut kepada pemerintah Inggris," ujar Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa. Kemlu menyatakan langkah yang sama juga akan ditempuh melalui Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, menjelaskan secara formal Inggris mengakui kedaulatan NKRI atas Papua. "Untuk mempertegas sikap dan prinsip pemerintah Inggris yang selama ini mendukung NKRI, Kementerian Luar Negeri akan memanggil Dubes Inggris di Jakarta," katanya.

Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, menegaskan pemerintahnya sama sekali tidak terlibat peresmian kantor OPM. Dia juga menyatakan itu sama sekali tidak mewakili sikap pemerintah Inggris. Dewan Kota Oxford meresmikan kantor OPM secara mandiri, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah pusat di London.

"Dewan Kota Oxford tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan luar negeri pemerintah Inggris. Mereka mengambil keputusan sendiri untuk meresmikan kantor Free West Papua. Segala bentuk tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan pemerintah Inggris dalam hal ini," ujar Canning dalam keterangan tertulisnya.

Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Mahfudz Siddiq, mengatakan pembukaan kantor perwakilan OPM di Oxford itu merupakan eskalasi perjuangan politik kemerdekaan Papua. Karena itu dia mendesak pemerintah untuk bersikap tegas.

Menurut Mahfudz, sekadar menyampaikan protes kepada pemerintah Inggris, memang merupakan respons yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. "Namun yang lebih penting lagi harus ada pembicaraan di tingkat kepala negara untuk mempertegas sikap mereka terhadap organisasi separatis ini," ujarnya kepada VIVAnews.

Mahfudz menyayangkan kehadiran pejabat pemerintah setempat di acara itu. Menurut dia, kendati Inggris sudah menyatakan kehadiran Wali Kota Oxford tidak mewakili kebijakan luar negeri pemerintah secara keseluruhan, Inggris tidak bisa cuci tangan begitu saja.

"Pemerintah lokal kan juga merupakan bagian dari pemerintah pusat. Dalam hal ini hadirnya Walikota Oxford pada saat pembukaan dapat diartikan Inggris menyetujui gerakan separatis," ujar Mahfudz.

Dia mengatakan hal itu dapat mengancam hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Inggris yang selama ini sudah terjalin dengan baik. "Seharusnya sebagai negara yang menyatakan mengakui kedaulatan NKRI, mereka seharusnya tidak memfasilitasi gerakan separatis dalam bentuk apa pun, termasuk menyetujui pembukaan kantor OPM di Oxford," Mahfudz menegaskan.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menilai pembukaan kantor OPM ini jelas mencederai hubungan Inggris dan Indonesia yang terjalin baik. "Separatisme adalah soal kedaulatan negara. Sikap ikut campur Inggris dalam hal ini harus ditolak dengan tegas," kata Fadli, Minggu 5 Mei 2013.

Seharusnya, kata dia, pemerintah Inggris bersikap bijak. Sebab, mereka sendiri punya masalah separatisme dengan riwayat yang panjang, yakni dengan Irlandia Uutara dan Skotlandia. "Begitupun saat terlibat dalam konflik mempertahankan Malvinas dengan Argentina. Indonesia tak pernah ikut campur soal Inggris," dia mengingatkan.

Fadli mengatakan meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima gelar Grand Cross of Bath dari Kerajaan Inggris, bukan berarti kini boleh bersikap lembek. "Ada saat di mana kita berkompromi, ada saat harus tegas," ujar dia.

Pemerintah Inggris, kata dia, memang masih mengakui kedaulatan NKRI atas Papua. Namun, pembukaan kantor OPM itu merupakan dualisme sikap yang harus ditentang. Untuk itu, pemerintah Indonesia tak boleh bersikap permisif dan defensif. "Harus ada diplomasi ofensif agar kepentingan nasional bisa diamankan," Fadli mendesak.

 Siapa Benny Wenda? 


Benny mendapatkan suaka di Inggris pada 2003 silam, setelah kabur dari penjara. Dari negeri ini, dia terus menyuarakan kebebasan Papua.
Pada 2008 lalu, ia bersama anggota parlemen Inggris Andrew Smith mendirikan Kelompok Anggota Parlemen Internasional untuk Papua Barat (International Parliamentarians for West Papua/IPWP). IPWP bertujuan mengumpulkan para anggota parlemen dari berbagai negara yang mendukung kemerdekaan Papua. Saat ini, IPWP diketuai oleh Andrew Smith.

Pemerintah Indonesia pada 2011 lalu memasukkan Benny Wenda dalam Red Notice Interpol atas tuduhan telah melakukan sejumlah kejahatan seperti pembunuhan dan penembakan. Namun, pada Agustus 2012, Interpol menghapus nama Benny dari daftar buronan mereka dengan alasan sebagian besar tuduhan atasnya bersifat politis.

Karena itulah, Mahfudz menilai gerilya Wenda di Inggris patut diwaspadai. Dia mewanti-wanti bahwa pembukaan kantor OPM di Inggris bisa merembet ke Jerman, Belanda atau negara lainnya.(kd)

  ● Vivanews  

1 komentar:

  1. Sekian kalinya barat bersikap 2 muka pada Indonesia, dan pemerintahan kita cuma bisa protes dan protes tanpa ada tindakan tegas,ingat Indonesia bagai perawan cantik yg selalu jd incaran dan rebutan barat kalo kita tdk bisa menjaganya suatu saat hak2 kebangsaan kita akan di perkosa

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.