Selasa, 21 Mei 2013

Kerusuhan Mei 1998 murni operasi militer

Kerusuhan Mei 1998 masih membekas dalam ingatan publik. Meski sudah 15 tahun berlalu, penyelesaian kasus ini tak kunjung selesai. Pemerintah tidak penah menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi disusun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.

Anggota TGPF Sandyawan Sumardi mengatakan kasus Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dia memperkirakan kekacauan pada tanggal 13, 14, dan 15 itu menewaskan 1.880 orang. "Jumlah korban jiwa itu sangat besar dibandingkan Perang Diponegoro," kata Sandyawan saat ditemui merdeka.com Senin lalu di kantornya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Pemerintah telah menyerahkan hasil penyelidikan TGPF Mei 1998 itu ke Kejaksaan Agung, namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti hingga penyidikan. Dia menuding Kejaksaan Agung tidak berniat menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan itu dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan Hak Asasi Ad Hoc.

Sandyawan menilai pemerintah sejatinya sejak awal tidak pernah menginginkan pembentukan TGPF. Tim ini terbentuk atas desakan negara-negara sahabat untuk mencari tahu penyebab kerusuhan dan penuntasannya. Komisi itu melibatkan semua departemen.

Sampai sekarang, kasus pembunuhan dan pemerkosaan massal itu sungguh sulit diungkap. "Kerusuhan Mei adalah operasi militer murni," dia menegaskan. Temuan tim pencari fakta di beberapa kota, seperti Medan, Jakarta, Solo, Lampung, Palembang, dan Surabaya kian membuktikan keterlibatan militer. Dia menyebutkan kerusuhan di kota-kota itu selalu terjadi dengan sistematis, jumlah korban banyak, dan luas.

Meski begitu mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan bekas Komandan Jenderal Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto disebut-sebut bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei telah membantah.(mdk/fas)

  ● Merdeka  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.