Minggu, 28 Juli 2013

Gunung Pelindung Keutuhan NKRI di Nabire

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwm2daNUKu82_hXazZMRWxb-fyfg0VgCKpUhJ0QDs5vJAFpos7ZJBTrs__pdos2hkofOslHyUO-ctvHaysg_k3xWEtEKvEoUam5Xh-y-Qz7RcmsxNCs9-XkwUE7Kffp8mCSSPaZcSOEpgb/s1600/Arga+Vira+Tama+Yonif+753+Nabire.pngNabire, Papua - "Di sini, di sinilah, di kaki rangkaian Perbukitan Legari, di Kesatrian Walet Hitam inilah, kalian dilahirkan, dibesarkan, ditempa, dilatih, dibentuk sebagai seorang prajurit, seorang prajurit infanteri yang sejati, prajurit Batalyon Infanteri 753/Arga Vira Tama".

Penggalan puisi yang membangkitkan semangat dan gelora keprajuritan itu selalu dikumandangkan pada setiap upacara penerimaan dan pelepasan anggota Batalyon Infanteri 753/Arga Vira Tama di Nabire, Papua.

Puisi tersebut mengingatkan tugas seorang prajurit sebagai pelindung rakyat. Tugas prajurit untuk mempertahankan kesatuan bangsa dan mengawal Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan disaksikan heningnya cakrawala, diiringi gemericik air Sungai nabire dan sepoi-sepoi angin di perbukitan Nabire, prajurit Batalyon Infanteri 753/ Arga Vira Tama bersumpah untuk selalu bisa hidup bersama, bersatu dan berdampingan.

Arga Vira Tama, atau sering disingkat Arvita, adalah nama batalyon tersebut. Nama tersebut memiliki arti gunung, berani, utama sehingga dimaknai Yonif 753/AVT sebagai pasukan yang berasal dari rakyat, yang bersifat berani, jujur tidak mementingkan diri sendiri, penuh keyakinan dan kesadaran yang menjadi tujuan utama.

Kesatrian Walet Hitam, markas batalyon itu, berada di kaki rangkaian Perbukitan Legari yang seolah menjadi benteng alam.

Yonif 753/AVT yang dipimpin Komandan Batalyon Letkol (Inf) Agung Udayana itu memiliki kekuatan 1.000 personel yang dibagi menjadi tujuh kompi. Terdapat tiga kompi luar yang bertugas di luar Kabupaten Nabire, Papua.

Tugas sepanjang tahun

Perwira Pembinaan Mental Yonif 753/AVT Kapten (Inf) Phanton Panjaitan mengatakan, berbeda dengan batalyon lainnya, anggota batalyon tersebut bertugas sepanjang tahun.

"Kami bertugas sepanjang tahun termasuk dengan kompi luar yang bertugas di Biak dan Serui. Sebenarnya kami juga diminta bertugas di tempat lain, tapi jumlah personel kami terbatas," kata Panjaitan.

Yonif 753/Arvita berada di bawah Komando Resor Militer 173/Praja Vira Braja yang bermarkas di Biak.

Selain Yonif 753/Arvita, jajaran di bawah Korem 173/PVB adalah Kodim 1705/Paniai, Kodim 1708/Biak Numfor, Kodim 1709/Yapen Waropen, dan Denzipur-12. Dari seluruh jajaran itu, Yonif 753/Arvita merupakan jajaran yang memiliki pasukan tempur.

"Di masyarakat, tugas kami adalah mendukung kegiatan pengamanan yang dilakukan kodim dan polres. Untuk kelompok sipil bersenjata yang mengacau keamanan, di Nabire memang relatif lebih aman," tutur Panjaitan.

Tugas yang lebih banyak bersinggungan dengan masyarakat sipil membuat anggota Yonif 753/Arvita harus pandai-pandai menjaga diri. Sedikit bertindak di luar prosedur tetap saja, maka sebagai prajurit bisa dituding melanggar hak asasi manusia (HAM).

"Kadang kami memang serba salah. Mengambil tindakan bisa dituding melanggar HAM. Tapi kalau diam saja, juga pasti salah. Ibarat pepatah, maju kena mundur kena," katanya.

Padahal sebagai prajurit, kata Panjaitan, mereka juga belajar mengenai HAM. Masalahnya, penerapan HAM di Papua sangat berbeda dengan daerah atau negara lain. Di Irak misalnya, tentara tidak akan dianggap melanggar HAM selama berhadapan dengan milisi bersenjata api.

Di Papua, kelompok sipil bersenjata tak hanya bersenjata api, tetapi juga panah, tombak dan senjata tradisional lainnya. Definisi milisi yang hanya bersenjata api tentu tak bisa diterapkan sepenuhnya di Papua.

"Aparat TNI/Polri sering dituding melanggar HAM hanya karena bertindak keras dan tegas terhadap kelompok sipil bersenjata. Padahal keras dan tegas bukan berarti kasar," paparnya.

Tanpa bermaksud mengeluh, Panjaitan meminta kepada pihak-pihak yang kerap menuding aparat TNI/Polri melanggar HAM di Papua untuk membandingkan berapa orang anggota kelompok sipil bersenjata yang tewas oleh senjata aparat dengan anggota TNI/Polri yang meninggal karena panah beracun.

"Banyak juga anggota yang meninggal karena kena panah yang sudah dibubuhi racun," ujarnya.

Langkah preemtif-persuasif

Karena itu, dalam menghadapi masyarakat, termasuk kelompok sipil bersenjata, Panjaitan mengatakan aparat lebih mengedepankan langkah preemtif dan persuasif.

"Saya misalnya, saat menjadi komandan kompi satgas di Distrik Enarotali, Kabupaten Paniai melakukan pendekatan dengan pimpinan kelompok sipil bersenjata bernama Jhon Yogi," tuturnya.

Panjaitan menuturkan dia ketika itu menulis surat yang dititipkan melalui salah satu orang yang memiliki akses kepada Jhon Yogi. Dalam surat itu, Panjaitan mengatakan untuk apa tinggal di gunung dan selalu ketakutan.

"Saya sempat maki-maki dia di surat itu. Saya katakan dia bodoh, mengapa tidak turun dan tidak lagi ketakutan serta bisa bersama-sama membangun Papua," katanya.

Beberapa saat setelah surat itu dikirim, ternyata Jhon Yogi menghubungi Panjaitan. Dia memang mencantumkan nomor telepon yang bisa dihubungi. Awalnya, dia tidak sadar bahwa yang menelpon dia adalah Jhon Yogi, pemimpin kelompok sipil bersenjata yang ditakuti.

"Ternyata dia bilang, apa yang saya tulis itu sama seperti apa yang dia pikirkan dan rasakan. Dia mengatakan tidak bermaksud memberontak terhadap Indonesia karena dia menganggap Indonesia adalah orang tuanya. Masyarakat Papua bisa membaca karena Indonesia," paparnya.

Kemudian, Panjaitan bertanya kepada Jhon Yogi, apa lagi yang dia inginkan. Bukankah Papua sudah mendapatkan otonomi khusus dengan perimbangan dana yang berpihak kepada Papua. Undang-undang juga sudah mengharuskan putra daerah yang bisa memimpin putra daerah.

Kepada Panjaitan, Jhon Yogi mengatakan bahwa dia merasa tidak puas dengan orang-orang Papua yang saat ini memimpin daerah tersebut. Dia menyatakan ketidakpuasannya terhadap orang-orang yang saat ini memimpin Papua.

"Dia bahkan sempat menyebutkan nama-nama siapa saja orang-orang yang dia maksud. Ternyata, permasalahan yang selama ini membuat mereka tidak puas bukan pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah," katanya.

Karena itu, sesuai dengan instruksi Panglima Kodam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Christian Zebua kepada prajurit di Nabire saat safari Ramadhan beberapa waktu lalu, "leading sector" untuk menyelesaikan permasalahan di Papua adalah kepala daerah.

"Prajurit hanya pendukung yang bergerak sesuai dengan program-program kepala daerah. Kalau pemerintah daerah memiliki program yang jelas, Papua pasti maju dan otonomi khusus tidak akan sia-sia," tuturnya.

Dan yang lebih penting lagi, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan tetap terjaga. Tak akan ada lagi kelompok sipil bersenjata maupun organisasi politik yang menuntut pelepasan diri dari Indonesia.

Bila NKRI tetap utuh, maka kita tetap akan dengan bangga menyanyikan lagu dari "Sabang Sampai Merauke".

"Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia...".

  ● Antara  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.