Jumat, 26 Juli 2013

Kisah dari tempat persembunyian teroris di Tulungagung

Tulungagung - Sebagian besar warga Desa Penjor, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, masih tak percaya dua tamu yang sehari-hari mengajar mengaji di kampung mereka adalah anggota jaringan teroris Poso yang diburu polisi.

Setelah dua terduga teroris bernama Riza dan Dayah tertembak mati di sebuah warung kopi dalam operasi Detasemen Khusus Anti-Teror (Densus) 88 Polri di Tulungagung, nama Desa Penjor jadi sering disebut.

Tidak terlalu sulit untuk mencapai perkampungan yang sempat beberapa lama disinggahi dua anggota teroris jaringan Poso ini.

Meski terpencil di lereng Gunung Wilis, perkampungan itu tidak sulit dijangkau. Jalan sepanjang menuju ke sana sudah beraspal.

Dengan sepeda motor berkecepatan normal, desa itu bisa ditempuh dalam waktu satu jam lebih dari pusat Kota Tulungagung.

Saat memasuki desa di sebelah barat laut Kota Tulungagung, aroma pegunungan langsung terasa. Hawa dingin menyeruak di antara sepoi angin yang berhembus, terasa ke dasar pori-pori kulit.

Desa itu asri, hijau, dan tenang. Dan mayoritas warganya ramah, membuat pendatang nyaman mengunjungi berkunjung.

Mungkin kultur warga pegunungan masyarakat Penjor dan sekitarnya yang membuat Riza memilih desa itu untuk bersembunyi dan mengabdikan diri sebagai pendakwah.

Tiga bulan lebih pemuda yang mengaku berasal dari daerah Gunungkidul, Yogyakarta, itu singgah di Penjor.

Mengaku jebolan salah satu pesantren di Kediri, Riza yang datang dengan niat melakukan praktik lapangan sebagai pendakwah Islam langsung diterima dengan tangan terbuka oleh komunitas Islam di Desa Penjor dan Gambiran.

Menurut penuturan Sekretaris Desa Penjor, Pranoto, keberadaan Riza cepat diterima oleh masyarakat setempat, khususnya komunitas Islam yang mayoritas anggota Muhammadiyah.

"Perilakunya baik dan di sini mengaku hanya berniat semacam PKL (praktik kerja lapangan) sebagai pendakwah atau guru ngaji, sehingga dengan cepat mendapat simpati warga," tuturnya.

Riza berhubungan baik dengan warga lokal selama tinggal tiga bulan lebih tinggal di Penjor. Ia kadang ikut kegiatan mengaji di Desa Gambiran.

Sapari (55), tokoh agama setempat dan ustad Masjid Al Jihad di Dusun Krajan, Penjor, berperan penting dalam membantu Riza beradaptasi dengan warga kampung.

"Mungkin karena terlalu baik, Pak Sapari tidak punya prasangka apa-apa mengenai motif maupun latar belakang tamunya. Beliau juga alpa melaporkan keberadaan orang asing tersebut ke desa," imbuhnya.

Kedekatan Riza dengan warga membuat sebagian warga bersedih saat dia pamit pulang untuk melanjutkan studi S-2, sepekan sebelum ia ditembak Densus 88 Antiteror di Jalan Pahlawan, Tulungagung.

Beberapa warga yang menjadi jemaah Masjid Al Jihad dan santri pengajian Al Quran di Madrasah Aisyiyah, melepas kepergian pemuda yang dikenal sebagai sosok cerdas, sabar, berpendidikan, dan agamis itu dengan kesedihan.

Riza sudah seperti anggota keluarga bagi warga di lingkungan Masjid Al Jihad maupun Madrasah Aisyiyah.

Tidak jarang Riza diundang untuk makan sahur dan berbuka puasa di rumah penduduk, termasuk keluarga Sapari.

Kecurigaan

Menurut Suparti, salah satu adik kandung Sapari, kecurigaan mulai muncul saat Riza yang telah pamit pulang untuk melanjutkan pendidikan di Bandung tiba-tiba datang lagi bersama seorang teman yang diperkenalkan dengan nama Dayah.

Orang-orang desa curiga melihat penampilan Dayah seperti pemuda urakan: berbadan kekar, rambut gimbal panjang, dan pakaian sedikit "selengekan".

"Wajahnya sangar, jadi banyak warga yang was-was, tapi tidak pernah ada yang berani bertanya," tutur Suparti.

Adik Sapari yang lain, Siwoharini, juga melihat perilaku janggal Dayah selama tiga hari dua malam menginap di desa mereka.

"Orang ini selalu membawa tas ransel kemanapun pergi. Bahkan saat shalat di masjid, tarawih, maupun sahur. Tas itu selalu dibawa dan ditaruh disampingnya seolah berisi barang yang sangat penting," tutur Siwoharini, yang dibenarkan oleh beberapa warga lain.

Meski merasa aneh, Siwoharini dan warga setempat tidak berani bertanya.

Sikap Dayah dan Riza yang selalu sopan dan bersahaja membuat warga segan untuk menanyakan hal-hal yang dianggap bukan urusan mereka.

Rasa penasaran warga terjawab setelah dua pemuda tersebut tewas tertembak dalam satu operasi penggerebekan tim Densus 88 Anti-Teror.

"Kami mendapat kabar jika mereka adalah anggota teroris yang membawa bom dalam tas ransel. Mungkin itu sebabnya tas itu selalu dibawa pemuda yang gimbal, kemanapun dia pergi dan beraktivitas," timpal suami Suparti.

Kesedihan Keluarga Sapari

Penggerebekan disertai penembakan terhadap dua terduga teroris yang kemudian diketahui sebagai Riza dan Dayah membuat warga Penjor dan Gambiran terhenyak.

Kekagetan mereka berlanjut setelah polisi menyebut dua warga Penjor dan Gambiran ikut terseret masalah, ditangkap oleh tim Densus 88 dengan tuduhan menjadi pemandu lokal komplotan teroris.

Tetangga dan keluarga merasa terpukul mendengar kabar bahwa polisi menangkap Supari, Kaur Kesra Desa Penjor, dan Mugi Hartanto (35), guru honorer yang mengajar agama Islam di SD 3 Geger, Kecamatan Sendang.

"Kami sangat terpukul mendengar kabar itu. Suami saya orang lugu, dia tidak tahu apa-apa soal terorisme maupun gerakannya," kata Sri Indartini (40), istri Sapari.

Sri mengaku baru tahu suami terseret masalah ketika polisi mendatangi rumahnya beberapa jam setelah penangkapan.

Matanya berkaca-kaca saat diminta bercerita tentang suaminya yang kini ditahan polisi entah dimana.

"Suami saya bukan teroris. Kami sama sekali tidak tahu kalau ternyata mas Dayah dan mas Rizal itu teroris," katanya.

"Waktu itu (Senin pagi, 22/7) Bapak hanya pamit mengantar mereka ke terminal bus, karena mas Riza ingin pindah dari Penjor, dan melanjutkan kuliah S-2 di Bandung," kata Sri sembari memeluk anaknya yang masih kecil.

Kesedihan juga tampak pada kedua dua adik kandung Sapari.

Mereka meminta polisi bersikap dan bertindak obyektif dalam menganalisis dugaan keterlibatan Sapari dan Mugi Hartanto dalam kejadian itu.

Menurut mereka, Sapari dan Mugi hanya warga desa biasa yang bahkan tidak pernah memiliki pemikiran Islam yang kaku, apalagi keras.

Sapari, yang sehari-hari bertani dan berkebun, tidak pernah mengajarkan jihad meski masjid mereka diberi nama Al Jihad.

"Soal itu (nama Al Jihad) ceritanya panjang, tapi yang pasti tidak berkaitan dengan masalah ini (terorisme) karena masjid tersebut dibangun sudah lama," terang Sekretaris Desa Penjor, Pranoto.

Pranoto, yang sempat mengecek langsung ke lokasi penggerebekan, mengatakan bahwa Sapari waktu itu hanya berniat mengantar tamunya pulang.

Demikian juga dengan Mugi Hartanto. Guru honorer dari Desa Gambiran, tak jauh dari Penjor, itu hanya dimintai bantuan untuk mengantar kedua tamu tersebut ke terminal Tulungagung.

Kebetulan pada saat itu Mugi akan mengurus surat-surat kendaraan bermotor.

"Mereka minta diantar ke terminal, pada pagi hari sekitar pukul 07.30 WIB. Pak Sapari hanya Ingin membantu, karena jarak Penjor ke halte bus di Tulunggung cukup jauh," ujarnya.

  ● Antara  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.