Selasa, 16 Juli 2013

Panglima TNI: Reformasi TNI berhasil

Hampir tiga tahun duduk sebagai pimpinan tertinggi angkatan bersenjata Indonesia, Panglima Laksamana Agus Suhartono menyebut salah satu pencapaian terbesar TNI saat ini adalah berhasilnya langkah reformasi internal.

Kepada wartawan BBC Indonesia Dewi Safitri, Panglima TNI berusia 58 tahun ini menjelaskan bagaimana postur TNI kini makin berubah.

Bagaimana Anda menggambarkan perubahan TNI dan kemampuan pertahanan Indonesia kini?
Pembangunan kekuatan TNI selalu diorientasiakn pada pembangunan Kekuatan Pokok Minimal (KPM), programnya sampai 2024. Tapi ternyata sekarang ada percepatan-percepatan yang sangat menguntungkan TNI, meski harus diingat membangun alutsista tidak bisa serta-merta, tidak ada senjata ready stock. 2014 kita harapkan target 40% tercapai dan pada 2019 Minimum Essential Force sudah tercapai, lebih cepat dari target 2024. Sekarang ini, sudah 30%.

Bagaimana percepatan bisa terjadi?
Karena dua hal: dukungan dana memadai dan perhatian cukup baik dari pemerintah saat ini. Akibatnya dalam lima tahun ini ada penambahan anggaran Rp 157 triliun, signifikan sekali untuk pembangunan dan modernisasi alutsista kita.

Apa yang dirasakan TNI sebagai dampak modernisasi alutsista ini?
Sudah pasti ini membuat level of confidence prajurit meningkat, alutsista kita baru dan moderen. Lebih dari itu, kita menjadi makin profesional karena organisasi yang tadinya padat manusia kini mulai bergerak ke arah padat teknologi. Satu batalion tadinya 900 (personil) sekarang cukup 600, sejalan dengan komitmen untuk rightsizing. Sampai dengan pencapaian target kekuatan minimal tercapai, kita akan bertahan dengan kekuatan seperti sekarang 450-an ribu personil. Itu terhitung kecil untuk negara seperti Indonesia, tetapi dengan alutsista yang moderen itu akan menjadi cukup. Sementara (dampak) keluar, sekarang kita memiliki deterrence factor lebih besar, posisi tawar kita jadi lebih tinggi dalam membangun tingkat kepercayaan bersama dengan negara lain. Rekan-rekan saya di lingkungan ASEAN ini, mereka para panglima angkatan bersenjata, sangat memperhitungkan kita.

Alutsista sekarang dibeli dari berbagai negara, bagaimana integrasinya dalam Latihan Gabungan lalu karena sistem operasinya berbeda?

Doktrin memang harus kita sempurnakan, tadinya kita pakai cara begini sekarang diganti. Tadinya angkat tank dengan tenaga manusia, sekarang pesawat. Kalau begitu sekarang doktrin harus kita ubah, karena ternyata alutsista memiliki kemampuan lebih, itu salah satu feedback evaluasi Latgab. Tidak ada masalah interoperabilitas yang signifikan, tetapi memang menjadi pelajaran bagian mana yang harus diperbaiki. Kuncinya adalah kita pahami betul kemampuan alutsista A seperti apa, B bagaimana dan seterusnya, selanjutnya kita integrasikan.

Alutsista yang sedang hendak dibeli sekarang banyak yang berstatus bekas pakai dan rekondisi, ada keluhan soal itu?
Asal ditingkatkan daya tempurnya, itu cukup memadai. Misalnya begini beli baru (F16) Blok 32 seharusnya dapat enam dengan usia pakai sekian tahun. (dibandingkan) Dengan hibah, air frame-nya bagus, peralatannya kita samakan dengan kecanggihan 32, (menjadi) sama. 10 tahun ke depan Blok 32 itu juga sudah akan ketinggalan, artinya sama-sama ketinggalan (dengan yang bekas pakai). Karena itu pilihan mengambil retrofit, dengan tingkat kecanggihan yang memadai menjadi tawaran yang menarik, kita pilih itu. Untuk 10 tahun ke depan ini masih sangat memadai dalam konteks kawasan ASEAN. Toh 10 tahun ke depan harus diretrofit lagi, beli baru juga harus diretrofit.

Ini bukan alutsista retrofit pertama untuk TNI, bagaimana pengalaman sebelumnya?
Dalam paket pembelian 39 kapal eks Jerman Timur (yang sempat menjadi isu kontroversial tahun 1992), saat itu kita tahu lima tahun sesudahnya kita harus retrofit engine-nya karena memang tidak cocok untuk Indonesia. Hanya saat itu ekonomi kita kena krisis sehingga program retrofit terganggu. Tapi selanjutnya secara bertahap tetap kita jalankan, semua kapal Jerman Timur kita repowering dan sampai sekarang masih jalan bagus. Bahkan sekarang dalam konteks pembangunan kekuatan pokok minimal, kita tingkatkan kemampuannya: dulu repowering, sekarang combat management sistem-nya, mungkin pasang rudal. Intinya alutsista meski sudah lama kalau dipasang peluru kendali baru, dihitungnya sudah lain kalkulasi tempurnya.

Selain Indonesia, tetangga di ASEAN juga giat membangun arsenal, dikaitkan dengan konflik Laut Cina, bagaimana posisi TNI?
Kita mendukung code of conduct penyelesaian konflik dengan damai, negosiasi bilateral. Kepentingan kita menjaga kalau memang ada konflik, imbas tidak sampai ke wilayah kita. Maka kita perkuat sistem (pertahanan) di utara, menjaga jangan sampai konfliknya nanti berpengaruh ke sini. Karena di Laut Natuna ada banyak eksplorasi minyak, kita harus lindungi. Secara rutin sepanjang tahun kita tugaskan patroli rutin di sana, dari sistem patroli udara kita pastikan mampu meng-cover wilayah Laut Cina Selatan khususnya Laut Natuna. Pangkalan kita di Pontianak juga mulai kita arahkan untuk mampu cover Laut Natuna. Kita juga kerjasama dengan negara tetangga untuk latihan bersama, jadi kalau ada situasi kita butuh aksi bersama, kita sudah siap.

Berbagai pencapaian tersebut, apakah buah dari berhasilnya reformasi TNI?
Memang reformasi internal dalam tubuh TNI (hasilnya) cukup signifikan. Bagian paling sulit adalah reformasi kultural terkait sifat prajurit TNI sendiri menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada saat ini. Saya senang bahkan puas, apa yang dirintis dalam reformasi itu memberikan hasil. Beberapa kasus dalam proses hukum kita sudah jalani sebaik-baiknya, netralitas berpolitik sangat baik, bisnis kita sudah tidak jalani lagi. Reformasi jangan diukur dari oh, masih ada anggota TNI melakukan pelanggaran (seperti kasus Cebongan maupun penyerangan di OKU). Melihatnya begini: kalau anggota TNI masih melakukan pelanggaran, apa yang dilakukan? Kalau kita respon sesuai dengan proses hukum, itu artinya reformasi berhasil. Tapi kalau kita respon dengan melindungi anggota, jangan dihukum, itu reformasitidak berhasil.

Panglima akan segera meninggalkan jabatan karena masuk pensiun pada Agustus, apa warisan yang paling krusial dijaga?
Pembangunan Kekuatan Pokok Minimal harus ada konsistensi, kalau tidak dilanjutkan mustahil apa yang direncanakan tercapai. Kedua, soliditas antar kekuatan karena tidak mudah menjaga itu karena tiap matra punya keinginan masing-masing punya kebanggaan masing-masing. Kekuatan kita sangat tergantung dari soliditas itu, TNI itu ya satu, agar kita punya kekuatan fight power tinggi.

Tapi itu sangat tergantung pada anggaran dan komitmen kepala negara sementara kita akan berganti presiden, ada kekhawatiran?
Antara ya dan tidak. Ya, karena kita khawatir kalau political will tidak mengarah ke situ. (Misalnya) Manakala pembangunan ekonomi sangat diprioritaskan sehingga mengesampingkan pembangunan pertahanan. Tidak (khawatir), karena kita yakin pasti akan ada perhatian ke situ, semua negara pasti akan memperhatikan angkatan bersenjatanya. Tapi saya optimistis siapapun yang jadi kepala negara akan punya komitmen terhadap pembangunan pertahanan. Kita beruntung pembangunan kekuatan pertahanan sudah terencana hingga 2024, muda-mudahan ini diikuti dengan konsisten pada era berikutnya.

Dalam 5-10 tahun mendatang seperti apa postur TNI?
Kita akan mencapai sekitar 70% dari target Kekuatan Pokok Minimal, TNI akan makin profesional dengan landasan yang sudah ada sekarang. Juga dalam menyikapi masalah demokrasi juga lebih profesional, soal alutsista kita sudah punya kemampuan minimal untuk menjaga negara NKRI, posisi tawar yang berarti dengan negara lain dan kesejahteraan prajurit akan jadi makin baik.

  BBC  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.