Rabu, 10 Juli 2013

☆ Sidarto Danusubroto, dari Ajudan Bung Karno ke Ketua MPR

 Dia dikenal sebagai figur yang keras dalam soal kedaulatan negara.

Empat pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, seluruh ketua fraksi MPR, dan perwakilan Dewan Pimpinan Daerah menjelang siang itu, Kamis 4 Juli 2013, mendatangi kediaman ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.

Di sana, Megawati telah menanti. Ia didampingi Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP di DPR Puan Maharani, dan Ketua Fraksi PDIP di MPR Yasonna Laoly. Dalam pertemuan informal itu, Mega menyampaikan keputusannya menunjuk Wakil Ketua Komisi I DPR Sidarto Danusubroto sebagai Ketua MPR menggantikan almarhum Taufiq Kiemas.

Sekretaris Fraksi PDIP untuk MPR, Ahmad Basarah, mengatakan tak mudah bagi Megawati memilih pengganti Taufiq Kiemas di MPR. Selain Sidarto, ada sejumlah nama lain yang dipertimbangkan. Mereka adalah Wakil Ketua DPR dan mantan Sekjen PDIP Pramono Anung, Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo, dan Ketua DPP PDIP Puan Maharani.

Namun akhirnya Megawati menjatuhkan pilihan pada Sidarto. Ahmad Basarah mengatakan, setidaknya ada tiga alasan mendasari langkah Mega itu. Pertama, Sidarto yang lahir di Pandeglang, 11 Juni 1936 itu memiliki jam terbang tinggi di dunia politik. Ia telah menjadi anggota DPR selama tiga periode berturut-turut sejak era reformasi. Dibanding politisi PDIP lain di DPR, Sidarto paling senior.

Kedua, di internal partai Sidarto menjabat sebagai Ketua Bidang Kehormatan Partai yang memiliki kewenangan menjaga partai. Posisi ini menujukkan Sidarto punya kebijaksanaan sehingga dipercaya mengawal partai banteng moncong putih itu.

Ketiga – dan mungkin yang terpenting, Sidarto pernah menjabat sebagai ajudan Presiden Soekarno. “Sebagai ajudan Bung Karno yang secara langsung berhubungan dengan Bung Karno, kami yakin Pak Darto punya kemampuan untuk menyerap dan memahami dengan baik pikiran-pikiran Bung Karno,” kata Ahmad Basarah.

 Ajudan, polisi, politisi 

Sidarto Danusubroto merupakan ajudan Presiden Soekarno di masa sulit, yakni saat peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru tahun 1967-1968. Ia tahu persis penderitaan Bung Karno ketika diasingkan di Istana Bogor. Dari Bung Karno itulah Sidarto memahami gagasan kebangsaan dan sikap patriotik.

Selepas mengawal Bung Karno, Sidarto berkarir di kepolisian dan sempat dua kali menjabat Kapolda. Tentu karir Sidarto tak selalu mulus. Sebagai mantan ajudan presiden yang dibenci rezim Orde Baru, Sidarto dihambat karir dan kenaikan pangkatnya antara tahun 1970-1973. Seperti dikutip dari intelijen.co.id, Sidarto dibebaskan dari tugas-tugas operasional. Ia bahkan diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat Komando Keamanan dan Ketertiban (Teperpu Komkamtib) ABRI.

Sidarto akhirnya dinyatakan bersih oleh Kapolri tahun 1973. Sejak itulah karirnya di kepolisian melesat. Ia berkarir sebagai Kapolres Tangerang 1974-1975, dan terakhir pada 1988-1991, menjabat Kapolda Jawa Barat.

Pensiun dari Polri, Sidarto terjun di bidang swasta. Kemudian pada peralihan Orde Baru ke era reformasi tahun 1998, Sidarto mulai aktif di dunia politik lewat PDIP hingga akhirnya terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Barat VIII selama tiga periode hingga saat ini.

Sidarto mengawali tugasnya di DPR tahun 1999 sebagai anggota Komisi II yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, reformasi birokrasi, pemilu, dan agraria. Selanjutnya mulai tahun 2002, ia menjadi anggota Komisi I DPR yang membidangi pertahanan, intelijen, luar negeri, dan komunikasi dan informatika.

Sidarto dipercaya menjadi Wakil Ketua Komisi I DPR tahun 2005-2006. Kemudian sejak tahun 2006 sampai sekarang, ia juga menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen di DPR. Selama di DPR, Sidarto pernah membuat buku berjudul “DPR Bukan Taman Kanak-kanak.” Buku itu menyikapi pernyataan Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden mengatakan DPR seperti Taman Kanak-kanak.

Selama di Komisi I DPR, Sidarto amat keras jika menghadapi isu kedaulatan negara. Ia misalnya meminta TNI tak segan menembak langsung kapal Malaysia yang beberapa kali memasuki perairan RI. Sidarto juga mendukung peningkatan kemampuan alat utama system persenjataan (alutsista) RI. Pertahanan selalu menjadi perhatian Sidarto. Ia pernah menjadi anggota Panitia Khusus Undang-Undang Pertahanan, UU TNI, UU Kepolisian, dan Wakil Ketua UU Anti-Terorisme.

Kini Sidarto akan mengemban tugas baru sebagai Ketua MPR. Ia akan diambil sumpahnya Senin pekan depan, 8 Juli 2013, di Gedung MPR RI, Jakarta. “Saya akan laksanakan tugas ini sebaik-baiknya, yaitu mengawal empat pilar bangsa (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai warisan yang harus diteruskan,” kata Sidarto berjanji meneruskan perjuangan Taufiq Kiemas.(np)

  ● Vivanews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.