Selasa, 27 Agustus 2013

☆ Kisah Bupati Djojohadiningrat ditangkap Belanda dan difitnah

Daerah Kediri menyimpan banyak jejak sejarah, namun jarang sekali diceritakan dalam bangku sekolah. Salah satunya di Desa Kandat Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri-Jawa Timur, tepatnya di Jl Glinding, maka kita akan disuguhi peninggalan kereta antik Bupati Kediri, Djojohadiningrat (estimasi tahun 1850-1890,red) yang kini masih tersimpan utuh.

Kereta sang bupati berbentuk prahu yang terbuat dari bahan kayu jati itu menyimpan banyak sejarah, salah satunya ketika sang Bupati Kediri ditangkap Belanda dan diasingkan ke Manado-Sulawesi Utara karena dianggap makar. Hingga akhirnya sang bupati diasingkan ke Manado sampai meninggal. Perjuangan itu membuatnya mendapat julukan "Kanjeng Manado".

Sayang, kereta peninggalan itu hanya dirawat penduduk desa setempat tanpa campur tangan Pemkab Kediri. Dan kereta peninggalan kereta sang bupati yang mendapat julukan Mbah Gleyor itu dibiarkan dalam bangunan joglo terbuka dengan pagar besi yang dibangun oleh keturunannya.

Usianya hampir 150 tahun sejak dibuat, kereta dari bahan kayu jati yang memiliki panjang kurang lebih 7 meter dan 2 meter dan berbentuk amphibi (bisa menjadi kereta dan bisa menjadi perahu ini) tergolok masih awet dan kuat.

Hj. Musiswatin (63), tokoh sejarah desa setempat menuturkan berdasarkan keterangan orang yang merawat kali pertama yakni Mbah Matal (alm), bahwa semenjak ditinggal dan ditangkap Belanda, Sang Bupati meninggalkan keretanya di pekarangan rumahnya di Jl. Watu Gede.

Namun pada tahun 1949 nan, menurut Hj, Muniswatin sesuai keterangan Mbah Matal sang juru kunci dan sekaligus keturunan sang adipati ada wangsit untuk memindahkan kereta itu ke gang sebelah dari tempat kali pertama kereta itu berada persis saat ditangkap Belanda.

"Kereta itu tak bisa jalan dan ditarik dengan bantuan masyarakat setempat saat dipindahkan. Ia hanya mau ditarik oleh dua kerbau jantan dan dan didorong oleh Mbah Matal dan Istrinya. Keanehan itu yang pertama, keanehan kedua bekas tanah yang dilewati kereta itu tak bisa tumbuh rumput," kata Muniswatin pada merdeka.com.

Masih menurut Muniswatin, kuncen kali pertama kereta ini sebelum Mbah Matal, adalah Mbah Nala, dia sopir kereta sang adipati yang makamnya juga di Desa Kandat.

"Dulu wilayah ini adalah hutan, dan Mbah Nala adalah orang yang kali pertama babad alas. Dia pula yang member nama desa ini dengan nama "Kandeg" (berhenti, red). Toponomi pemberian nama ini berdasarkan berhentinya kereta sang Adipati. Lambat laun nama Kandeg ini menjadi Kandat, sebuah nama desa dan kecamatan yang ada di Kabupaten Kediri," tambahnya.

Diasingkan karena difitnah membunuh administratur pabrik gula

Apa yang menyebabkan Sang Adipati Djojohadiningrat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Manado?

Berdasarkan cerita tutur yang berkembang, sang adipati ini telah difitnah Belanda dituduh membunuh administrator pabrik gula di Kediri.

Pasca perang Jawa tahun1830, Belanda memang menjadikan Kediri sebagai pertahanan utamanya. Selain membangun infrastruktur besar-besaran antara lain benteng Belanda, Kantor Residen, tiga pabrik gula, Belanda juga membangun jembatan besi pertama di Jawa (jembatan lama Kediri, 18 Maret 1869) yang menghubungkan antara Madiun-Surabaya.

"Dia difitnah oleh Belanda, dituduh sebagai dalang pembunuh administrator pabrik gula. Tidak jelas pabrik gula mana, apakah Pesantren, Mritjan ataukah Ngadiredjo. Sebab di Kediri ada tiga pabrik gula yang dibangun di masa-masa itu dan sampai sekarang tetap berfungsi," tambah Hj Muniswatin yang juga aktivis sejak usia 15 tahun ini pada.

Cerita heroik dan bukti sejarah itu kini hanya menjadi cerita dan tidak banyak yang tau apa dibalik makna kereta sang bupati yang tak lagi bisa bicara.(mdk/tyo)

  ● Merdeka 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.