Minggu, 25 Agustus 2013

Reportase Eksekusi Mati Zaman Kolonial

"Saya merasa jijik mengatakan secara rinci tentang bagaimana dia sekarat secara mengerikan."

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWP8dFlnWxLlqwwd81i2CMoDtYjB51ji0LrOuPFFRmAKfji6so65Tsu6a5Vvu4RAvZ_HgXWuu6x6QziIDtID1yATVMHbHx2uGiLd-z79yt13RpTMgPvU-ewnT3w3qf6fMYFZAVgECVMtIN/s400/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Twee_mannen_worden_opgehangen_aan_een_galg_voor_het_stadhuis_in_Batavia_TMnr_60054686_sifatlebah2.jpg
Ilustrasi Hukuman Mati Zaman Kolonial
De Molins mungkin salah satu reporter beruntung dari Prancis yang bisa menjelajahi Hindia Belanda (Indonesia) pada zaman kolonial. Ia ditugaskan memperkenalkan Pulau Jawa kepada pembaca majalah Le Tour de Monde (Tur Keliling Dunia) pada 1858 - 1861.

Reporter ini tiba di Batavia pada April 1858 setelah berlayar selama tiga bulan dari Nantes menggunakan kapal Nicolas. Selanjutanya, ia menuju Surabaya di mana dengan menahan rasa muak harus menyaksikan eksekusi mati terhadap tersangka pembunuhan di lapangan tentara.

Digambarkannya kondisi di lapangan itu. "Mula-mulai didahului dengan satu detasemen pasukan berkuda pribumi, diikuti pasukan berkuda Eropa dalam jumlah sama; setelah ruang kosong, baru datang 12 atau 15 kiai berbusana putih besar, kemudian diikuti kedua terhukum mati."

Dalam gambaran selanjutnya, De Molins menyebut kedua terhukum dimahkotai bunga, tanpa ditutup kedua wajahya. Si terhukum wanita menyapa dan tersenyum. Sementara tersangka pria benar-benar tak memiliki semangat lagi.

Si laki-laki yang dibawa dalam keadaan acuh dibawa mundur ke kaki tangga. Di mana di anak tangga kedua sudah berdiri algojo dengan tali di tangan. Si algojo menaiki anak-anak tangga, diikuti empat opas yang membawa si terhukum dan mengaitkan terdakwa ke salah satu pasak untuk dieksekusi sesuai dengan keputusan pengadilan yang memerintahkan untuk menggantung terdakwa tinggi-tinggi.

"Si perempuan yang sampai saat itu perilakunya baik-baik, segera setelah berada di bawah tangga, meronta sekuat tenaga, melontarkan teriakan-teriakan menyeramkan dan hampir terlepas dari tangan para algojo," tulis De Molins. "Saya merasa jijik mengatakan secara rinci tentang bagaimana dia sekarat secara mengerikan."

Tak lama dari menyaksikan adegan traumatis itu, De Molins kembali ke Batavia dan tamasya ke Bogor. Dari sana, ia menikmati nikmatnya hawa Gunung Salak serta ke Mega Mendung. Sesuai dengan pekerjaannya sebagai reporter, ia menjelaskan dengan detail mengenai perjalanan menarik ke tempat-tempat tersebut.(Zika Zakiya. Sumber: Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad VXI sampa Abad XX)

  ● National Geographic  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.