Jumat, 23 Agustus 2013

Setelah Pesawat Hornet Amerika 'Menjajah' Indonesia

 Kisah Penjaga Angkasa Indonesia  

Jakarta - Insiden Bawean, 3 Juli 2003 menjadi pengalaman berharga bagi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Saat itu lima pesawat F/A 18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat menerobos wilayah Indonesia tanpa izin.

Radar Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional mendeteksi, kelima Hornet melakukan manuver sedang latihan tempur selama hampir satu jam. Kelima Hornet sempat menghilang dari layar radar. Namun muncul kembali.

Manuver pesawat Hornet tersebut mengganggu lalu lintas penerbangan komersial yang akan menuju ke Surabaya dan Bali. Apalagi mereka tidak ada komunikasi sama sekali dengan petugas Air Traffic Control (ATC) terdekat.

Dua pesawat tempur buru sergap F-16 TNI Angkatan Udara dikerahkan dari Pangkalan Lapangan Udara Iswahyudi Madiun untuk melakukan identifikasi visual. Namun kepada mereka dipesan agar menghindari konfrontasi dan mengutamakan keselamatan penerbang.

Komandan Skuadron III Lanud Iswahyudi, Letnan Kolonel (Pnb) Setiawan menyebut, Insiden Bawean merupakan peristiwa yang paling 'panas'. Juli lalu F-16 juga kembali berhasil memaksa turun pesawat intai asing B-737 di Lapangan Udara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur.

“Iya itu di Bawean yang paling hot,” kata Setiawan kepada detikcom Sabtu (17/8) lalu. Menurut dia menjaga kedaulatan wilayah udara Indonesia dengan geografis luas adalah tantangan.

Perlu kesabaran dan kesungguhan karena masih sering pesawat asing jenis pengintai yang menyusup wilayah Indonesia tanpa izin. Bahkan, beberapa jenis pesawat intai sudah mengetahui lokasi persembunyian yang tidak bisa dideteksi radar seperti wilayah Pelabuhan Ratu.

Namun, diakuinya memang perlu juga ketegasan untuk membuat pesawat asing itu berpikir dua kali masuk ke daerah teritorial Indonesia. Hal ini sering kali terjadi di awal 2000.

“Kalau sekarang, kan sudah ada Sukhoi. Lebih lengkap dan bisa menghandle secara bersamaan sesuai perintah atasan,” ujar ayah dari Raffi Ahmad Fahrezi, 7, tahun itu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWeoHDfNOqrGnsne7c_nDTn7ksWg2SfP1T1Y12hJLM9Ms6VcgpTN6C3tvTVC2p4XqkSSbfKq3dp6_oAR3BIJOaksRE8WUB8NfdZT6rKX4ApUluPWmb43lbpCcELEKyybahdKdp0RtnoXIh/s608/Letkol+Pnb+Setiawan.jpg
Letkol Pnb Setiawan
Kesetiaannya dalam urusan menerbangkan pesawat tempur tidak perlu diragukan. Sejak 1997, Letkol Pnb Setiawan sudah mulai menjad pilot F-16. Belum lama ini, lulusan Akademi Angkatan Udara 1997 itu mencatatkan prestasi 2000 jam terbang menggunakan F-16 Fighting Falcon.

Prestasi itu juga mengantarkan Komandan Skadron Udara III Lanud Iswahyudi, Madiun ini sebagai orang ke enam di TNI AU yang berhasil menorehkan catatan 2000 jam bersama F-16.

Namun, meski terhitung senior dan punya pengalaman lebih dari satu dasawarsa, pria berkecamata itu tetap rendah hati. Ia tetap sabar memberikan instruksi terhadap para juniornya saat briefing antar pilot termasuk sebelum upacara peringatan Kemerdekaan Indonesia, Sabtu lalu.

Menerbangkan pesawat tempur F-16 diibaratkan Setiawan seperti mempersiapkan mesin peralatan teknologi canggih tipe multi role fighter. Perlu ketelitian dan persiapan matang untuk menerbangkan jenis pesawat ini yang punya berbagai tantangan seperti menghadapi cuaca hingga kesulitan traffict area geografis.

Beberapa tantangan itu yang perlu diatasi pilot F-16. Hampir setiap pilot F-16 yang ada saat ini minimal punya pengalaman 400 jam terbang.

Setiap kemahiran pilot dikembangkan dengan latihan rutin serta misi-misi khusus. Salah satu yang diingat adalah latihan gabungan di Sangatta, Kutai Timur.(erd/erd)

  ● detik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.