Senin, 16 September 2013

Bandit - Bandit Revolusi Kita

Ilustrasi
Mereka seperti penumpang gelap dalam kereta api revolusi: dinafikan dan tak diinginkan namun selalu dimanfaatkan. Kehadirannya kerap menguntungkan perjuangan, namun sering pula menjadi senjata makan tuan.

Masih ingat Si Nagabonar? Tokoh yang diambil dari sebuah film nasional berjudul sama itu merupakan seorang pencopet kelas teri yang dikisahkan mengalami mobilisasi vertikal: mendadak menjadi jenderal. Kendati tumbuh dari lingkungan hitam, Nagabonar (diperankan secara ciamik oleh aktor kawakan tahun 80-an: Dedy Mizwar) dikenal sebagai pemimpin lasykar (sebutan untuk kelompok milisi bersenjata di era Perang Kemerdekaan) yang pemberani, bertanggungjawab, kharismatik sekaligus konyol dan nyentrik.

Kisah sebangsa Nagabonar itu ternyata tidak diambil dari khayalan belaka. Tahun 1945-1949, saat kecamuk perang melanda negeri kita, fenomena pejuang yang berlatar sebagai kriminal, banyak bermunculan di mana-mana. Sebut saja dalam Perang 10 November 1945 di Surabaya, kelompok narapidana penjara Wirogunan dikenal sebagai pasukan yang termasuk ditakuti tentara Inggris karena kenekadannya.

Di daerah Front Bandung juga dikenal sebuah kesatuan lasykar bernama Pasukan Teratai. Kesatuan yang dipimpin oleh Jenderal Major drg. Moestofo tersebut terdiri dari para maling dan pelacur kelas teri. Mereka ditugaskan untuk mengacau daerah pendudukan termasuk menurunkan moril tentara Belanda. “Pak Moestofo menyebutnya sebagai Barisan M (Maling) dan Barisan P (Pelacur),” tulis Drs. Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949.

Lantas di Front Jakarta ada Haji Darip, jagoan Klender yang memimpin Barisan Rakyat Indonesia (BRI). Selain BRI, Pasukan Beruang Merah dan Barisan Pelopor pun cukup disegani di kawasan Karawang-Bekasi. “Mereka memadukan kriminalitas dan patriotisme dalam sebuah wajah,” ujar Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949.

Kehadiran pasukan para jagoan itu memang cukup mendukung kerja-kerja tentara resmi. Selain keberaniannya, mereka pun biasanya tak pernah menolak jika diserahi tugas melakukan sebuah operasi penyelusupan, sebahaya apapun itu. Namun di lain pihak, watak bandit mereka tak sekonyong-konyong luntur begitu saja. Saat melakukan operasi, tak jarang mereka berprilaku merugikan rakyat dan pihak republik.

Ada sebuah cerita lucu. Suatu hari Mayor Jenderal Moestofo mengeluh kehilangan tas yang berisi pakaiannya kepada Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala (Komandan Sektor Bandung Utara). Alih-alih memberikan keterangan, Kolonel Bratamanggala dilapori demikian malah tertawa.

“Lho, kok Overste (Letnan Kolonel) malah ketawa?” tanya Moestofo kepada komandannya tersebut. Jangan merasa aneh, di era revolusi, seorang Jenderal Major bisa menjadi seorang bawahan seorang Letnan Kolonel. Lebih gilanya, bahkan seorang komandan lasykar bisa membuat pangkat sendiri laiknya Si Nagabonar. Itu nyata terjadi dalam sejarah kita.

Ditanya demikian, Letnan Kolonel Bratamanggala makin keras tawanya. Setelah reda, ia baru berkata: “Siapa lagi yang mengambil kopor Jenderal jika bukan anak buah Jenderal sendiri? Ini kan namanya senjata makan tuan…” katanya sambil tersenyum geli.

Selanjutnya bukan saja kopor Jenderal Major Moestofo saja yang digasak, harta benda rakyat di daerah yang ditinggal mengungsi pun tak luput dari incaran mereka. Begitu pula Barisan P yang diharap bisa menurunkan moril tentara Belanda, malah menebar spilis di kalangan tentara republik. Demi disiplin dan menjaga timbulnya kerugian lebih besar, akhirnya kedua pasukan istimewa itu ditarik dari front dan dibubarkan.

Sebelumnya di Surabaya, para preman masa lalu yang tergabung dalam lasykar-lasykar tersebut diberitakan kerjaannya hanya merampok, menjarah dan memperkosa para perempuan Belanda dan Indo. Bahkan salah seorang preman lasykar bernama Mayor Sabaruddin, dilaporkan membuat sebuah harem khusus yang terdiri dari puluhan perempuan kulit putih tersebut. Soal kecabulan liar para kriminal berkedok pejuang itu setidaknya pernah diceritakan oleh penulis kenamaan Trisjuwono dalam cerpennya berjudul 'Di Medan Perang'.

Prilaku para preman itu di Jakarta lebih parah lagi. Merasa melarat terus menjadi lasykar, puluhan diantara mereka (dikenal sebagai Kelompok Panji) malah menggabungkan diri dengan tentara Belanda. “Di bawah supervisi Koert Bavinck (seorang letnan muda dari kesatuan intelejen yang pandai berbahasa Melayu) mereka lantas dibuatkan unit khusus bernama Hare Majesteit’s Ongeregelde Troepen (HAMOT) alias Pasukan Liar Sang Ratu…” tulis Cribb.

HAMOT kemudian menjadi sebuah kesatuan lasykar binaan tentara Belanda yang sangat loyal. Di front Jakarta dan Karawang, mereka dikenal sebagai musuh nomor satu bagi tentara-tentara republik. Bahkan bukan saja bagi para tentara, untuk rakyat kebanyakan pun HAMOT adalah momok yang paling dibenci karena kekejamannya. Sungguh merupakan kebalikan dari tokoh Nagabonar.(hendijo)

  ● Hendijo  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.