Kamis, 19 September 2013

'Gerilya Kota' ala Kelompok Kiri Jadi Taktik Teroris di RI?

Minimanual of the Urban Guerrilla punya pesan: bunuh polisi

Kepolisian Republik Indonesia mengaku belum tahu beredarnya buku “Panduan Pelaksanaan Perang Gerilya di Perkotaan” di internet. Buku setebal 112 halaman yang dapat diunduh bebas di laman scribd.com itu mengajak pembacanya untuk memerangi dan menggulingkan rezim kafir.

“Saya belum membaca itu. Kami masih mempelajarinya,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Ronny Franky Sompie di kantornya, Rabu 18 September 2013.

Manual atau buku petunjuk pratis tentang gerilya kota itu diunggah oleh seseorang yang memakai nama Syarif Ramzan Saluev. Sampai saat ini buku tersebut telah diunduh oleh lebih dari 4.359 orang. Isi buku yang bisa dibaca cuma-cuma hanya pengantarnya, sedangkan materi teknisnya harus diunduh dengan membayar.

Pengamat teroris Noor Huda Ismail menyatakan panduan gerilya kota yang sudah lama beredar di internet ini berbahaya karena dapat menginspirasi kelompok-kelompok yang punya benih resisten terhadap pemerintah untuk mempraktikkan isi buku itu.

Buku ini menjadi lebih terdistribusi karena disebarluaskan lewat internet. “Internet, sosial media, dan smartphone yang murah membuat manual ini mudah didistribusikan ke berbagai kalangan yang mendukung gerakan antipemerintah,” kata dia.

Dalam pengantar buku itu, pembaca diajak melawan pemerintah berkuasa yang mereka sebut rezim kafir. Cara perlawanannya mengadopsi sistem gerilya lewat taktik serangan hit and run –menyerang berulang-ulang dan menghilang dengan cepat.

Serangan hit and run itu dimaksudkan agar pemerintah beserta aparatnya kebingungan dan kehilangan moral tempur. “Para pejuang harus mulai merencanakan strategi gerilya kota dengan membawa peralatan tempur mereka ke dalam belantara gedung-gedung bertingkat dan bangunan tembok,” tulis manual itu.

Noor Huda mengatakan, pola gerilya kota yang ada dalam manual tersebut mirip dengan rangkaian kasus penembakan polisi tiga bulan terakhir di Tangerang dan Jakarta. Dalam lima kasus penembakan tersebut, polisi ditembak di tempat umum atau jalanan. Saat Bripka Sukardi ditembak di depan Gedung KPK, situasi pun masih cukup ramai.

Noor Huda khawatir kasus penembakan polisi akan terulang karena manual gerilya kota terlanjur beredar luas di internet. Bukan tak mungkin buku tersebut menjadi panduan para teroris.

Dari membaca pengantarnya saja, manual gerilya kota ini amat menarik bagi mereka yang punya bibit ekstrem: “Hari ini kita dijajah oleh kekuatan militer kafir. Mereka menguasai kota-kota besar dan gedung-gedung pemerintahan. Mereka mengangkat penguasa boneka atas nama sang penjajah. Umat Islam pun menjadi buruan penguasa, dan sebagian besar dari mereka ditahan,” demikian paragraf pertama pengantar buku itu.

Selanjutnya ditulis bahwa penguasa kafir menyebarkan kekuatan intelijen, informan, dan dinas keamanan rahasia di segala penjuru. “Siapapun yang berani berbicara atau mengutarakan ide-ide untuk menegakkan jihad, syariat, dan antidemokrasi –meskipun ia orang tidak bersalah– maka akan segera ‘dihabisi’,” tulis buku tersebut.

Buku itu kemudian bertanya kepada pembacanya apakah mereka akan berdiam diri dan mencari selamat saja, atau bertindak dan melawan balik. “Manual ini disediakan untuk Anda yang memutuskan untuk berperang. Manual ini disusun bagi rakyat biasa yang memutuskan bahwa perlawanan bersenjata adalah satu-satunya jalan untuk menjatuhkan rezim berkuasa,” tulisnya. Sungguh berbahaya.

Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Polisi Agus Rianto mengatakan, perkembangan teknologi memungkinkan setiap orang untuk melakukan dan menyebarkan apapun lewat dunia maya. “Produk-produk seperti itu dibuat oleh pihak tertentu yang ingin mengganggu stabilitas negara dan masyarakat. Tapi kami berharap tidak ada yang terpengaruh,” kata Agus.

Buku kelompok kiri

Noor Huda mengatakan, manual gerilya kota yang beredar di internet tersebut merupakan terjemahan dari buku gerilya kota kelompok kiri yang dicampur dengan argumentasi Islam. Buku kelompok kiri yang dimaksud itu yakni “Minimanual of the Urban Guerrilla” karangan gerilyawan Brasil Carlos Marighella yang diterbitkan Juni 1969.

Minimanual of the Urban Guerrilla berisi cara-cara untuk menggulingkan rezim otoriter dengan tujuan revolusi. Buku itu mendukung Brasil bertransformasi menjadi negara komunis seperti Kuba. Selama beberapa waktu, buku ini digunakan oleh sejumlah organisasi gerilya. Namun dalam beberapa dekade terakhir peran buku itu di kalangan gerilyawan kiri menurun –sampai tiba-tiba ekstremis Islam menggunakannya kembali.

Minimanual of the Urban Guerrilla sesungguhnya dilarang beredar di banyak negara. Namun buku itu tetap saja dicetak dan terpampang di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat.

Salah satu hal yang membuat pakar teroris Noor Huda menyebut pola gerilya kota dalam buku ini mirip dengan rangkaian kasus penembakan di Tangerang dan Jakarta tiga bulan terakhir adalah karena pelaku sama-sama menyasar polisi.

Dalam bukunya, Carlos Marighella jelas menjadikan polisi sebagai target. “Hal yang harus selalu diingat oleh setiap gerilyawan kota adalah ia hanya dapat mempertahankan eksistensinya jika membunuh polisi dan mereka yang berlaku represif,” tulisnya.

Bukan yang pertama

Manual gerilya kota ala ekstremis Islam bukan buku panduan teroris yang pertama. Sebelum ini, sudah banyak panduan merakit bom yang digunakan berbagai kelompok teroris di Indonesia untuk membuat bom. Panduan semacam itu misalnya pernah ditemukan polisi di kediaman teroris bom Tambora, Muhammad Toriq.

Di rumah Toriq, Gegana menemukan kertas yang berisi tulisan senyawa kimia yang ternyata merupakan tata cara merakit bom. Di samping kertas itu, Gegana juga menemukan barang-barang yang digunakan sebagai bahan peledak seperti detonator bom dan lembaran pembuatan racun atau bubur California.

Mabes Polri menyatakan, situs pembuatan bom memang bisa diakses dengan mudah lewat internet. Banyak di antara teroris yang dibekuk polisi pun ternyata belajar membuat bom secara otodidak lewat internet. Polri pun sempat meminta Kementerian Informasi dan Informatika untuk mengawasi dan memblokir situs-situs yang berpotensi menjadi panduan teroris supaya tidak tersebar ke masyarakat.

Mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Suhardi Alius yang kini menjabat Kapolda Jawa Barat beberapa waktu lalu mengatakan, para calon pengantin teroris yang terlibat dalam berbagai bom bunuh diri cenderung belajar membuat bom dari internet.

Menurutnya, pola terorisme masa kini tidak lagi direktif atau top-down dari pimpinannya, tapi parsial. Teroris dari suatu kelompok bisa langsung beraksi tanpa menunggu perintah dari pemimpinnya. Aksi teror sporadis pun bisa berlangsung karena bahan dasar pembuat bom mudah didapat di pasar-pasar. Pupuk saja bisa jadi bahan bom.

“Buku mengenai ajakan teror harus diwaspadai dan disensor untuk meminimalkan aksi teror,” kata Suhardi. Namun di era digital seperti sekarang di mana buku tidak selalu hadir dalam bentuk cetak, kesulitan Kepolisian untuk memantau buku-buku teror pun bertambah. (eh)

  Vivanews 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.