Selasa, 01 Oktober 2013

Jalan 'Jenderal Namratus' Menuju Kursi Kapolri

 Bareskrim pimpinan Komjen Sutarman pernah bersitegang dengan KPK.  

Komisaris Jenderal Sutarman menjadi calon tunggal orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia. Sutarman akan menduduki kursi Tribrata I menggantikan Jenderal Timur Pradopo yang memasuki masa pensiun pada Januari 2014 mendatang.

Kepastian itu didapat setelah Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat RI menerima surat pengajuan Kepala Kepolisian RI baru yang dikirimkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Surat itu diterima DPR Jumat pagi, 27 September 2013 sekitar pukul 10.00 WIB.

"Presiden SBY hanya mengajukan satu nama, yaitu Komjen Pol. Sutarman," kata Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Sebenarnya, peluang Sutarman menjabat komandan tertinggi di korps baju cokelat itu sudah diperkirakan sebelumnya. Peluang itu terlihat saat Presiden SBY menunjuk Wakil Kepala Staf TNI AD Letnan Jenderal TNI Moeldoko sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 20 Mei 2013. Tak lama kemudian Moeldoko diangkat jadi Panglima TNI, pada 30 Agustus.

Sutarman merupakan satu-satunya anggota Polri seangkatan Moeldoko--lulusan tahun 1981 yang memiliki pangkat jenderal bintang tiga. Selain Moeldoko, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Marsetio dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Ida Bagus Putu, juga angkatan 1981. Itu artinya pucuk pimpinan TNI sudah dipegang angkatan '81.

Dan perwira tinggi angkatan '81 pun berada di atas angin di bursa pencalonan Kapolri.

Meski bukan lulusan terbaik Akademi Kepolisian angkatan 1981, setidaknya Sutarman yang kini menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, sudah menyingkirkan tiga jenderal bintang tiga yang namanya sempat digadang-gadang. Mereka adalah Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, dan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Anang Iskandar.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menilai penunjukan Sutarman tepat mengingat pria kelahiran 5 Oktober 1957 itu merupakan perwira senior sehingga bisa menutupi persoalan kompetisi antar angkatan. "Sutarman lebih senior dibandingkan kandidat-kandidat lainnya," kata dia.

Dalam waktu dekat Komisi Hukum DPR RI akan menggelar fit and proper test. Bila melihat rekam jejaknya, Priyo yakin perjalanan Sutarman akan mulus di DPR. Sejauh ini, kata Priyo, semua partai politik merasa nyaman dengan Sutarman. Kata dia, Sutarman tidak pernah dekat dengan partai politik manapun.

Jenderal 'Namratus'

Nama Sutarman memang tidak asing lagi di intitusi Polri. Sejumlah jabatan bergengsi pernah dia emban. Kariernya di kepolisian dimulai pada 1982 sebagai Kepala Staf Lalu Lintas Polres Bandung. Tak lama dia di situ, lalu naik jadi Kapolsek Dayeuh Polres Bandung.

Kariernya terus meningkat hingga perwira kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, ini dipercaya jadi ajudan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 2000 sampai 2004.

Dari situ sampai tahun 2010, jalur Sutarman cukup gemilang. Dia menduduki sejumlah pos strategis, mulai Kapolwiltabes Surabaya, Kapolda Kepulauan Riau, dan Kepala Sekolah Lanjutan Perwira - Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri.

Di tahun 2010, Sutarman diangkat menjadi Kapolda Jawa Barat. Setelah itu dia dilantik jadi Kapolda Metro Jaya menggantikan Timur Pradopo, sebelum akhirnya ditunjuk menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri pada 6 Juli 2011.

Bila proses menuju kursi Kapolri lancar, maka pria yang biasa disapa juru warta dengan sebutan 'Jenderal Namratus' itu--membaca nama Sutarman dari belakang--sudah dua kali menggantikan posisi Timur.

Meski demikian, perjalanan Sutarman di Polri bukan tanpa sandungan. Belum lama ini, Bareskrim jadi sorotan publik saat terjadi polemik penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Izin Mengemudi antara Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Polemik antara kedua institusi ini mencuat sejak penggeledahan yang dilakukan KPK di Gedung Korps Lalu Lintas Polri pada 30 Juli 2012. Polemik ini semakin bertambah saat keduanya menetapkan sejumlah tersangka yang sama.

KPK menetapkan mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus tersebut, pada 27 Juli 2012, bersama Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto, dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukoco S Bambang.

Sementara itu, Bareskrim pimpinan Sutarman juga menetapkan lima tersangka sejak Rabu 1 Agustus 2012, pada kasus yang sama. Mereka adalah Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek simulator SIM, Ketua Pengadaan Simulator SIM AKBP Teddy Rusmawan, dan Bendahara Korlantas Polri seorang Komisaris berinisial LGM.

Dari pihak swasta, Sutarman menetapkan sejumlah nama, yakni Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto, dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukoco S. Bambang.

Alhasil, KPK dan Polri menetapkan tiga tersangka yang sama, yakni Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukoco Bambang.

KPK yang merasa lebih dulu menangani kasus ini meminta Polri mundur dan hanya membantu proses penyidikan saja. Namun, Polri menolak. Mereka mengatakan KPK telah menerabas etika dalam penanganan kasus ini.

Dua lembaga penegak hukum ini pun bersitegang, sebelum akhirnya ditengahi Presiden SBY.

Amankan 2014


Kepada calon penerusnya ini, Kapolri Jenderal Timur Pradopo rupanya sudah menitahkan amanat. Dia mewanti-wanti bahwa isu pengamanan Pemilu 2014 merupakan prioritas kerja bagi Kapolri selanjutnya.

Dia berharap penggantinya adalah jenderal yang siap menjaga keamanan Indonesia di tahun politik yang panas ini. "Pengamanan Pemilu nanti yang utama. Harus siap," kata jenderal berbintang empat itu.

Anggota Komisi III DPR RI, Eva Kusuma Sundari, berharap Kapolri baru bisa menjaga netralitas dan tidak berpihak pada partai penguasa. "Pada Pemilu 2009 lalu tidak netral, lebih condong ke Partai Demokrat dan Presiden," Eva mengritik.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional Eddy Hasibuan menyebut ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Sutarman. Kasus penembakan misterius terhadap sejumlah anggota kepolisian adalah salah satu yang utama.

Seharusnya, sebagai aparat penegak hukum dapat menjamin keamanan masyarakat. Kini yang terjadi sebaliknya. Polisi justru jadi sasaran teror. "Jika dibiarkan berlarut-larut dikhawatirkan memberi efek psikologis yang besar bagi masyarakat," kata Eddy.

Tugas lain yang tak kalah penting adalah memberantas kasus korupsi yang masih menggerogoti tubuh Polri. Dia menduga masih banyak pejabat Polri yang terlibat praktik haram ini. "Sutarman harus mengubah citra Polri dengan mengungkapnya."(kd)

  ● Vivanews 

1 komentar:

  1. Penggantian kapolri ibarat nasi uduk dan nasi goreng gak beda jauh yg di tunjuk sby kroni , lebih proo kruptor / ke adilan jangan harap kapolri baru bisa bekerja sama dengan KPK berantas krupsi !

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.