Minggu, 27 Oktober 2013

Melirik Teknologi Kapal Selam Korut: Peluang Meningkatkan Kemampuan Industri Lokal

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM4r5IhME-1LX2juS80BpNb6GEr8fX0_Nm30p2c1aVdO2zsHqCzOIn33E_9VxbR3u0-vkAWCJBp4fanfsjRGHFwn2HQPsKM4zLyoFY3vAwqExS8Vp9nPJ5fwkqIx8o4wHoF-kGYC9hPVRe/s320/KS_kaskus.jpgJika ingin menemui pria tampan, pergilah ke Korea Selatan (KS). Namun, jika ingin melihat wanita cantik maka pergilah ke Korea Utara (KU). Demikian pemeo yang pernah saya dengar di Peninsula Korea ini. Benar tidaknya, wallahualam!

Membicarakan kedua negara Korea memang tidak akan ada habisnya, mulai dari sisi kebudayaan, teknologi, semangat kerja, kelakuan, dan sebagainya.

Yang jelas, kedua negara tersebut kaya dengan warna. Lihat saja, pada saat pembukaan Olimpiade Seoul, KS, beberapa waktu yang lalu, maupun perayaan kemerdekaan di Pyongyang, KU, pasti busana yang dikenakan oleh rakyat kedua negara sangat menyolok, menarik penuh warna-warni, dan penuh semangat.

Kita juga tentu masih ingat bahwa beberapa waktu yang lalu, berbagai media membicarakan peluncuran roket KU, dan semua mengetahui bahwa pada akhirnya roket meledak dan gagal menempatkan satelit di antariksa. Banyak kecaman ditujukan kepada KU, sebelum maupun setelah peluncuran. Dan tampaknya, KU tetap ‘acuh tak acuh’ dan terus melanjutkan program satelitnya tanpa menghiraukan hiruk-pikuk negara lain yang memprotes.

Negara KU dikenal dengan nama Republik Demokratik Rakyat Korea (RDRK), dengan ibu kota Pyongyang. Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa bangsa itu harus ‘dimusuhi’ oleh banyak negara di dunia, terutama Negara Maju? Apakah karena sejarah kelam Perang Korea 1950-1953?

Beberapa waktu yang lalu, penulis mengunjungi KS dan baru kali ini sempat mengunjungi satu tempat bernama Im Jing Gak, yang merupakan ‘pintu masuk’ ke daerah DMZ, zona demiliterisasi yang merupakan perbatasan KS dan KU, di mana kita bisa melihat Kota Kaesong di wilayah KU.

Dari kejauhan, dengan teropong tentunya, suasana di daratan KU tampak damai dan terlihat beberapa pabrik aktif. Tampak cerobong asap di kejauhan dengan asap putihnya bergelombang ditiup. Tampak juga bendera KU yang berkibar di puncak tiang setinggi ±160 meter. Tidak sedikit warga KS yang juga jadi turis lokal melihat wilayah KU. Mungkin dalam hati mereka berkata, "Itu musuh abadi saya," atau mungkin membatin, "Wah… bagaimana kabar Si Fulan, Saudaraku?"

Tragis memang nasib saudara yang terpisah ini. Dari kejauhan, wilayah daratan KU tidak tampak aktivitas militer. Semua terlihat damai dan asri, mudah-mudahan. Namun, ada yang menyatakan bahwa yang tampak asri itu semua tipuan belaka; untuk menunjukkan, negara KU adalah negara makmur. Betul tidaknya, penulis sendiri belum menemukan jawaban.

Namun konon, di perbatasan Panmunjeon (ada yang menyebut Panmunjom) suasana berbeda 180 derajat; tegang, waspada, dan para tentara, baik dari pihak KS maupun KU, tidak ada yang tersenyum.

Kembali ke masalah peluncuran satelit, sebetulnya bagaimana kemampuan militer KU? Tentunya kalau suatu negara mampu meluncurkan satelit ke luar angkasa pasti mereka mampu juga untuk membuat peluru kendali. Biasanya negara yang ‘tertekan’ cenderung akan menerapkan falsafah ‘berdikari’ termasuk bidang militer dan persenjataan.

Tawaran Alih Teknologi

Pernah suatu ketika, sewaktu masih berdinas di salah satu BUMN, penulis kedatangan kawan dan memperkenalkan beberapa orang yang penulis pikir, berasal dari daratan China. Mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka ingin bekerja sama membuat kapal bawah air yang bagi mereka, cocok untuk Indonesia. Sebab, lautan Indonesia sangat luas dan punya banyak pulau dan gugusan karang yang tersebar. Luar biasa. Orang luar justru paham, tetapi kita sendiri kadang-kadang lupa hingga orientasinya selalu daratan.

Mereka berjanji akan memberikan semua teknologi pembuatan kapal bawah air dengan didasari kerja sama. Tenyata, setelah penulis perhatikan, design kapal bawah air yang diusulkan tidak panjang. Kira-kira hanya 30 meter. Katanya sanggup menyelam selama 4–5 jam dengan awak kapal sebanyak ±9 orang, dan dipersenjatai. Penulis membayangkan, mungkin kapal ini sejenis kapal yang digunakan untuk menembak kapal KS beberapa waktu lalu.

Saya tanya, di mana keunggulannya, dan lewat penerjemah mereka menerangkan bahwa kapal bawah air jenis ini dapat ‘bersembunyi sambil menyelam’ dekat gugusan pulau kecil dan karang di sekitar selat yang strategis tanpa dapat dideteksi pihak musuh. Begitu ada musuh lewat maka bisa menembak. Kenapa tidak bisa dideteksi, karena sonar pihak musuh sulit membedakan antara pantulan kapal dengan pulau atau karang. Memang kapal bawah air jenis ini tidak bisa menyelam lama; tetap harus melakukan snorkeling.

Berbeda dengan kapal bawah air, konon ‘turunan kelas-209’ buatan galangan kapal Daewoo (KS) yang dibeli pemerintah Indonesia yang mampu menyelam lebih lama, namun tentu jangan dibandingkan dengan kapal bawah air ‘kelas 214’ buatan Jerman asli yang mampu menyelam 2 minggu nonstop.

Semakin lama kemampuan selamnya semakin sulit dideteksi musuh dari sisi coverage area detection. Kelas 214 tergolong kapal bawah air modern dan standar NATO. Saat ini ada beberapa negara yang mampu membuat kapal bawah air ‘kelas 214’ dengan lisensi Jerman, antara lain Yunani dan Turki.

Indonesia membutuhkan banyak kapal bawah air, tidak hanya sekadar 4 atau 5 tetapi puluhan. Strategi macam mana kapal bawah air yang akan dikembangkan serta diproduksi di dalam negeri menjadi satu keharusan. Tidak bisa kita selamanya menggantungkan diri kepada produk luar.

Penulis akhirnya tahu bahwa tamu tersebut dari Korea Utara. Meskipun demikian tawarannya cukup menarik karena ada transfer of technology gratis asal ada pesanan dan mereka janjikan bisa dibuat di galangan kapal nasional 100% mulai dari kapal pertama.

Mana ada tawaran yang berani seperti ini? Malah yang sering kita dengar, cara alih teknologi yang ditawarkan negara lain manakala Indonesia membeli produk teknologi tinggi, selain harus membayar mahal, prosesnya juga dipersulit.

Namun pembicaraan tentang kapal bawah air yang ditawarkan KU tidak berlanjut mengingat satu dan lain hal. Jadi rupanya meskipun ada hubungan diplomatik antara Indonesia dengan KU, tetap saja ada batasan-batasan bila menyangkut rencana kerja sama industri dan teknologi dengan KU.

Klaim sebagai Negara Nuklir

Belum lama ini, pemerintah KU memproklamasikan bahwa KU adalah negara nuklir. Rupanya KU sudah mampu membuat atau paling tidak berani menyatakan mampu membuat pembangkit listrik nuklir, bom nuklir, dan peluru kendali nuklir, selain kapal bawah air yang pernah ‘memakan korban’. Terbukti, KU baru saja melakukan percobaan nuklir bawah tanah yang diprediksi berkekuatan ±700 kiloton.

Penulis pikir, tidak semua negara mau memberikan teknologinya, apalagi secara gratis. untuk itu, seyogianya apabila ada negara yang mau menawarkan hal seperti itu mestinya kesempatan tersebut bisa dikaji, apalagi dengan negara yang sudah punya hubungan diplomatik.

Penulis pun juga yakin, teknologi propelant KU cukup maju. Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa menembakkan peluru kendali jarak menengah sampai jarak jauh. Peluru kendali mereka kelas Taepodong diyakini mampu menjangkau sampai 4.300 km, dan dapat dimuati hulu ledak nuklir. Sementara roket buatan Lapan sendiri daya jangkaunya masih relatif terbatas.

Jadi mestinya kita tidak usah alergi terhadap produk KU, sepanjang mutunya bagus, harga bersaing, dan transfer teknologinya gratis. Patut dipertimbangkan.

Hal ini sudah dimulai dengan ditandatanganinya kerja sama antara Indonesia dengan KU dalam bidang komunikasi dan teknologi informasi baru-baru ini di Yogyakarta, meskipun realisasinya masih belum terlihat nyata.

Kembali kepada pertanyaan, mengapa KU dimusuhi oleh negara Barat, khususnya? Mungkin salah satunya, KU tidak mau menuruti apa kemauan mereka. KU tidak mau diatur karena merasa sebagai negara yang berdaulat. Biasanya, bangsa seperti ini punya sikap militansi yang hebat, dan apabila didukung tenaga manusia yang terampil dan terdidik, bukan tidak mungkin KU menjadi negara yang maju.

KU mungkin tidak sekaya Indonesia, namun pasti mereka punya keistimewaan yang dapat kita pelajari. Sejatinya KS dan KU itu saudara. Nah kalau KS saja sekarang sudah sangat maju maka KU yang sumber daya manusianya ‘sama’ atau paling tidak ‘mirip’ tentu juga punya keunggulan.

Saat ini, Kementerian Pertahanan sedang membicarakan program alih teknologi kapal bawah air ‘turunan kelas 209’ dengan pihak Daewoo, untuk nantinya bisa diproduksi di dalam negeri. Sampai seberapa jauh alih teknologi yang akan kita peroleh, tergantung dari seberapa gigih kita meminta apa yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli sesuai kontrak yang telah ditandatangani. Dan tentu tergantung seberapa dalam content alih teknologi dalam kontrak tersebut.

Cepat atau lambat, KU akan diperhitungkan oleh negara mana pun, termasuk ASEAN sebagai mitra strategis, baik dalam hubungan bisnis maupun kerja sama teknologi. Contoh yang paling jelas adalah Myanmar, yang dari tadinya negara tertutup sekarang banyak negara ASEAN yang melakukan kerja sama, karena iklim keterbukaan dan suasana yang makin kondusif.

Jadi sekali lagi, jangan alergi menerima tawaran kerja sama KU, selama tawaran tersebut bermanfaat bagi kedua negara. Pasti ada yang menarik dari sekian macam tawaran.

Jika tidak percaya, silakan datang ke salah satu restoran di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan, di mana kita akan disambut ramah oleh para gadis cantik dengan pakaian tradisional warna warni. Restoran tersebut menyajikan masakan khas KU. Mengingat penulis belum dapat membedakan mana menu yang asli KS dan mana yang asli KU, jadi percaya saja waktu dibilang oleh pemilik restoran, yang jelas enak rasanya, dan boleh dicoba.

  JurnalMaritim  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.