Sabtu, 23 November 2013

Tidak Cukup ‘Merdeka Atau Mati’: Kepentingan Bersama vs Musuh Bersama

Tidak Cukup ‘Merdeka Atau Mati’: Kepentingan Bersama vs Musuh Bersama Jakarta Tujuh dekade silam, slogan ‘Merdeka atau Mati’ dikumandangkan di seluruh penjuru tanah air. Slogan itu menjadi pemersatu dan pembakar semangat para pejuang kemerdekaan. Saat itu, konsep nasionalisme didefinisikan secara sederhana. Yang melawan kolonial adalah pejuang dan bila gugur, disebut pahlawan. Sebaliknya, bila enggan bergabung dengan pejuang, maka ia pengkhianat. Konsep nasionalisme mudah didefinisikan karena Indonesia memiliki musuh bersama, yaitu penjajah.

Pasca kemerdekaan, meski masih ada ancaman, tapi pejuang Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaandengan slogan yang sama. Selain itu, peristiwa-peristiwa pemberontakan dan separatisme bersenjata juga menjadiujian penting keutuhan NKRI. Tetapi patut disyukuri, semangat persatuan dan kesatuan serta jiwa kepahlawanan, membuat bangsa Indonesia dapat berdiri tegak hingga kini.

Dalam perjalanannya, tidak sedikit yang meyakini bahwa saat ini telah terjadi pergeseran nilai, yang menggerus karakter bangsa Indonesia yang unggul tersebut. Di tengah hiruk pikuknya globalisasi dan meluasnya pengaruh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dewasa ini, terdapat sebuah tren yang dianggap mengkhawatirkan, yaitu lunturnya nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, serta persatuan dan kesatuan bangsa dalam diri generasi muda kita.

Beberapa alasan yang diangkat cukup kuat.

• Pertama, arus globalisasi dan pesatnya kemajuan TIK diyakini sebagai faktor utama yang melatarbelakangi berkurangnya nasionalisme. Generasi muda Indonesia saat inidianggap lebih akrab dengan budaya dan produk asing dibandingkan dengan yang dimiliki oleh bangsanya sendiri. Tidak semua, tapi cukup banyak dari mereka yang menilai bahwa film-film Hollywood lebih menarik dibandingkan sinema lokal; musik K-pop lebih ‘gaul’ dibandingkan dangdut; koleksi busana Paris lebih keren dibandingkan batik atau tenun; pizza dan cheese burger lebih enak dibandingkan nasi Padang dan soto Betawi; bahasa Inggris lebih berkelas dibandingkan bahasa Indonesia; serta voting, yang menekankan menang dan kalah, lebih relevan dibandingkan musyawarah untuk mufakat.

Dunia yang semakin terbuka, sekaligus terintegrasi dan terhubung tentu telah menghadirkan kecenderungan bagi masyarakatnya untuk saling berbagi dan meniru satu sama lain. Sayangnya semakin hari kita semakin sulit untuk menarik garis lurus antara mana yang baik untuk diadopsi dan mana yangtidak sesuai dengan nilai-nilai dan karakter bangsa kita. Sesungguhnya tidak ada yang perlu dirisaukan jika kita dapat mengambil berbagai hal positif dan keunggulan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Yang harus dihindari adalah sikap yang terlalu mengagungkan segala sesuatu yang berlaku di negara tertentu, kemudian secara membabi buta berupaya mengimpornya dengan keyakinan bahwa hal-hal tersebut pasti benar dan pasti cocok bagi Indonesia. Di samping itu, jangan sampai sikap tersebut menghilangkan kecintaan dan kebanggaan kita terhadap nilai-nilai, khazanah, keunggulan, dan keunikan lokal, yang belum tentu dimiliki oleh bangsa dan negara lain.

• Kedua, tanpa disadari generasi muda kita saat ini telah menjadi generasi ‘instan’. Sebelum ada internet dan smartphone, untuk dapat mempelajarisuatu materi tertentu, seorang mahasiswa paling tidak harus menyiapkan waktu sekitar 4 jam untuk melakukan tiga hal, yaitu: datang ke kampus, mengikuti kelas, dan mencari tiga sampai lima judul buku atau jurnal yang relevan di perpustakaan. Kini, siapapun, kapanpun, dan dimanapun, dalam hitungan detik dapat mencari ratusan bahkan ribuan literatur yang saling berkaitan sebagai referensi dalam studi atau penelitian. Ini hanya salah satu ilustrasi betapa teknologi telah mengubah kehidupan dan perilaku kita sehari-hari. Di satu sisi dapat dikatakan bahwa segala bentuk aktivitas manusia menjadi jauh lebih cepat dan sederhana. Namun di sisi lain, itu semua dapat melahirkan individu-individu yang ingin serba instan, termasuk dalam upaya meraih harta dan kekuasaan.

Mereka juga sangat berpotensi menjadi generasi yang kurang sabar, kurang tangguh dan mudah menyerah dalam menghadapi persoalan. Contoh yang sangat sederhana dalam keseharian kita, ketika dalam situasi tertentu terjadi gangguan terhadap jaringan seluler dan internet, sesaat itu juga kita panik.

Bagi masyarakat yang profesi dan kehidupannya menjadi semakin efektif dan efisien karena ‘dimanjakan’ oleh berbagai fitur TIK, maka sepuluh menit saja tanpa koneksi akan terasa sangat lama. Lebih buruk, seolah-olah mereka tidak dapat mengerjakan apapun sebelum kembali terhubung melalui handphone, email, maupun media sosial. Situasi semacam ini tentu tidak asing, terlebih masyarakat kita termasuk pengguna media sosial paling aktif di dunia. Tren tersebut menarik untuk kita cermati, karena kita berharap bahwa walaupun masyarakat Indonesia semakin modern ke depan, tetapi tetap dapat mengapresiasi pentingnya proses dalam sebuah pencapaian. Dan dalam setiap proses, tidak semuanya ideal dan sesuai ekspektasi, pasti ada jatuh bangunnya. Oleh karena itu, dibutuhkan ketabahan dan ketangguhan, serta nilai-nilai patriotisme lainnya dalam diri kita.

• Ketiga, anatomi masyarakat yang heterogen, ditambah absennya musuh bersama, dianggap menjadi faktor rentannya keutuhan NKRI. Walaupun semangat persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan telah menjadi komitmen bangsa sejak Sumpah Pemuda 1928, dua realitas di atas memang telah menghadirkan gesekan-gesekan sosial, bahkan konflik komunal di tengah-tengah kita. Yang menyedihkan adalah, baik gesekan sosial maupun konflik komunal, seringkali diprakarsai oleh generasi muda kita, yang seharusnya bersatu, memusatkan energi dan pikiran-pikiran terbaiknya untuk memajukan Indonesia.

Tentu kita tidak dapat mengubah keberagaman yang ada. Kita juga tidak menginginkan hadirnya musuh bersama yang setiap saat mengancam kedaulatan dan keselamatan bangsa, seperti Korea Utara bagi Korea Selatan, atau Israel bagi Palestina. Memang tidak ada yang lebih efektif dari konsep musuh bersama. Bukti sederhana adalah ketika tim Garuda Muda melawan tim Korea Selatan, juara bertahan sepak bola Asia. Seluruh rakyat Indonesia dimanapun berada, apapun profesi dan afiliasi politiknya, tidak hanya menyaksikan laga tersebut, tapi juga menyatukan energi dalam teriakan dan doa untuk kemenangan bersama. Dapat dibayangkan jika situasi di lapangan hijau tersebut diekstrapolasi ke dalam konteks perang antar negara. Namun sebagai bangsa yang cinta damai, hasrat Indonesia tentu pada upaya menciptakan stabilitas di kawasan, dan bukan sebaliknya, menciptakan musuh di kawasan.

Yang harus kita kedepankan dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa tersebut bukanlah musuh bersama (common enemy), melainkan kepentingan bersama (common interest). NKRI yang berdaulat adalah harga mati. Tapi kini kepentingan bersama kita lebih dari sekedar mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara. Kita ingin menjadi bangsa yang memenangkan kompetisi global di abad 21 dan seterusnya, yang dipastikan semakin sengit dan kompleks. Dengan jumlah penduduk dunia yang semakin besar, maka pangan, air, minyak bumi, dan sumber daya alam lain yang tak terbarukan, menjadi sumber kompetisi masa depan. Kegagalan mengelola kompetisi tersebut, dapat berakibat pada konflik, bahkan perang antara negara-negara di dunia. Dan ketika itu semua terjadi, tentu kita tidak ingin berada di pihak yang kalah. Artinya kini slogan ‘Merdeka atau Mati’ saja tidak cukup untuk menjamin kepentingan nasional kita. Kita perlu mencari slogan-slogan baru, dengan semangat yang sama, sebagai pemersatu kita.

Jika generasi penerus bangsa dapat terus bersatu dan menggelorakan semangat pantang menyerah dalam upaya besar menjawab tantangan dan memenangkan kompetisi di abad 21, maka sesungguhnya itu semua merupakan bentuk pertanggungjawaban kita terhadap setiap tetes keringat, darah dan air mata para pendahulu demi tegaknya merah putih. Kurang bijak jika kita hanya menyalahkan generasi muda kita dan mengambinghitamkan globalisasi dan kemajuan teknologi sebagai faktor pelemah nasionalisme bangsa. Bagaimanapun, mereka adalah junior kita, anak-anak kita sendiri. Justru tanggung jawab kita bersama untuk dapat terus menanamkan nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, serta persatuan dan kesatuan bangsa melalui cara-cara yang lebih populer. Ketika indoktrinasi secara konvensional tidak lagi efektif, maka kita harus mencari pendekatan lainnya. Dengan means dan ways yang tepat, kita dapat lebih mendekatkan definisi ketiga nilai tersebut kepada generasi muda kita, untuk dapat dimanifestasikan di dalam era yang semakin modern.

Agus Harimurti Yudhoyono, Alumnus Akademi Militer 2000 dan Universitas Harvard


  Jurnas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.