Selasa, 10 Desember 2013

Deradikalisasi Terorisme, Dialog & Perang Pemikiran

 Penanggulangan teror dirasa tidak cukup dilakukan dengan penangkapan.

http://ramalanintelijen.net/wp-content/uploads/bnpt-logo.jpgBadan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki strategi baru dalam menangkal terorisme. Mereka mencoba jalan dialog untuk deradikalisasi kelompok yang selama ini diduga terkait atau terlibat sejumlah aksi teror di tanah air.

Penanggulangan teror dirasa tidak cukup dilakukan dengan penangkapan dan penjara. Sebab, akar permasalahannya ada di pemikiran. Banyak pemikiran radikal berkembang diikuti sejumlah aksi radikal.

"Kita harus luruskan pemikiran radikal yang menjadi akar teror. Ini tidak bisa dilakukan dengan senjata. Ini hanya bisa dilakukan dengan dialog para ulama. Makanya, kita mendatangkan ulama dari Mesir dan Jordania," kata Kepala Badan BNPT, Ansyaad Mbai, saat diskusi 'Menangani radikal terorisme di Indonesia', di Hotel Sahid, Jakarta, Sabtu malam, 7 Desember 2013.

BNPT mendatangkan tiga ulama dari Mesir dan Jordania. Di negaranya, mereka terkenal sebagai ulama mantan tokoh penting Jamaah Islamiyah (JI). Jamaah Islamiyah merupakan organisasi yang sering dikaitkan dengan aksi teroris di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Mereka yang didatangkan adalah Syekh Hisyam al-Najjar dan Syekh Najib Ibrahim. Keduanya mantan tokoh penting Jamaah Islamiah dari Mesir. Kemudian, Syekh Ali Hasan al-Khalaby, tokoh dari Jordania.

"Ketiganya sengaja didatangkan, karena fatwa mereka yang sering dijadikan jargon para teroris di Indonesia," kata Ansyaad.

 Dialog dengan ABB 

BNPT meminta bantuan ketiga tokoh ini untuk datang dan berdialog dengan para tokoh JI di Indonesia. Minggu 8 Desember, ketiganya diberangkatkan ke LP Nusakambangan untuk menemui para terpidana terorisme yang tengah menjalani masa hukuman di sana. Di antaranya, Abu Bakar Ba'asyir (ABB).

Ansyaad menjelaskan, dialog itu akan berlangsung selama dua hari. Selanjutnya, mereka akan berdialog dengan terpidana kasus yang sama di Lapas Cipingan, Jakarta, selama satu hari. Setelah itu, BNPT akan memfasilitasi ketiga mantan JI Mesir dan Jordania itu untuk berdiskusi di sejumlah kampus di Indonesia.

"Kita berharap, para ulama ini bisa meluruskan dan memberi penjelasan pikiran radikal. Pikiran radikal ini yang menjadi pemicu terjadinya berbagai tindakan teroris seperti peledakan bom. Sedangkan tindakan hukum petugas, tidak meredakan semangat jihad yang salah di pikiran para teroris," kata Ansyaad.

Data Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan, napi teroris yang menjalani hukuman di Lapas Nusakambangan berjumlah 41 orang. Salah satunya Abu Bakar Ba'asyir yang menghuni LP Pasir Putih.

BNPT melakukan pendekatan untuk mengundang para tokoh ini sejak satu tahun lalu. Di antara yang pernah didatangkan untuk berdialog dengan para narapidana itu adalah Wakil Menteri Agama Nasarudin Umar.

"Saya pernah mencoba berdialog dan berdiskusi dengan mereka. Saya tidak didengar. Mungkin dianggap kafir, karena mewakili pemerintah atau dianggap terlalu muda dan kurang pemahaman," kata Nasarudin, Sabtu 7 Desember.

Ia sangat berharap para ulama yang sering dijadikan referensi berbagai kelompok teroris di Indonesia dapat meluruskan. Pendekatan deradikalisasi ini, terutama menyasar pada pola pikir.

 Perang Pemikiran 

Syekh Hisyam al-Najjar menjelaskan, ada kesalahan dalam menangni para teroris. Yakni, selama ini pemerintah Indonesia terpaku pada penanganan dalam konteks perlawanan terbuka dengan mengejar dan menangkap terus menerus para teroris.

"Penangkapan para teroris tidak akan menghentikan penyerangan dan pengeboman. Penanganan para teroris adalah menjelaskan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Selama pikiran radikal belum berubah, upaya teror akan terus terjadi," kata dia.

Hal senada disampaikan Ali Hasan al-Halaby. Dia lantas mempertanyakan peran para ulama Indonesia. "Kemana para ulama? Di mana para ulama? Memberi masukan untuk meluruskan pemikiran radikal adalah tugas ulama. Pikiran radikal tidak bisa dilawan hanya dengan penangkapan dan senjata. Ini perlu peran ulama yang memberikan pencerahan terus menerus," katanya.

Menurut Ansyaad Mbai, terhitung sejak 2000, sudah 900 orang ditangkap terkait dugaan aksi teror. 600 di antaranya divonis bersalah dan dihukum penjara beberapa tahun, hingga yang terberat eksekusi mati. "Kenyataannya itu tidak efektif, teror terus terjadi hingga kini."

Sementara itu, data kepolisian, sejak tahun 2000 hingga 30 April 2013, dipaparkan bahwa terjadi penangkapan sebanyak 845 orang. Dari jumlah itu, 83 orang di antaranya meninggal dunia, pelaku bom bunuh diri 11 orang, dan dieksekusi mati ada lima orang.

Kemudian, ada enam orang yang divonis seumur hidup dan 65 orang dikembalikan ke keluarganya. Sedangkan yang masih dalam proses penyidikan ada 10 orang, persidangan 47 orang, dan vonis pengadilan 618 orang.

Jaringan teror di Indonesia saat ini, menurut kepolisian, diduga terkait aktivitas Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba'asyir. JAT dibentuk ABB pada 2008, setelah JI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia usai vonis Abu Dujana pada Agustus 2008.

Proses radikalisasi dibangun oleh kelompok radikal, sebelum melaksanakan serangan terorisme.

Pemahaman-pemahaman radikal yang sering disalahgunakan antara lain: konsep dan makna jihad, thogut, fa'i, ightiyalat, i'dad, dan masjid dhiror. Media radikalisasi biasanya menggunakan internet, media cetak, elektronik, dan media lingkungan sosial.

Rekrutmen berjalan seiring dengan proses radikalisasi, di mana para anggota yang direkrut biasanya dibaiat seorang amir (pemimpin) dalam kelompok tersebut. Keluarga pada umumnya tidak mengetahui aktivitas tersebut, karena dilakukan secara tersembunyi.

Sementara itu, program deradikalisasi yang dilakukan BNPT merupakan evolusi tahap lanjut dari upaya penangkalan aksi teror di Indonesia.

Kepolisian membagi evolusi strategi penganggulangan teror di Indonesia sejak 1945-2013 sebagai berikut :

- Periode 1945-1966 (Orde Lama), menggunakan pendekatan militer. Ketika itu, operasi militer digunakan untuk menangkal Darul Islam (Tentara Islam Indonesia), PRRI, Permesta, dan RMS.

- Periode 1966-1998 (Orde Baru), strategi yang menonjol adalah intelijen dengan dibentuknya badan ekstra yudisial, yaitu Bakortanas dan Kopkamtib.

- Di era reformasi (1998-2013), strategi penegakan hukum yang dipakai.(asp)


  Vivanews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.