Rabu, 25 Desember 2013

Sukarno dan Hatta, Berbeda Visi Politik, Persaudaraan Tak Putus

Sukarno dan Hatta, Berbeda Visi Politik, Persaudaraan Tak Putus
(gambardanfoto.com)
Jakarta Hubungan Sukarno dan Mohammad Hatta sungguh berwarna. Terkadang mesra, sering juga berlumur amarah. Banyak bernuansa politis, namun juga menyangkut soal pribadi.

Saat Sukarno hendak bercerai dengan Inggit Garnasih pada 1942, Hatta mengajukan diri untuk menentukan syarat-syarat perceraian bersama dua anggota Empat Serangkai lain, yaitu Ki Hajar Dewantara dan KH Mas Mansyur. Sukarno juga anggota Empat Serangkai. Kelak, Empat Serangkai ini menjadi para pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), organisasi yang dibentuk pemerintah kolonial Jepang di Indonesia pada April 1943.

Ada 2 syarat yang diajukan. Pertama, Sukarno akan memberi belanja kepada kepada Inggit setiap bulan sepanjang hidupnya. Kedua, Sukarno harus membelikan sebuah rumah di Bandung untuk Inggit.

Dalam otobiografinya, Hatta menyatakan, "Aku kira syarat itu tidak berat dan masuk akal. Soalnya ialah siapa yang akan mengawasi bahwa kedua syarat itu akan dilaksanakan oleh Sukarno?"

Waktu berjalan, Kemerdekaan Indonesia tercapai. Sukarno menjadi presiden dan Hatta menjadi wakilnya. Namun, pada 1956, dwitunggal itu bubar.

Visi politik mereka kian jauh berbeda. Ada banyak silang pendirian. Salah satu yang terpokok adalah keinginan Sukarno untuk meruntuhkan demokrasi parlementer, menggantinya dengan sebuah sistem yang disebut demokrasi terpimpin.


Pada 1960, Hatta menulis artikel panjang berjudul Demokrasi Kita. Inilah kritik keras terhadap Soekarno dan kepemimpinannya.

Di antaranya, Hatta menulis, "Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal...Tjuma, berhubung tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala tjiptaannya ia memandang garis besarnja sadja. Hal-hal yang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannja."

Konon, Sukarno sangat marah dengan tulisan itu. Majalah Pandji Masjarakat yang pertama kali menerbitkannya dibredel. Pemimpin redaksinya, Hamka, ditahan. Hatta jadi sulit menulis di media massa.

Tapi, ia tak berdiam diri. Hatta mengirimkan surat-surat pribadi untuk menyampaikan kritik kepada Soekarno.

Pada 1963, Hatta terkena stroke. Meski secara politik mereka 'bermusuhan', Sukarno datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Ia mendesak agar Hatta mau berobat ke Swedia dengan biaya dari negara.

Hatta bersedia ke Swedia. Sukarno dan Hatta bertemu di Istana sebelum keberangkatan. Sebelum berpisah, Soekarno berujar ke sekretaris pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja, "Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta."

Di Swedia, kondisi Hatta membaik. Setelah pulih, ia berkeliling ke sejumlah negara Eropa dan Amerika untuk berceramah. Tapi, di luar negeri, Hatta menahan diri untuk tak mengkritik Sukarno secara frontal.



Di AS, saat diminta bicara soal Sukarno, Hatta mengatakan, "Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Bung Karno. Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun...Benar atau salah, ia presiden saya."

Lalu, Orde Lama jatuh. Sukarno dikenakan tahanan rumah. Pada 1970, Guntur Sukarnoputra akan menikah di Bandung. Ayahnya tak bisa mendampingi. Sukarno lalu menyarankan Guntur agar meminta Hatta sebagai wali. Guntur bingung: mungkinkah Hatta mau? Bukankah Hatta dan ayahnya bertentangan?

"Sukarno mengenal Hatta. Hatta bisa saja menyerang dan mencaci maki dirinya karena kebijakan dan tingkah laku politiknya, tetapi dalam kehidupan pribadi, ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan kemerdekaan di antara mereka sudah seperti saudara kandung," tulis Mavis Rose dalam Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta.

Benar saja. Hatta langsung menerima saat Guntur memintanya menjadi wali via telepon.

Lalu, pada Juni 1970, kesehatan Sukarno memburuk. Hatta menjenguk ketika Sukarno tengah tertidur. Tiba-tiba, mata Sukarno terbuka. "Hatta, kamu di sini...," ujarnya.

"Ah, apa kabarmu, No?"

Sukarno menjawab dengan lemah,"Hoe gaat het met jou (apa kabar)?"

Hatta terdiam, memegang tangan Sukarno. Air matanya berlinangan.

Sukarno mencari-cari kaca mata, ingin melihat Hatta dengan lebih jelas. Ia mencoba bicara meski dengan susah payah. Hatta tetap terdiam, coba menahan kesedihan meski gagal.

Dua hari kemudian, 21 Juni 1970, Sukarno wafat.(Yus)

  ● Liputan 6  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.