Senin, 02 Desember 2013

Wawancara Bersama Asvi Warman Adam

 Upaya 'memuluskan karier politik' anak Suharto  

Museum Suharto di Bantul, Yogyakarta
Jakarta Keinginan 'menghidupkan' kembali sosok Suharto dan kebijakan keamanannya di masa Orde Baru, terlihat melalui pendirian Museum Suharto di Yogyakarta dan penyebaran kaus bergambar mantan penguasa Orde Baru itu.

Adik tiri Suharto, Probosutedjo mengatakan, dia mendirikan museum tersebut untuk membersihkan nama Suharto dari stigma buruk yang dilekatkan pada kakak tirinya itu.

Namun dia membantah berada di belakang pembuatan kaus Suharto yang dijual di tempat-tempat umum.

Sejarawan dan peneliti utama LIPI, Dr Asvi Warman Adam mengatakan, upaya tersebut tidak terlepas dari upaya untuk merehabilitasi Suharto dan dalam rangka memuluskan putra-putrinya terjun ke dunia politik.

"Itu untuk membersihkan nama Suharto dari korupsi," kata Asvi Warman Adam dalam wawancara dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, awal November 2013 lalu.

Berikut petikan wawancara dengan Asvi Warman Adam:

Sejak kapan istilah Orde Baru dikenalkan sehingga dikenal sampai sekarang?

Saya kira tahun 1966 atau akhir 1965. Diartikan Orde Baru itu sebuah orde yang menggantikan orde yang dipimpin oleh Sukarno, yaitu Orde Demokrasi terpimpin yang dianggap sebagai Orde Lama dan yang menggantikan itu adalah Orde Baru. Tetapi Sukarno sendiri mengatakan bahwa dia yang pertama kali berpidato tentang istilah Orde Baru, tetapi tidak dalam pengertian Suharto. Orde baru dalam arti zaman baru, ketika revolusi dianggap belum selesai, dan kita berjuang. Itu pengertian Orde Baru menurut Sukarno.

Dalam praktiknya, akhirnya istilah Orde Baru yang lebih banyak mendominasi di masyarakat adalah istilah yang dikenalkan oleh orang-orang di sekeliling Suharto ya? Menurut Anda apakah media berperan besar mengenalkannya?

Dua-duanya. Tentunya orang di sekeliling Suharto memakai istilah itu dan media secara konsisten juga menggunakan istilah itu. Tujuannya, pertama, untuk membedakan dengan zaman pemerintahan Sukarno. Dan kemudian Orde Baru dengan konotasi yang baru lagi, yaitu suatu zaman yang mengutamakan stabilitas pembangunan dan seterusnya.

Munculnya istilah pembangunan ekonomi yang menomorduakan pembangunan politik itu apakah merupakan desain yang disengaja atau sebuah keniscayaan dari situasi perubahan dari Sukarno ke Suharto? 

Asvi Warman Adam
Ya, kalau kita lihat dari waktu sekarang, kita bisa mengatakan ada suatu desain. Tapi yang jelas waktu itu Suharto dihadapkan kepada masalah ekonomi yang sedang merosot, dan dia harus mengatasi. Dan untuk mengatasinya, dia perlu suasana yang mendukung. Yang mendukung itu artinya keamanan nasional yang stabil. Tetapi bukan hanya itu, Suharto juga membutuhkan regional yang aman. Makanya dia mendorong pembentukan ASEAN yang tujuannya mengamankan wilayah di sekitar indonesia.

Bisa Anda gambarkan secara garis besar apa yang terlihat di masa Orba ketika stabilitas politik diterapkan dan mengutamakan ekonomi atau pembangunan?

Ya, ekonomi atau pembangunan itu menjadi panglima, menggantikan apa yang sebelumnya disebut politik sebagai panglima, sehingga semuanya yang diutamakan pembanguan ekonomi. Untuk itu dilakukan upaya-upaya supaya tidak ada sikap kritis dari masyarakat. Rakyat dibungkam. Dan apa yang dikenal sebagai pelanggaran HAM terjadi. Itu dalam rangka untuk mensukseskan pembangunan, dengan segala harga.

Sepengetahuan Anda sejak kapan pemerintah mengenalkan istilah stabilitas politik dan kemudian menerapkannya?

Saya kira itu sejak awal Orde Baru, kenapa stabilitas politik menjadi penting. Saat itu pula sudah ada upaya penting untuk bersahabat dengan pihak-pihak negara adidaya. Dan, menurut saya, paling tidak, bisa dicatat sejak tanggal 15 Desember 1965. Karena, pada saat itu ada rapat di Istana Cipanas untuk membicarakan soal nasionalisasi perusahaan minyak asing Caltex. Pada saat itu, Suharto dengan naik helikopter dari Jakarta ke Istana Cipanas. Di Istana Cipanas, dia masuk ke dalam ruangan dalam rapat yang dipimpin oleh Waperdam Chairul Saleh. Dan dia mengatakan, Angkatan Darat tidak setuju dengan nasionalisasi Caltex. Nah, menurut saya, itu keberpihakan yang jelas dari Suharto dan Angkatan Darat, yaitu keberpihakan kepada negara adidaya. Dan saat itu pula dimulainya dualisme kekuasaan yang kongkrit.

Apakah kebijakan pada Pemilu 1971 yang melarang partai-partai politik melakukan kegiatan di desa-desa juga merupakan contoh kongkret dari kebijakan stabilitas politik?


Oh ya, jadi stabilitas politik sudah dirancang sejak awal. Terbukti partai politik tidak boleh melakukan kegiatan di desa-desa. Tapi tidak hanya itu. Pada tahun 1969, sekitar 10.000 tahanan politik golongan B di buang ke Pulau Buru. Jadi masyarakat diamankan, karena kemungkinan mereka dianggap akan menggangu stabilitas, menyebarkan sikap kritis kepada pemerintah, dan lain-lain. Jadi upaya itu jelas, pembuangan ke Pulau Buru pada tahun 1969.

Dari catatan sejarah, sejak kapan pemerintah Indonesia mulai 'mencairkan' pendekatan keamanan dan membuka sedikit demokratisasi?

Kaus bergambar Suharto bersanding dengan kaus Sukarno di Malioboro, Yogyakarta.

Pada akhir pemerintahan Suharto semakin banyak tuntutan dan desakan. Pembuangan tapol ke pulau Buru, misalnya, berakhir pada 1979. Itu karena desakan internasional serta desakan demokratisasi dari dalam negeri. Itu menyebabkan lembaga Kopkamtib diganti menjadi Bakortanas. Walau fungsinya relatif sama, tetapi intensitass kegiatan tidak seagresif sebelumnya. Jadi di masa akhir pemerintahan Suharto, sudah mulai muncul perlawanan, mulai muncul gerakan mahasiswa, yang tidak hanya di kampus tetapi juga di tempat kost, di mana mereka melakukan perlawanan.

Dari perspektif sekarang, apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan dari pendekatan keamanan di masa Orba dilihat dari sekarang, di mana ada anggapan awam bahwa pemerintah perlu memperkuat dirinya untuk menghadapi kelompok oposisi?

Pendekatan keamanan atau ke-otoriter-an Orba itu efektif, efektif secara ekonomi. Artinya, kalau pemerintah mau mengambil tanah atau membeli tanah dengan murah, itu tidak usah repot-repot. Jadi cukup dengan mencap orang yang tidak mau atau petani yang menolak itu sebagai antipembangunan, anti-Pancasila atau PKI. Selesai persoalannya. Tetapi kalau sekarang, pemerintah pusat atau daerah harus melakukan negosiasi dengan pemilik lahan yang akan dibebaskan, misalnya. Jadi memang demokrasi itu (menyebabkan) pembangunan lebih lambat. Tetapi barangkali itu lebih baik.

Dalam arti ketika ada sebagian kalangan meminta pemerintah sekarang melakukan 'copy taste' kebijakan Orba untuk menyelesaikan persoalan sekarang, itu merupakan langkah mundur ya?

Sejarawan Asvi Warman Adam
Ada hal positif di masa Orba. Misalnya Keluarga Berencana (KB). Itu salah satu aspek yang cukup positif. Dan di awal reformasi program itu diabaikan, tetapi sekarang mulai digalakkan. Saya kita ini baik dilakukan. Tapi menyangkut keran demokrasi yang sudah dibuka terlalu luas, tentu tidak mudah ditutup dengan begitu cepatnya.

Maksudnya?

Maksudnya, kita jangan terburu-buru melakukan pemilihan presiden secara langsung, dan kemudian sebelum itu dievaluasi, tiba-tiba ada pemilihan gubernur, bupati, walikota yang juga dilakukan secara langsung. Menurut saya, pemilihan langsung kepala daerah itu terburu-buru. Buktinya, saat ini, muncul keinginan pemilihan langsung bupati, gubernur dan walikota dikembalikan lagi seperti model Orba, meski ada penolakan.

Apa komentar Anda terhadap kemunculan poster, sticker atau gambar di belakang truk yang menyebutkan bahwa seolah-olah situasi Orba di bawah kepemimpinan Suharto lebih baik ketimbang sekarang?

Jangan lupa, sekarang itu sudah muncul gambar tandingannya. Jadi ada gambar Ibu Tien Suharto yang berkata 'Jangan percaya suamiku, ngapusi (berbohong)'. Itu juga semacam tandingan.

Menurut anda kemunculan gambar tentang kedigdayaan Orba melalui figur Suharto itu disiapkan sedemikian rupa untuk 'membangkitkan' kembali Suharto?


Gambar itu sendiri itu by design (didesain). Istilah itu barangkali baru diucapkan satu kali, kemudian dikembangkan dalam rangka untuk merehabilitasi Suharto dan dalam rangka memuluskan putra-putrinya terjun kepolitik, serta membersihkan nama Suharto dari korupsi.

Menurut Anda apakah masyarakat gampang terpedaya oleh kampanye seperti itu?

Masyarakat tidak bodoh.

  BBC 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.