Palangkaraya, 1 Maret 2001 00:14 ☆ PALANGKARAYA kemarin dicurahi hujan deras. Bara yang masih tersisa di ibukota Kalimantan Tengah itu mulai terpadamkan. Meski beberapa pembakaran baru masih terjadi. Namun bentrokan antar aparat di Pelabuhan Sampit Selasa (27 Februari) petang membuat suasana yang mulai tenang itu terganggu.
Warga masih ketakukan ke luar dari rumah. Sehingga denyut kehidupan belum berjalan normal. Pasar yang menjadi pusat perekonomian belum ada yang buka, angkutan kota juga hanya sedikit yang berani turun ke jalan. Beberapa toko sudah mulai buka. Namun suasana semakin terasa mencekam.
Akibat bentrok antara polisi dan tentara itu, pengamanan di Palangkara terlihat jadi kendor. Jumlah aparat yang berjaga di beberapa sudut kota terlihat menjadi lebih sedikit. Raut muka beberapa aparat di jalan terlihat lebih tegang. Sepertinya ada kecurigaan diantara polisi dan tentara.
Tapi suasana lebih mencekam sangat terasa di Sampit. Meski kemarin siangtak terdengar ada letusan senjata antara kedua pasukan yang bertanggungjawab menjaga keamanan tersebut toh kedua pasukan seperti saling berjaga-jaga terhadap kemungkinan ada serangan dari kelompok lain. Apalagi tersiar kabar di masyarakat bahwa akibat baku tembak tersebut telah menewaskan belasan orang aparat dan warga sipil.
Yang terlihat menjadi korban adalah para pengungsi. Mereka yang ketakutan akan diserang dan menunggu kapal dengan tidak sabar itu hingga kemarin pagi ditinggalkan oleh polisi yang biasa menjaga mereka. Padahal di Pelabuhan Sampit masih ada sekitar 10.000 pengungsi yang masih menungggu evakuasi.
Aksi tembak menembak antar aparat itu, menurut Kepala Dinas Penarangan Polda Kalimantan tengah Andi Silvie, sebenarnya hanya kesalahpahaman. Sekitar pukul 12.00 (Selasa, 27 Februari) itu Pelabuhan Sampit sedang sibuk karena sebuah kapal akan mengakut pengungsi.
Mulai anak-anak hingga nenek-nenek berebut untuk bisa ikut dalam pelayaran yang akan membawa mereka ke Surabaya. Petugas yang menjaga di pintu masuk adalah tentara. Tiba-tiba masuk tiga buah truk yang mengakut pengungsi dengan dikawal oleh polisi. Mereka meminta ijin untuk diprioritaskan masuk ke kapal.
Entah dari mana datangnya tiga truk itu, karena yang diutamakan masuk itu adalah rombongan yang datang dari tempat penampungan di rumah dinas Bupati Sampit. Polisi itu berteriak, bahwa ada beberapa orang yang telah beberapa hari tidak makan, karena itu minta agar didahulukan naik. Tentara yang berjaga masih belum memberi ijin.
Tiba-tiba ada pengungsi yang histeris dari dalam kapal. Kepanikan menular pada orang-orang di dalam truk. DI tengah hiruk-pikuk itu tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. "Polisi di truk menembakan senapannya ke udara," kata Andi Silvie. Mungkin maksudnya untuk menenangkan.
Tapi tindakan itu dinilai berlebihan oleh tentara yang menjaga pintu. Polisi tersebut ditegur oleh tentara. Tapi dia tak mau terima, mereka saling melotot. Mata memantik emosi dan di tangan mereka ada senjata. "Entah siapa yang mulai duluan, tiba-tiba senjata di tangan mereka ikut menyalak," kata Andi. Suasana jadi kacau.
Hingga sekitar pukul 15.00 di Pelabuhan Sampit "para koboi" itu saling tembak. Ribuan pengungsi tentu tambah panik. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, termasuk beberapa pengungsi yang tidak bersenjata itu. Setelah sempat terhenti, Selasa malam, beberapa anggota tentara melakukan serangan ke kantor Polres Sampit. Kembali "para koboi" itu beraksi.
Para korban itu aksi baku tembak tersebut malam itu juga diangkut ke Banjarmasin, di Kalimantan Tengah. Para korban itu ditempatkan di dua rumah sakit. Dua orang perwira Polisi dirawat di Rumah Sakit Sari Mulia sedangkan tujuh prajurit TNI dan seorang warga sipil dibawa ke Rumah Sakit Tempat Perawatan Tentara (RS TPT) dr. Suharsono.
Hingga kemarin sore, sudah tercatat dua orang tewas dalam aksi tersebut. Satu orang yang tewas tersebut adalah pengungsi asal Madura yang tidak berdosa--belum diperoleh keterangan pasti identitas yang meninggal di tempat tersebut. Sedangkan satu lagi adalah Letnan Satu . A.N. Aprianto. Perwira menangah angkatan darat itu adalah Kepala Seksi Intel Batalyon 631/Antang, Palangka Raya. Jenazah Aprianto kemarin telah diterbangkan dari Palangkaraya ke kampunnya di Madiun, Jawa Timur.
Sementara di Rumah Sakit Mulia terbaring dua perwira menengah polisi. Kepala Direktorat Sabhara Polda Kalteng, Komisaris Besar Pol. Drs. Toto Suprapto kemarin masih terbaring lemah dengan luka di lambung. Rabu dinihari para dokter di rumah sakit itu berhasil mengangkat proyektil peluru dari perut Toto.
Sementara Komisaris pol. Drs. Bobianto, masih menunggu persetujuan untuk dioperasi. Sebuah proyektil tersangkut di bagian pinggang (persis di atas patat) Komandan Bataliyon Brimob Kelapa II Jakarta tersebut.
Kondisi Bobianto, menurut Wakil Poltabes Banjarmasin, Ajun Komisaris pol Drs. Yusrizal Koto, terus membaik. "Malah sudah ingat dengan saya, jadi tidak benar kalau dilaporkan keadaannya memburuk," ujar Koto usai menjenguk korban.
Sementara di Rumah Sakit Tempat Perawatan Tentara (RS TPT) dr. Suharsono Banjarmasin, empat anggota TNI dan seorang warga sipil, korban baku tembak itu, juga masih akan menjalani operasi guna mengeluarkan proyektil maupun proses penyembuhan luka.
Ke-empat korban tersebut adalah Pratu Napsul dan Kopda Kosasih dari Batalyon 621/Manuntung, Barabai, Kalimantan Selatanl, kemudian Pratu Roni Sara dari Batalyon 631/Antang, Palangka Raya, dan Sertu Syamsul dari Kodim 1015 Sampit. Masih ada tiga anggota TNI berasal dari Batalyon 612 Modang/Balikpapan. Belum diketahui identitas ketiganya karena hingga Rabu sore masih dalam perjalanan dari Sampit menuju Banjarmasin.
Jadi secara keseluruhan korban yang dianggap terluka serius dan dibawa ke Banjarmasin dari pihak TNI ada 7 orang.
Kepala Penarangan Korem 101/Antasari Banjarmasin, Kapten Drs. Sumarwan, membenarkan soal perawatan korban baku-tembak tersebut.
"Kami telah menyiapkan delapan anggota TNI untuk diambil darahnya (donor) guna mengatasi kekurangan darah para korban, termasuk untuk kebutuhan selama operasi," ujarnya. Namun Sumarwan belum bisa memberikan penjelasan kondisi para korban yang telah dirawat di RS TPT dr. Suharsono sejak Rabu dini hari itu.
"Kejadian itu hanya salah pengertian," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Marsda Graito Usodo. Toh Graito mengakui dalam kejadian itu aparat keamanan telah melakukan tindakan yang melanggar prosedur. Tapi lanjutnya, peristiwa itu tak lepas dari suasana emosional, dan beban psikis yang berat dan suasana tegang di tempat kejadian tersebut.
Namun ada rumor bahwa pemaksaan sekelompok pengungsi untuk diangkut itu tak lepas dari permainan uang di kalangan petugas kepolisian. Beberapa pengungsi ditawari untuk dikapalkan lebih dulu bila memberikan sejumlah uang kepada petugas.
Kemungkinan itu tidak ditampik oleh Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Polri Inspektur Jenderal (Pol) Didi Widayadi Widayadi.
"Itu masih dalam penyelidikan dan pengecekan. Sebab itu kami akan kirimkan Direktur Intel Polri Brigjen Pol. Wahyu Saronto untuk menyelidiki benar atau tidaknya isu tersebut," kata Didi Widayadi.
Yang jelas lanjut Didi antara Polri dan TNI telah dicapai kesepakatan untuk menuntaskan "insiden koboi-koboi-an di Pelabuhan Sampit" tersebut. "Telah dibentuk Tim Gabungan TNI dan Polri untuk menyelidiki kasus tersebut," kata Didi kemarin siang.
Tim Gabungan ini nampaknya baru sekali ini dibentuk. Karena dua instansi yang tugasnya mengamankan rakyat tersebut belum setahun ini menjadi lembaga terpisah. Dulu mereka berada dalam payung Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Tapi dalam Sidang MPR Agustus Tahun lalu keduanya dipisahkan.
Selain Tim gabungan, lanjut Didi, Mabes Polri juga menerjunkan tim balistik dan forensik ke Kalimantan Tengah. Tim ini akan diterjunkan untuk menyelidiki penyebab penembakan, serta mencermati karakter proyektil, sudut tembak di lokasi kejadian. "Kita ingin tahu arah tembakan dan senjata yang digunakan, sebab dari situlah bisa diketahui bagaimana peristiwa yang sebenarnya, dan siap yang melakukan penembakan," kata Didi.
Tim tersebut mudah-mudahan akan menyelesaikan insiden tersebut. Bagaimana dengan masalah pengamanan para pengungsi dan menghentikan aksi kekerasan di Kalimantan Tengah. "Sistem pengamanan di Sampit telah dilokalisir," kata Graito. Jadi, lanjutnya, polisi diserahi tugas mengamankan daerah A dan TNI mengamankan daerah B.
Selesai? Tentu tidak. Bagaimana mereka yang ada diperbatasan daerah A dan B. Mungkinkah terjadi aksi koboi-koboi-an lagi kalau mereka yang dua-duanya bersenjata itu bertemu. Apakah ada dendam diantara mereka, karena ada komandan yang terkapar dan tewas dari kedua kelompok.
Menurut penasihat Kontras Munir SH, masalah baku tembak antara tentara dan Polisi tak bisa diselesaikanhanya hanya di lapangan. "Ini masalah rivalitas antar angkatan. Masalah ego dan kecemburuan dua kelompok yang sama-sama menenteng senjata," kata Munir.
Kasus serupa, lanjutnya, terjadi di banyak tempat. "Di Aceh juga terjadi tembak-menembak terbuka antara polisi dengan tentara, begitu juga Irian, di Ambon," katanya. "Jadi masalah ini harus diselesaikan di Jakarta," kata Munir.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Endriartono Sutarto juga menyatakan bahwa pimpinan TNI dan Polri perlu duduk satu meja. "Bentrok anggota TNI dan polisi di Sampit disebabkan oleh doktrin dan tabiat TNI yang berbeda dengan Polri," kata KSAD di Bandung kemarin, usai melantik Komandan Seskoad yang baru Mayjen TNI Suadi Atma di Mako Seskoad Jl Gatot Subroto, Bandung.
Karena itu, menurut Endriartono Sutarto, perlu aturan main yang jelas antara kedua badan ini jika terlibat dalam satu operasi. "Bila aturan main itu ada maka tidak perlu jatuh korban seperti bentrok antara TNI dan Polri di Sampit," katanya. Saat ini, lanjut Endriartono, ada kegamangan ketika dalam satu operasi ada dua kekuatan. �Apalagi, dulu operasi penanggulangan gangguan keamanan dipegang oleh TNI. Jadi wajar saja jadi kurang mulus, karena ini lagi dalam masa transisi,� katanya.
Transisi boleh saja, tapi tabiat memang perlu diubah kalau situasi sudah berubah. Jangan sampai karena soal ego antara kesatuan rakyat menjadi korban. Tugas pengamanan yang seharusnya dilakukan jadi terbaikan. Padahal hingga kemarin, menurut Kapuspen Polri Irjen Didi Widayadi, jumlah korban kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah itu telah mencapai 469 jiwa. Jangan sampai bertambah lagi korban sia-sia dengan aksi koboi-koboi-an. Apalagi kalau rakyat jatuh korban lebih banyak lagi, karena tugas pengamanan terabaikan. Bagaimanapun ini adalah pelajaran pahit bagi tentara dan polisi.[DH]
♞ Gatra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.