Rabu, 05 Maret 2014

Masalah Yang Tertinggal Dari KRI Usman Harun

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgex9Xs2GzdqtQ7b-TjcaOAh-GDLNomCDJkmjy4RDNKFDFZkg9bQTsJswvbKHDcHB3K2dbKJ02r8qjl2kr71_uOqtpz46cqEJKLaIQw3zvZCMXZXB-ZeKCIeq1WNgx8Hw7jh2GWFDGScu4/s1600/1551209_20140131090012.jpgJakarta Kehadiran tiga kapal perang besutan dari Inggris ini, agaknya masih ada masalah yang mengganjal. Terlepas dari kegiatan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI DR. Marsetio, di Markas Besar TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa.

Kedua pemimpin itu membicarakan perkembangan pembangunan tiga unit kapal frigate kelas KRI Usman-Harun/359 yang sedang dirampungkan di Inggris, sebagaimana dinyatakan Dinas Penerangan TNI AL, di Jakarta, Selasa.

TNI AL tengah menunggu kehadiran kapal fregat jenis Multi Role Light Frigate yang sedang dibuat di Inggris, masing-masing KRI Bung Tomo-357, KRI John Lie-358, dan KRI Usman Harun-359.

Kehadiran KRI Usman-Harun-359 pernah membuat Singapura meradang dan membuat beberapa program kerja sama militer Indonesia dengan mereka dihentikan di tengah jalan, di antaranya pembatalan penampilan Tim Aerobatik Jupiter TNI AU di Singapore Airshow 2014.

Turut hadir mendampingi Laksamana DR. Marsetio dalam pertemuan itu adalah Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Ade Supandi, Asisten Pengamanan Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Putu Yuli Adnyana, Asisten Operasi Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Didit Herdiawan, Asisten Logistik Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Suyitno, dan beberapa yang lain.

Info yang diterima oleh ASATUNEWS, sebenarnya pihak Angkatan Laut menginginkan frigate yang 'sesungguhnya', bukan light frigate sejenis dibuat dari Inggris ini. Pada awalnya, ketiga Multi Role Light Frigate ini merupakan pesanan Negara Brunei Darussalam.

Pada saat dibeli Indonesia, 3 korvet Nakhoda Ragam Class yang bersandar di Galangan Kapal Lursen Jerman. Rudal-rudal kapal perang itu, sudah tidak ada, hanya meninggalkan peluncur saja.

Salah satu peluncur yang menarik perhatian adalah torpedo Sting Ray launcher, anti-kapal selam. Torpedo Sting Ray dan Spearfish merupakan senjata andalan Angkatan Laut Inggris. Tahun 2009 lalu, Menteri Pertahanan Inggris menandatangani kontrak seharga 615 juta USD dengan BAE Systems Insyte Inggris, untuk pengadaan dan perawatan torpedo-torpedo tersebut selama 10 tahun ke depan.

Sting Ray torpedo kelas ringan yang diinstal di kapal perang Inggris, helikopter Lynx dan Merlin, serta Pesawat Patroli Maritim Nimrod. Versi terbarunya adalah Sting Ray Mod 1. Adapun Spearfish merupakan torpedo kelas berat dengan kecepatan 80 knot yang diinstal di seluruh kapal perang Inggris, termasuk: SSN Swiftsure, Trafalgar, Astute (attack boats class) dan SSBN Vanguard yang juga mengusung rudal nuklir.

Negara lain pengguna torpedo Sting Ray adalah Norwegia yang juga Anglo Saxon. Norwegia melengkapi kapal perang dan helikopternya dengan torpedo Sting Ray Mod 1. Norwegia memilih rudal ini karena memiliki kemampuan integrasi ke dalam platform sistem senjata permukaan maupun udara, dan Sting Ray dirancang untuk menghantam semua jenis kapal selam.

Selain Inggris dan Norwegia, Sting Ray juga digunakan oleh Angkatan Laut Thailand, karena dinilai cocok digunakan untuk laut yang dangkal. Inggris menjualnya ke Brunei karena bagian negara persemakmuran dan membutuhkan pertahanan yang handal akibat teritori negara yang kecil dan tidak dianggap ancaman.

Namun di tengah jalan, Inggris dan Brunei bersengketa tentang pembangunan 3 korvet tersebut. Pengadilan Arbitrase Internasional memenangkan gugatan Inggris, sehingga Brunei harus membayar 3 korvet yang telah dipesan. Brunei membayarnya tapi tidak mau menggunakan korvet tersebut dengan cara menjualnya ke galangan kapal Lursen Jerman. Karena Brunei menolak membawa pulang Korvet Nakhoda Ragam Class, Inggris pun mencabut rudalnya.

Persoalan lain adalah, frigate ini belum pernah melakukan uji tembak rudal, baru sebatas sea trial. Brunei menggugat korvet tersebut, saat masih tahapan sea trial. Bagaimana jika rudal yang ditembakkan meleset. Siapa yang bertanggung jawab ?

Kemudian pihak Lursen Jerman menjual ketiga korvet dengan kondisi apa adanya, “kosongan”, tanpa rudal ke Indonesia. Untuk itu, pemerintah mengalokasikan 80 juta USD untuk repowering dan up-grade ketiga korvet Nahkoda Ragam Class. Dengan kondisi demikian, pihak pemerintah terpaksa merogoh koceknya lebih dalam lagi karena harganya jadi melambung.

Saat dikonfirmasikan ke sumber ASATUNEWS di Mabes AL, pihaknya terpaksa menerima ‘kondisi’ kapal-kapal perang tersebut. “Mau dikatakan apa lagi? Itu sudah jadi policy, “ paparnya. “Kalau soal itu jenisnya frigate ataupun light frigate, tergantung para pelaut saja yang bawa. Memang perbedaan keduanya terletak dari panjang kapalnya saja, “ lanjutnya.

Pertanyaan berikutnya muncul, apakah kapal perang jenis light frigate tersebut mampu menghadapi iklim maupun kedalaman perairan di Indonesia bagian timur, sesuai rencana pihak Angkatan Laut yang akan menempatkan mereka di sana? Sebagai acuan, kedalaman laut Aru saja bisa mencapai lebih dari 5000 meter, ombak yang besar dan angin selalu berubah-ubah. Atau kita tetap berpegang kepada lagu berjudul 'Nenek moyangku, seorang pelaut...?"[ANT/NOOR/ASN-029]


  ♞ Asatunews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.