Kamis, 10 April 2014

Ironi Pembunuhan Anggota TNI AL oleh Nelayan Thailand

Terjadi saat RI modernisasi pertahanan dengan anggaran Rp 83,4 triliun. Jakarta  Kabar duka datang dari lautan jauh saat bangsa Indonesia tengah sibuk menghadapi pesta demokrasi Pemilu. Dua personel TNI Angkatan Laut dikhawatirkan telah gugur awal Maret lalu saat menjalankan tugas menjaga batas wilayah laut Indonesia.

Yang lebih menyakitkan, mereka gugur bukan karena bertempur dengan pasukan musuh, melainkan diduga kuat dibunuh oleh sekelompok nelayan asal Thailand yang kepergok sedang mencuri ikan di lautan Indonesia, tepatnya di sebelah selatan Selat Malaka. Bahkan, hingga tengah pekan ini, jenazah mereka belum ditemukan.

Pihak berwenang Thailand segera bertindak dengan mencokok para nelayan tersangka pembunuh itu setelah mendapat laporan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok, yang bersumber dari TNI AL. Proses hukum di Thailand tengah berjalan walau belum ditentukan kapan mereka diadili.

Ironisnya, pembunuhan ini terjadi saat pemerintah Indonesia tengah memodernisasi pertahanannya dengan alokasi anggaran Rp 83,4 triliun. Insiden ini juga menandakan bahwa pencurian ikan oleh nelayan asing di Indonesia masih marak terjadi. Badan Pemeriksa Keuangan pun pernah mendata bahwa pencurian ini telah merugikan Indonesia ratusan triliun rupiah.

Kepada VIVAnews, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut, Laksamana Pertama Untung Suropati, mengungkapkan cukup panjang lebar tragedi yang menimpa dua prajurit. Mereka adalah Sersan Mayor Afriansyah dan Edi.

Peristiwa terjadi pada 8 Maret 2014. Mereka dibunuh saat berada di dalam kapal pukat harimau bernama Sor Nattaya 7, yang tengah berlayar ke Pulau Talampa, sebelah selatan Selat Malaka.

Kata Untung, saat itu kapal patroli TNI AL pergoki para nelayan Thailand yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Natuna. Mereka melihat dua kapal milik nelayan Thailand. Satu kapal yang digunakan oleh dua nelayan Thailand itu berbendera Indonesia dan bernama KM Laut Jaya 05.

"Sementara satu kapal lagi tidak diketahui namanya, karena ketika dicek kapalnya, nama kapal samar dan tidak terlihat jelas. Lalu, ketika anggota kami ingin meminta dokumen, mereka tidak memilikinya. Oleh sebab itu, kami anggap mereka melakukan tindakan ilegal," kata Untung pada 7 April 2014.

Empat anggota TNI AL, yakni Sersan Dua Mes Syamsul Alam, Bujang, Sersan Mayor Afriansyah, dan Edi, segera menindak dua kapal itu. Mereka ingin membawa kedua kapal tersebut ke Landasan AL di Tarempa, Kabupaten Anambas, di Kepulauan Riau.

"Mereka dibagi menjadi dua tim. Serda Mes Syamsul Alam dan Bujang naik dan mengawal kapal KM Laut Jaya 05. Sementara Sersan Mayor Afriansyah dan Edi naik kapal yang tidak bernama itu," papar Untung. Belakangan, kapal tersebut diketahui bernama Sor Nattaya 7.

Ternyata, di tengah jalan saat menuju ke Tarempa, kapal yang tidak bernama itu, lanjut Untung, mematikan lampu. KM Laut Jaya 05, yang berada di depannya, kesulitan mencari. Suasana di sekeliling gelap.

Kapal yang di dalamnya terdapat dua anggota TNI itu dinyatakan hilang pada Sabtu, 8 Maret 2014. Sementara KM Laut Jaya 05 tiba di Tarempa Minggu, 9 Maret 2014.

Untung menjelaskan pihak TNI AL sudah meminta bantuan kepada Pemerintah Thailand untuk mencari keberadaan kapal tak bernama itu. Namun, hingga saat ini, dia mengatakan belum ada laporan apa pun yang dikirimkan oleh Polisi Kerajaan Thailand.

Dia pun mengetahui soal adanya laporan dari media di Bangkok dan dalam negeri, bahwa dua anggota TNI AL telah dibunuh oleh nelayan Thailand itu. Tetapi, kata Untung, TNI AL belum berani menyimpulkan demikian, karena belum ada laporan dari polisi Kerajaan Thailand apakah benar dua anggota TNI AL telah dibunuh dan jasad mereka dibuang ke laut sehingga belum ditemukan.

"Hingga saat ini belum ada konfirmasi dari Polisi Kerajaan Thailand. Kami masih terus berkoordinasi untuk mencari keberadaan kapal tersebut," kata Untung.

TNI AL, lanjut Untung, masih memiliki harapan yang besar anggotanya masih hidup, karena jasad keduanya apabila benar dibunuh, belum ditemukan sampai saat ini. Dia mengaku telah mendesak Polisi Kerajaan Thailand agar memberi informasi terkait perkembangan kasus ini, namun belum ada masukan resmi dari mereka.

Menurut laporan harian Bangkok Post, yang mengutip seorang sumber, kedua anggota TNI AL itu telah dibunuh dengan cara kepalanya dipukul menggunakan palu, lalu tubuh keduanya ditusuk hingga tewas.

Jasad keduanya lalu dibuang begitu saja ke laut lepas. Polisi Kerajaan Thailand hingga saat ini telah menahan sembilan tersangka terkait peristiwa pembunuhan itu.

Sementara kapal yang disebut TNI AL tidak bernama, menurut Bangkok Post diketahui bernama Sor Nattaya 7. Kapal tersebut berhasil ditemukan polisi tanggal 13 Maret 2014. Pelaku diduga sengaja mengecat ulang kapal yang mereka gunakan untuk mencari ikan.
Operasi Pencarian http://www.omtim.com/wp-content/uploads/2013/11/Kawasan-Natuna.pngUntung juga mengungkapkan hingga kini timnya masih terus mencari kapal nelayan Thailand yang ditumpangi oleh dua anggota TNI AL. "Area di wilayah Perairan Natuna yang kami sisir tentu yang berbatasan dengan Thailand. Karena pemikiran kami, apabila nelayan tersebut melarikan diri maka mereka biasanya akan kembali ke perairan negara asalnya," ujar Untung.

Beberapa alutsista dikerahkan untuk mencari keberadaan kapal yang menurut laporan harian Bangkok Post bernama Sor Nattaya 7. "Kami mengerahkan KRI Pati Unus 384, lalu Kaltarup II 428, Kapal Patkamla milik Lanal Tarempa II 429 dan pesawat patroli udara maritim. Selain itu, TNI AL juga mendapat bantuan satu helikopter yang digunakan untuk mencari kapal tersebut dari PT Conoco Phillips," ujar Untung.

Proses pencarian, lanjut Untung, masih terus berlangsung hingga hari ini. TNI AL juga menjalin kerjasama dan berkoordinasi dengan AL Kerajaan Thailand.

"Saat berkoordinasi itu, kami aktif memberi informasi. Harapannya, kapal itu segera ditemukan," kata Untung.

Melihat kenyataan itu, kata dia, TNI AL masih berharap kedua anggotanya dapat ditemukan dalam keadaan hidup. Sebab, hingga saat ini, apabila dikatakan keduanya telah dibunuh, belum ada jasad yang ditemukan.

Ditanya soal tingkat kerawanan di Perairan Natuna untuk aktivitas penangkapan ikan ilegal, Untung menyebut, setiap perairan yang berbatasan dengan negara lain kerawanannya tinggi.

"Masalahnya kan tidak ada tanda perbatasan negaranya kalau di laut. Beda, dengan area di darat. Perbatasan antar negara telah ditandai menggunakan patok," kata dia.

Perairan yang rawan juga terjadi di Perairan Selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia.

"Rawan di sini, tidak hanya untuk melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Namun, bisa juga jalur itu digunakan untuk menyelundupkan orang atau narkotika," ujar Untung.

Sebelumnya, Duta Besar RI untuk Kerajaan Thailand, Lutfi Rauf, memastikan bahwa aparat Thailand menangani kasus dugaan pembunuhan itu. "Menindak lanjuti permintaan Pemerintah Indonesia, aparat Kepolisian Thailand segera melakukan pemeriksaan dan telah menahan beberapa orang yang diduga sebagai pelaku," tulis Lutfi.

Dalam waktu cepat, lanjut Luthfi, Polisi Kerajaan Thailand lantas menugaskan Mayor Jenderal Polisi Pisit Pisutisak, untuk menangani kasus tersebut. Hasilnya, sebanyak sembilan tersangka berhasil dibekuk.

Kesembilan tersangka yakni bernama Lampian Kanthee, Suthi Kiriphob, Solae Pandika, Nudda Kum-eaid, Chum Yodwongsa, Dang Kanmunee, Sripai Suwannaprapha, Sorasit So-in, dan Suriwong Chuehom. Dalam sebuah jumpa pers yang dihadir Pelaksana Pejabat Konsuler KBRI Bangkok, Yuyun Kamhayun, kesembilan tersangka mengaku telah terlibat dalam aksi pembunuhan keji itu.

Menurut laporan seorang sumber, usai membunuh dua anggota TNI AL itu, kapal pukat itu kembali ke perairan Thailand, lalu berlabuh di Koh Nu di daerah Songkhla pada 13 Maret 2014. Polisi kemudian berhasil menemukan kapal itu. Pelaku sengaja mengecat ulang kapal yang mereka gunakan untuk bekerja mencari ikan. Selain itu, polisi Thailand juga menyita senjata yang diduga milik salah satu anggota TNI AL, Alfriansyah.

Sebelumnya tanggal 25 Maret 2014, Pengadilan Kabupaten Songkhla telah mengeluarkan surat penahanan terhadap 12 kru kapal Sor Nattaya 7.
Kerugian Besar Sebagai negara maritim, Indonesia kaya dengan hasil laut, termasuk ikan. Namun, luasnya perbatasan maritim dengan kemampuan yang sangat terbatas dalam menjaganya membuat Indonesia jadi sasaran empuk bagi para nelayan asing untuk mencuri ikan.

Badan Pemeriksa Keuangan pun pernah menghitung potensi kerugian akibat pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing di lautan nusantara. Jumlahnya mencapai Rp 300 triliun. Anggota BPK, Ali Maskur Musa, menyatakan pencegahaan illegal fishing sangat sulit dilakukan karena berbagai hal.

Di antaranya penjagaan perbatasan laut yang kurang optimal. Selain itu, dia menambahkan, jaringan illegal fishing bekerja dengan sangat rapi.

"Beberapa modus illegal fishing di antaranya masuknya kapal asing dengan memanfaatkan kelengahan aparat. Manipulasi izin kapal yang tidak sesuai dan transaksi di laut lepas oleh para nelayan asing," kata Ali seperti dikutip VIVAnews beberapa waktu lalu.

BPK berharap, dermaga-dermaga lokal bisa dioptimalkan. Dari titik ini, jumlah kerugian negara bisa dikontrol. Pencurian ikan ini memang membuat gusar pemerintah. Indonesia pernah menyerukan negara-negara ASEAN untuk menhadang aksi illegal fishing ini.


  ★ Vivanews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.