Rabu, 02 April 2014

Natuna Dan Pelajaran Berharga Konflik LCS

Pangkalan "nelayan" China di perairan sengketa LCS. (AP Photo)
Pangkalan “nelayan” China di perairan sengketa LCS. (AP Photo)
Sekilas Natuna. Penduduk Kabupaten Natuna pada tahun 2012 berjumlah 76.305 jiwa, dan tercatat 19.039 rumah tangga. Dengan luas daratan 2.631 kilometer persegi, kepadatan penduduk Kabupaten Natuna tahun 2012 sebesar 38,13 jiwa per km2 atau dalam wilayah seluas 1 km2 terdapat penduduk sekitar 38 jiwa. Pulau-pulau di kawasan Kabupaten Natuna sangat kaya dengan berbagai objek wisata yang potensial, namun sayang sarana dan prasarana yang diperlukan untuk memperkenalkan pariwisata di daerah ini kepada para wisatawan belum cukup memadai. Mengingat Natuna memiliki banyak pantai yang menarik dan eksotis maka sebagian besar pengunjung wisata adalah wisatawan bahari/pantai. Pada tahun 2012 jumlah wisatawan mencapai sekitar 176.960 orang.

Natuna saat ini banyak disebut dalam pemberitaan yang berhubungan dengan kegiatan militer. Selain menjadi tuan rumah Latma Komodo 2014 juga mengenai berbagai rencana pembangunan kekuatan militer di pulau tersebut. Pulau terletak wilayah luar Indonesia dan berhadapan langsung dengan LCS (Laut China Selatan) yang sedang dilanda konflik klaim yang tumpang tindih dari berbagai negara, antara lain Malaysia, Philipina dan China. Bahkan dari peta 9 dash line China, ada kemungkinan wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia di utara Natuna ikut termasuk wilayah yang diklaim oleh China.

Walau bisa dibilang termasuk lamban, namun keputusan pemerintah dan TNI untuk memperkuat kehadiran militer di Natuna adalah keputusan yang sangat tepat yang patut diapresiasi. Kita harus melihat contoh negara-negara lain yang saat ini sedang bersengketa wilayah dengan China untuk dapat menilai betapa tingginya nilai Natuna dalam konteks kedaulatan wilayah negara.

Kebanyakan wilayah laut di daerah sengketa ini adalah coral dan karang, sebagian malah terendam di bawah permukaan air laut. Tapi hal itu tidak menghentikan upaya China untuk menancapkan klaim mereka. China menempatkan tanda batas wilayah mereka di berbagai tempat yang memungkinkan, bahkan memasang dudukan beton dan membangun pangkalan di atas koral. China menyebutnya pangkalan bagi nelayan mereka, tapi beberapa pihak yakin itu adalah bangunan militer atau setidaknya pemerintah China menempatkan pasukan marinir untuk menjaganya. Bahkan di James Shoal sekitar 70 km Serawak, China menanamkan plat logam pada koral 20 meter di bawah permukaan air laut sebagai penanda batas wilayah mereka.

Memang tidak terdengar reaksi frontal dari Malaysia, namun tanpa berkonfrontasi langsung dengan China, Malaysia berencana membangun kesatuan Marinir dengan bantuan dari USMC (United States Marine Corps). Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Tun Hussein mengatakan tahun lalu, bahwa Malaysia akan membangun kesatuan Marinir yang akan bertempat di Bintulu, tidak jauh dari Wilayah yang disengketakan.

Philipina adalah salah satu claimant LCS yang paling lantang menentang klaim China. Hal ini cukup wajar, mengingat klaim China yang didukung ancaman kekuatan militer ini bisa memberikan kerugian ekonomi dan kedaulatan yang luar biasa bagi Philipina. Selain berbagai potensi migas, perikanan juga adalah salah satu sektor ekonomi andalan Philipina. Dan saat ini, nelayan “asing” dilarang masuk ke wilayah LCS yang diklaim China sebagai wilayahnya. Membuat nelayan Philipina kehilangan mata pencaharian sementara nelayan China bebas melaut sampai jauh ke Timur dan Selatan LCS. seakan belum cukup, China juga sudah mulai merencanakan penerapan ADIZ di wilayah udara LCS tersebut.

Alasan mengapa China begitu leluasa mencaplok wilayah Philipina adalah karena superioritas kekuatan militer mereka. Saat ini Philipina melakukan berbagai cara ‘melawan’ agresifitas China, mulai dari upaya memasang tanda batas mereka sendiri, membawa sengketa wilayah ke PBB, melakukan modernisasi militer, membangun pangkalan Marinir baru yang berdekatan dengan wilayah sengketa, mencari dukungan AS dan bahkan potensi mengadakan aliansi militer dengan Vietnam. Tapi apapun dilakukan, upaya itu sudah terlambat, karena secara de facto China lah yang saat ini mengontrol wilayah sengketa.

Upaya balasan lemah pihak Philipina. Image southseaconversations

Kelihatannya Malaysia, Philipina dan juga Indonesia melupakan sejarah pahit Vietnam yang kehilangan kontrol atas Kepulauan Paracel pada China sekitar 40 tahun yang lalu. Malaysia terlihat canggung dan terkaget-kaget dengan bentuk ancaman yang mereka hadapi, Philipina mengabaikan pembangunan militer dan terlalu mengandalkan diri sebagai sekutu AS di kawasan dan Indonesia lama terpuruk ekonomi dan sibuk dengan ancaman dalam negeri, sebelum kemudian baru-baru ini saja ketika ancaman dari dalam mereda, TNI mulai memperhatikan bentuk ancaman keamanan dari luar.

Dari negara-negara ini tampaknya Vietnam paling serius membangun kemampuan militernya. Diantara claimants, kemampuan militer mereka yang saat ini paling bisa membuat China berpikir ulang dan berhitung kembali sebelum bertindak semena-mena. Dan hal ini tidak lepas dari pengalaman pahit Vietnam dalam berhadapan dengan China dan pengalaman berharga dari perang Kepulauan Paracel.

Kepulauan Paracel

Pelajaran berharga dari sejarah Vietnam kehilangan kepulauan Paracel. Pada tanggal 16 Januari 1974, Angkatan Laut Vietnam (RVN) menjumpai kehadiran Angkatan Laut China (PLAN) di Kepulauan Paracel Barat yang saat itu dibawah kontrol Vietnam Selatan. Selama dua hari berikutnya, angkatan laut adu otot satu sama lain di sekitar kepulauan. Pertempuran kemudian meletus dan semakin meningkat dengan datangnya overwhelming bala bantuan pasukan Cina ke zona pertempuran, termasuk dukungan udara dari Pulau Hainan dan kapal patroli rudal Hainan-class.

Pertempuran Kepulauan Paracel tercatat dalam sejarah sejarah sebagai pertempuran pertama dalam upaya untuk kontrol atas kepulauan di Laut Cina Selatan. Pertempuran Kepulauan Paracel pada tahun 1974 memberikan pelajaran penting, tidak saja bagi Vietnam, tapi bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan di LCS, termasuk juga Indonesia.

Jalur diplomasi adalah upaya utama, tapi bukan satu-satunya

Tidak ada perjanjian internasional dan regional yang mampu memberikan perlindungan sempurna terhadap tindakan sepihak, termasuk ancaman atau penggunaan kekerasan. Artinya, walau diplomasi didahulukan dan hubungan sedang baik namun kekuatan militer tetap harus diperkuat dan disiagakan. Seperti kutipan terkenal Carl von Clausewitz: “war is the continuation of politics by other means”, perang adalah kelanjutan/bentuk lain dari politik.

Bantuan dari luar tidak selalu tersedia, ataupun (jika ada) akan bersedia membantu.

Tidak ada kekuatan regional telah mengambil sikap tegas dan memihak di sengketa LCS, tapi lebih ke fokus hanya pada kebebasan navigasi. Artinya, meskipun AS atau Jepang memiliki alasan yang sah untuk melakukan intervensi jika LCS terancam konflik bersenjata, namun tindakan nyata tidak bisa dipastikan. Bahkan jika misalnya Komando Pasifik AS suatu saat mendeteksi pergerakan mencurigakan militer China di LCS, tapi mereka mungkin tidak dapat bereaksi tepat pada waktunya.

Bagi negara-negara dengan kerjasama pertahanan atau aliansi militer sekalipun bantuan mungkin datang terlambat. Opsi terbaik adalah mengandalkan kekuatan sendiri. Dan bagi Indonesia yang merupakan negara netral tanpa memiliki aliansi militer, kemandirian pertahanan ini merupakan kebutuhan mutlak.

Kebutuhan akan (setidaknya) kemampuan terbatas kontrol wilayah perairan.

Ancaman terbesar negara-negara Asia Tenggara yang berhadapan dengan LCS adalah China. Dan walau ASEAN bersatu dalam aliansi militer, namun secara kuantitatif tidak bisa menandingi kekuatan militer China. Karena itu perlombaan senjata melawan China bukanlah opsi yang bisa dilakukan negara-negara di kawasan ini, bahkan termasuk juga Indonesia yang dari ukuran jumlah penduduk dan ekonomi merupakan yang terbesar di antara negara ASEAN. Namun tidak berarti tidak ada yang bisa dilakukan oleh negara-negara ini dalam menghadapi ancaman kekuatan militer yang superior.

Pertempuran Paracel memberikan pelajaran akan kebutuhan tidak hanya mencegah musuh dari memblokade akses laut, tapi juga kebutuhan untuk mengamankan akses militer pada kepulauan terdepan yang terbuka dan rentan. Kemampuan peringatan dini dan air/sea denial permanen pada lokasi-lokasi wilayah terluar hingga wilayah terluar ZEE diperlukan untuk tetap menjaga status quo.

Kesimpulan

Berbagai negara dalam adu klaim di LCS berusaha dengan berbagai cara bahkan membangun pulau buatan atau sekedar menancapkan bendera di atas koral, jangan sampai kita kehilangan lagi kepulauan luar yang sangat berharga dan merupakan batas untuk wilayah kedaulatan.

Control China terhadap LCS diperkirakan akan meningkatkan keuntungan strategis dan pada akhirnya daya tawar politik mereka, sementara Indonesia dari dulu sudah memiliki potensi besar ini namun belum memanfaatkannya. Ketika China sudah mulai dengan wacana menerapkan ADIZ di LCS, Indonesia justru masih numpang pada Singapura karena mereka mereka yang mengatur Air Traffic Services (ATS) lantaran Indonesia dinilai belum mampu untuk mengatur penerbangan internasional yang sangat padat di wilayah udara sekitar.


Penguasaan Kepulauan Riau hingga Natuna juga berdampak besar dalam strategi luas jika Malaysia yang ada dalam scenario. Secara harfiah Kepulauan, wilayah perairan dan udara Indonesia di Kepulauan Riau hingga Natuna memisahkan Federasi Malaysia antara Semenanjung dan Malaysia Timur.

Lokasi Kepulauan Natuna sangat strategis untuk berbagai scenario di masa depan. Natuna memang bukan satu-satunya wilayah depan Indonesia, tapi dengan dijadikannya Kepulauan Natuna sebagai wajah baru strategi keamanan Indonesia, mudah-mudahan hotspots baik perbatasan darat atau laut lainnya juga segera mendapat perhatian serius dari pemerintah dan TNI.(NYD)

Keterangan:
  • ADIZ (Air Defense Identification Zone) : Zona Identifikasi udara, Luas wilayah udara atas tanah atau air, memperluas ke atas dari permukaan, di mana identifikasi siap, lokasi, dan kontrol pesawat yang diperlukan dalam kepentingan keamanan nasional.
  • Claimant : Peserta/pihak yang punya klaim Air/Sea
  • Denial : Kemampuan mencegah ancaman laut dan udara
  • Status Quo : ”kondisi yang ada” atau “keadaan hal itu”
  • Hotspot : (politik) Lokasi dimana berpotensi terjadi kerusuhan/konflik
  • De Facto : ”pada kenyataannya” atau “pada praktiknya” walau bertentangan dengan aturan/hukum/kesepakatan
  • ZEE (Zona Ekonmi Eksklusif) : zona wilayah seluas 200 mil laut dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya

  ● JKGR 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.