Rabu, 07 Mei 2014

AM Hendropriyono dikukuhkan jadi guru besar ilmu intelijen

Gelarnya bertambah setelah mendapat gelar Profesor AM Hendropriyono dikukuhkan jadi guru besar ilmu intelijenMantan Kepala Badan Intelijen Negara, Jenderal TNI (Purnawirawan) AM Hendropriyono. Alumnus Akademi Militer pada 1967 itu banyak melewatkan karirnya di lingkungan Komando Pasukan Sandhi Yudha TNI AD (kini Komando Pasukan Khusus TNI AD). (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Jakarta
Gelar Jenderal (Purnawirawan) TNI AM Hendropriyono bertambah lagi dengan gelar profesor, setelah dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu intelijen, usai menyampaikan pidato pengukuhannya, di Balai Sudirman, Jakarta, Rabu.

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu membawakan pidatonya yang berjudul Filsafat Intelijen. Dalam pidatonya ia menyampaikan hakikat intelijen adalah tindakan yang cepat dan tepat demi keselamatan negara.

"Intelijen tidak beroperasi pasca kejadian selayaknya penegakan hukum. Intelijen mengumpulkan informasi secara cepat dan akurat untuk mencegah terjadinya kejadian yang membahayakan keselamatan negara," ujar dia.

Untuk itu, ia mengatakan, dari segi epistemologi, intelijen tidak bergumul dengan pengetahuan ilmiah melainkan informasi. Intelijen tidak memiliki banyak waktu untuk memeriksa sebuah informasi melalui metode ilmiah.

"Sebab itu intelijen memeriksa informasi berdasarkan kesahihan sumber dan logika. Informasi yang diperoleh dari eks anggota kelompok radikal tentu lebih akurat dibanding informasi pengamat. Informasi yang diperoleh juga harus logis atau tidak memiliki kontradiksi dengan informasi-informasi lainnya," kata dia.

Meski selalu berpacu dengan waktu, intelijen tidak dapat begitu saja mengabaikan etika. Imperatif etika tertinggi yang menuntun praktik intelijen adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Bangsa adalah kolektivitas bukan individualitas.

Pancasila sebagai dasar Negara memuat prinsip-prinsip kolektivitas yang apabila diringkas berbunyi gotong-royong.

Ia mengutarakan realitas bagi intelijen bukan realitas normal melainkan abnormal yang dalam bahasa filsuf Jerman, Carl Schmitt, disebut kedaruratan. Kedaruratan adalah kondisi abnormal yang menuntut tindakan-tindakan ekstra-yudisial.

Sehingga, kedaruratan pada tataran operasional kerap kali memunculkan tindakan yang tidak masuk akal, sedangkan hukum positif mana pun tidak hadir di sana.

"Selain itu, baik atau buruknya intelijen harus dilihat dari lingkup realitas yang goncang, yang merupakan ruang hampa hukum atau keadaan di mana hukum tidak mungkin lagi dieksekusi. Keluhuran moral pula merupakan modal yang utama bagi intelijen untuk menyelamatkan rakyat dari ancaman perang dalam bentuk dan sifatnya yang baru," ujar dia.

Ringkasnya, ia menjelaskan, demi keamanan bersama setiap individu warganegara, memang harus menyumbangkan sebagian hak asasi pribadinya.

"Sebaliknya demi keamanan individu, keamanan kolektif harus perlu dibangun sesuai dengan konstruksi sosial bangsa kita," kata dia.

Dengan demikian antara pengamanan bagi kebebasan individu dan pengamanan kolektif dalam pemahaman intelijen negara RI harus menyatu.

Penyatuan itu untuk mencapai sinergitas, dalam usaha menghindarkan bangsa Indonesia dari kegamangan teoritis dan praktis yang sangat berbahaya.

  ★ Antara  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.