Senin, 12 Mei 2014

Kami Bukanlah Pahlawan, Tapi Kenanglah Kami (4)

Pendaratan Amphibi di Pantai Kema, Manado Menumpas Permesta

Untuk mengenang dan simpati serta ucapan terima kasih terhadap KKO AL yang pernah bertempur melawan PERMESTA di Sulawesi Utara, maka masyarakat Kota Amurang dengan gotong royong serta bahu membahu mendirikan sebuah monumen yang berdiri kokoh tepat ditengah jantung Kota Amurang dengan diberi nama Tugu KKO AL. 

Sampai saat ini tugu kebanggan masyarakat Amurang ini selalu dirawat apalagi menjelang HUT KORPS MARINIR tanggal 15 November. 

Tugu yang merupakan bukti sejarah perjuangan KKO AL dalam menumpas pemberontakan PERMESTA sehingga akan teringang ngiang diingatan rakyat Sulawesi Utara bawah tentara KKO AL pernah menginjakan kaki dibumi nyiur melambai yang kaya dengan hasil alam ini guna mempersatukan rakyat Sulawesi yang hampir terpecah belah.

Senin 16 Juni 1958 ketika fajar menyingsing pendaratan di pantai Kema dimulai. Dentuman meriam dari kapal kapal perang KRI Gajah Mada, KRI Banteng, KRI Pati Unus, KRI Cepu, KRI Sawega, dan KRI Baumasepe membombardir garis pertahanan PERMESTA. Pendaratan di pantai Kema akan dilakukan dalam tiga gelombang besar teridri dari Batalyon Team Pendarat (BTP) KKO AL, Batalyon 432 Diponegoro dan Batalyon A Brawijaya.

Dalam lindungan remang remang fajar dengan posisi 1,5 mil dari pantai diluncurkan delapan buah tank tank amphibi (LVTP- Landing Vehicle Tractor Personel) sebagai gelombang pertama dan melakukan manuver membentuk formasi lingkaran menunggu kesiapan LVTP gelombang kedua dan seterusnya bersama sama sekoci sekoci pendarat LCVP yang akan membawa pasukan pendarat ke daerah sasaran di pantai Kema.


Setelah semuanya siap apa aba untuk menyerbu segera diberikan. Semua formasi melingkar kini berubah menjadi formasi berbanjar dan gelombang pertama LVTP segera menuju pantai diikuti gelombang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya pada jarak setiap seratus meter. Sementara formasi LVTP dan LCVP berbaris berbanjar berlapis lapis berenang menuju pantai, semua tembakan dari kapal kapal perang dihentikan dan kini digantikan oleh tiga buah kapal penyapu ranjau yaitu PR-208, PR-209 dan PR-210 yang mengawal dikedua sisi formasi dan terus menerus menembak ke sasaran di pantai

Lantas bagaimana upaya pendaratan tersebut, berjalan mulus atau justru sebaliknya..??

Pasukan Permesta dibawah pimpinan Kolonel Ventje Sumual (Mantan Komandan gerilya di Jawa selama perang revolusi kemerdekaan dan menjadi panglima pasukan di TNI AD pada tahun 1950-an) telah bersiap siap di front Lilang, Kema sampai Kauditan tidak berdaya menahan operasi skala perang modern terbuka dengan dukungan tembakan salvo dari bertubi tubi dari kapal kapal perang dan tembakan serta bombardir pesawat terbang Mustang dan B-52 dari udara ala perang dunia kedua yang belum lama berlalu.

Mendapat hujan tembakan tiada henti hentinya akhirnya pertahanan Permesta dipantai semakin goyah dan pada waktu gelombang pertama LVTP muncul tersembul seutuhnya dari dalam air dan merangkak seperti kura kura raksasa, tak ayal lagi awak senjata berat di kubu pertahanan Permesta yang terdiri dari veteran yang sudah ubanan menjadi terkesiap dan lari tunggang langgang meninggalkan begitu saja senjata modern yang sudah terisi dan siap tembak dan bisa merepotkan pasukan pada pendaratan pertama. Tepat pada pukul 06.00 BTP KKO AL berhasil merebut dan mengamankan pantai pendaratan sehingga gelombang kedua batalyon 432 Diponegoro bisa menyusul dan seterusnya gelombang ketiga Batalyon A Brawijaya juga mendarat dengan selamat.

Sementara itu Kompi B dibawah Komando Kapten KKO S. Jetro dari BTP KKO AL diperintahkan untuk menyerbu Kauditan yang terletak dibelakang KEMA yang dipertahankan mati-matian oleh Kolonel Ventje Sumual bersama pasukannya. sebab kalau Kauditan jatuh maka kota Manado bisa terancam.

Terjadi pertempuran sengit selama hampir 2 jam menghadapi BTP KKO AL yang juga memiliki persenjataan modern dengan prajurit yang terlatih baik dan sudah berpengalaman dalam beberapa medan pertempuran serta didukung beberapa LVTP yang terus bergerak menerobos dengan tembakan mitraliurnya memaksa Kolone Ventje Sumual harus mengundurkan diri dan membiarkan Kauditan jatuh ke tangan BTP KKO AL. Apalagi Kolonel Ventje Sumual terkena pecahan mortir sehingga semakin turun moril pasukannya. Siang itu juga Kauditan sepenuhnya jatuh ketangan BTP KKO AL.

Merebut Pelabuhan Kota Bitung

Setelah Kauditan diduduki maka gerakan dialihkan ke Bitung. Kompi B yang telah berhasil menduduki Kauditan kini diganti oleh Kompi C yang dikomandani Kapten KKO R.A.S Sunarto sedangkan Kompi B bersama sama dengan Kompi A melakukan gerakan penyerbuan ke Bitung. Kompi B bergerak disayap kiri melalui jalan raya Watudambo sedangkan Kompi A dibawah koamdo Kapten KKO Gandhi Poerwo bersama sama dengan Kompi Markas dibawah komando Kapten KKO Santoso seluruhnya dibawah komando Mayor KKO Indra Soebagio bergerak disayap kanan menyusur pantai melalui jalan raya melewati Tanjung Merah.

Gerakan menuju kota Bitung ini ternyata tidak mendapat perlawanan yang berarti dari Permesta yang sejak kemarin terus menerus dihujani tembakan meriam kapal kapal perang dan juga dari pesawat terbang AURI, apalagi dalam gerakan ini tank tank amphibi terus dikerahkan dan dengan lincahnya terjun menyeberangi sungai untuk menghindari jembatan jembatan kuno berbentuk rumah panjang sisa sisa peninggalan jaman penjajahan Belanda yang dibangun pada tahun 1930an.

Melihat tank tanl amphibi yang bisa seenaknya mencebur disungai kemudian merangkak memanjat tebing sambil mengeluarkan suara meraung raung tentu saja membuat pasukan Permesta yang terdiri dari kumpulan serabutan berbagai satuan dan perorangan seperti para mantan para prajurit prajurit yang masih aktif, pensiunan yang sudah ubanan, pemuda, buruh, petani, nelayan dan sebagainya. Mereka lari kocar kacir masuk hutan diantaranya ada yang menyerah dan ditawan.

Selasa tanggal 17 Juni 1958, kota pelabuhan Bitung dan Aertembaga dikuasai sepenuhnya. Bukit bukit strategis dibelakang kota Bitung juga sudah diduduki sehingga Gunung Batu Angus, Dua Saudara dan Kerabat yang menjulang tinggi dilatar belakang semakin memberikan kesan keteduhan dan kedamaian. Keesok harinya kapal kapal pembawa logistik sudah bisa merapat dengan aman didermaga pelabuhan Bitung dengan airnya yang biru bening.

Bekas bekas pertempuran yang masih terlihat ialah sisa sisa atau puing bekas Pasar Bitung yang sudah terbakar habis dan beberapa penduduk setempat sedang mengais dengan menggunakan batangan besi atau kayu untuk mencari benda benda berharga. Beberapa orang tawanan dari pasukan Permesta yang ditahan di Kantor distrik dijadikan markas pasukan KKO. Mereka diberi sarapan pagi dan pembagian rokok, seorang tujuh batang sama dengan pembagian untuk setiap prajurit KKO, apa yang dimakan prajurit KKO itu juga yang mereka makan. Yang sakit diberikan pengobatan atau perawatan yang layak tanpa dibeda bedakan sesuai dengan Konvensi Jenewa tentang perlakuan terhadap tawanan perang yang dipegang teguh BTP KKO AL dan instruksi khusus yang diberikan pimpinan pasukan sebelum kami mendarat yaitu:

Pertempuran kita bukan hanya mengalahkan musuh tetapi sekaligus untuk merebut simpati masyarakat karena bagaimanapun kami tetap sebangsa setanah air.

Sejak pasukan mendarat dan berhasil menguasai beberapa kota, kami tidak pernah bertemu dengan para gadis... Kemana mereka?

Kini kota Bitung sudah diduduki, hari Minggu tanggal 22 Juni 1958 merupakan hari kebaktian istimewa sebagai tanda syukur merayakan kemenangan yang akan segera membawa damai. Letnan Kolonel Laut John Lie selaku Komandan Amphibious Task Force (ATF-25) memerintahkan agar semua prajurit KKO yang beragama Kristen menyempatkan diri untuk ikut beribadah di Gereja Centrum Bitung.

Sejak lonceng pertama dibunyikan, halaman gereja sudah mulai dibanjiri oleh warga jemaat setempat. Pengumuman cepat tersebar kemana mana bahwa kebaktian hari minggu istimewa ini dipimpin oleh Pendeta Tentara yang ikut mendarat bersama sama dengan pasukan pembebasan yaitu Kapten Laut Porawouw yang juga merupakan putra Minahasa. Dari berbagai pelosok kota Bitung jemaat Kristen yang begitu lega mendapati kota kesayangannya kini telah pulih dari ketegangan peperangan datang berbondong bondong dengan mengenakan pakaian yang disetrika rapi, bapak bapak dan ibu ibu. Tetapi hampir tidak kelihatan gadis gadis jelita dikarenakan termakan propaganda Permesta yang menyatakan Tentara Pusat Tidak Bermoral dan Suka Memperkosa

Operasi Belum Berakhir.... Laksanakan Operasi Mega

Operasi mega yang merupakan kelanjutan dari Operasi Pendaratan Amphibi di Pantai Kema.

Tugu KKO Amurang

Resimen Tempur KKO-AL yang dibawah komando Mayor KKO Ali Sadikin bergerak dari Tondano dengan misi utama merebut kota pedalaman Langowan dalam gerakan yang dinamakan Operasi Mega yang dibagi dalam tiga tahap dan selanjutnya terus sampai ke kota pelabuhan Amurang.

Untuk tahap pertama yang selanjutnya dikenal dengan Operasi Mega I merupakan gerakan operasi KKO dari Tondano ke Watumea. Selanjutnya disusul Operasi Mega II yang merupakan gerakan operasi dalam rangka merebut Kakas dan dilanjutkan Operasi Mega III untuk merebut Langowan.

Dalam melaksanakan operasi operasi tersebut pamor KKO cukup bersinar dan sudah bukan rahasia lagi pada waktu itu. Baik bagi kawan maupun bagi lawan. Kehadiran pasukan KKO AL mendapat simpati dihati masyarakat Suawesi Utara pada umumnya karena sikap dan perilakunya yang tidak menganggap rakyatnya sebagai musuh tetapi sebagai saudara sebangsa dan setanah air.

Catatan dari pelaku sejarah
LetKol Laut Purnawirawan C Kowaas

 ● Diposkan Suromenggolo (Kaskuser) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.