Senin, 12 Mei 2014

Menunggu Kiprah Prajurit-prajurit Profesional untuk Papua

Masalah Papua adalah masalah sangat kompleks yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan semata Personel TNI berpatroli di perbatasan Indonesia dengan Papua Niugini di Distrik Sota, Merauke, Papua, Minggu (27/10/2013). Warga kedua negara tersebut yang hendak menyeberang diwajibkan untuk melapor dan menitipkan kartu identitas di pos penjagaan setempat.

Sudah 45 tahun masalah di Papua, baik itu di Provinsi Papua maupun Papua Barat, tak kunjung selesai. Salah satu yang menonjol adalah masalah keamanan. Data dari Indonesia Police Watch, selama tahun 2013, ada 19 orang tewas, terdiri dari 8 tentara, 1 polisi, dan 10 warga. Sebelumnya, tahun 2009-2012 ada 67 orang tewas terdiri atas rakyat dan aparat.

Pemerintah berkali-kali mengatakan, pendekatan solusi yang dilakukan adalah pendekatan menyeluruh atau komprehensif. Artinya, yang diatasi tak hanya melulu aspek yang bermasalah, dalam hal ini keamanan, tetapi juga aspek lain seperti politik dan ekonomi.

Namun, dalam kenyataannya, masalah ini tak kunjung selesai. Salah satu unsur penting dan perlu segera dibenahi adalah profesionalisme aparat keamanan. Rumor tentang oknum tentara yang tidak profesional masih terdengar, mulai dari menyelundupkan kayu sampai melakukan kekerasan pada rakyat.

KSAD Jenderal Budiman, Selasa (6/5/2014) lalu memberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat luar biasa kepada 48 prajurit, beberapa di antara mereka bertugas di Papua. Penghargaan diberikan karena para prajurit itu telah bekerja melampaui tugas dan tanggung jawab utamanya.

Budiman mengakui masih ada prajurit yang nakal. Penghargaan ini sekaligus juga sebagai motivasi agar prajurit menjadi semakin baik.

Menurut mantan Kepala Staf Umum TNI Letjen (Purn) J Suryo Prabowo dalam bukunya Operasi Lawan Insurjensi Bukan Hanya Operasi Militer, profesionalisme tentara adalah hal mutlak dalam penyelesaian konflik di Papua. Ia mengatakan, masalah Papua adalah masalah sangat kompleks yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan semata. Namun, pendekatan keamanan dari tentara-tentara profesional adalah keniscayaan.

Dalam pelaksanaannya, hal ini tak mudah. Salah satu operasi militer di Papua adalah operasi tempur. Operasi tempur di Papua harus sesuai dengan karakteristik kelompok bersenjata insurjen (sempalan) di Papua.

Ada banyak kendala memang, yang terlihat dari banyaknya aparat yang tewas. Namun, ada juga prestasi, seperti oleh Serka Ridwan Sihotang, prajurit Kopassus di Yonif 751 Puncak Jaya.

Setelah terjadi pencurian senjata Polri oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dipimpin Tenggah Mati, tim dari Yonif 751 menggelar operasi pengejaran pada Februari 2014. Perjalanan 14 jam, diakui Ridwan, berat. ”Kami hanya bisa bergerak maju 500 meter dalam 1 jam,” kata Ridwan yang berhasil merebut senjata dalam pertempuran dengan OPM.

 Taktik Narin dan Musa 

Selain operasi tempur, operasi lain yang sama pentingnya adalah operasi teritorial. Operasi teritorial dinilai berhasil jika militer berhasil menggandeng dan mengambil hati masyarakat, bahkan OPM, untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Hal ini dilakukan Serka Narin Wonda dan Sertu Musa Tabuni, keduanya aparat di Koramil 07 Tion, Kodim 1702 Jayawijaya. Narin dan Musa, pada Juni 2013 lalu membujuk tujuh anggota OPM untuk turun ke kota. Bujukan ini berhasil sehingga kepala OPM Engga Kiwo itu sekarang bertugas menjadi anggota satpol pamong praja.

Awalnya, Narin mendapat informasi dari masyarakat Kampung Tigemuli, Distrik Malagineri, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, tentang kehadiran OPM yang berpistol. Hal ini disampaikan kepada atasannya. Narin lalu diperintahkan untuk membujuk para OPM itu.

”Saya bilang kepada mereka supaya turun. Tidak usah di hutan terus. Kamu tidak makan nasi, kamu tidak dapat uang,” kata Narin yang naik gunung dengan bermodalkan 10 bungkus rokok untuk bertemu dengan anggota OPM.

Narin mengatakan, ia berani datang dengan baju sipil karena punya bahasa yang sama, yaitu bahasa suku Dani. Narin juga meminjam babi dari rakyat distrik untuk mengajak para OPM makan. Setelah makan babi, merokok, dan makan pinang selama lebih kurang tiga hari, barulah Narin mengutarakan maksudnya. Setelah beberapa kali melakukan pembicaraan barulah anggota OPM itu mengaku punya pistol.

Keberadaan dan kerja tentara profesional adalah mutlak dalam penyelesaian konflik di Papua. Suryo Prabowo dalam pengantar bukunya tersebut mengatakan, walau kecil, kehadiran insurjensi yang tak kunjung padam bisa dengan mudah menduniakan ide-ide separatisnya.

Hal ini berarti kebijakan politik, bahkan hati seluruh bangsa harus diletakkan di Papua. Narin saja membeli rokok dan babi dengan uang sendiri, untuk OPM. Sementara Ridwan bercerita tentang makanan yang kerap terlambat. Kalau pemerintah dan TNI bisa dengan gagah mengirimkan pasukan terbaiknya ke ke misi-misi perdamaian PBB dengan penuh bekal sosial dan fasilitas, kenapa tidak ke Papua? (Edna C Pattisina)

  ★ Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.