Kamis, 17 Juli 2014

Komando Gabungan Wilayah Pertahanan

Solusi Atasi Ancaman Kawasan http://jurnalmaritim.com/assets/uploads/content/source/Juni%202014/Juli%202014/Komando%20Gabungan%20Amfibi%20_%20Garuda%20Militer.jpgKomando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) merupakan respons Kementerian Pertahanan dan TNI sebagai solusi mengatasi situasi kawasan yang memanas. Komando yang dimaksudkan untuk lebih memadukan dan memaksimalkan tugas ketiga matra TNI ini dianggap sebagai kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi peningkatan ancaman terhadap pertahanan negara.

Melihat rencana itu, Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut (PPAL), Laksamana (Purn) Achmad Sutjipto, mengungkapkan, Kogabwilhan harus didukung restrukturisasi organisasi TNI dan media pembaruan doktrin pertahanan dari inward looking ke outward looking.

“Langkah ini sangat penting untuk segera diimplementasikan, karena peta kekuatan pertahanan tingkat regional sudah sedemikian jauh berkembang, terutama dalam menghadapi ancaman meluasnya konflik Laut Tiongkok Selatan,” kata Tjipto.

Pasalnya, Indonesia berbatasan laut dengan sepuluh negara dan berbatasan darat dengan tiga negara. Gangguan tak terduga bisa datang, mengingat saat ini Indonesia telah terkepung kekuatan militer besar.

Pria yang pernah menjabat sebagai Dansatgas Sea Games XIV itu menambahkan adanya ancaman FPDA (Five Power Defence Arrangement) yang terdiri dari Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapura, dan Inggris, juga Amerika Serikat yang menempatkan 60 persen kekuatan armada-nya di kawasan Asia Pasifik. Seluruh kekuatan militer itu membahayakan pertahanan dan kedaulatan negara ke depan.

“Australia dengan AMIS-nya (The Australian Maritime Identification System-red) telah melakukan pengawasan sejauh 1.000-1.500 mil laut ke luar wilayah Australia, yang berarti memasukkan wilayah Indonesia dalam jangkauan pengawasannya,” paparnya.

Selain itu, Timor Leste juga sudah menyatakan membuka diri kepada RRT untuk menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan militer. Sampai saat ini, RRT sangat agresif membangun aliansi dengan berbagai negara.

Melalui kebijakan blue water naval strategy, RRT tampaknya berambisi menandingi dominasi Amerika Serikat. Sementara itu, India juga tidak mau ketinggalan, dengan kebijakan look east policy, negara ini terus meningkatkan kehadirannya di kawasan.

Dari beberapa ancaman itu, rencananya Kogabwilhan akan diposisikan di flashpoint, seperti Aceh, Natuna, Perbatasan Kalimantan, berikut perairan Ambalat, Papua, dan Atambua.

Lebih lanjut, Mantan KSAL tahun 2000 ini menjelaskan prioritas pembangunan postur pertahanan matra laut dan udara pada Kogabwilhan sudah tepat, mengingat kondisi geografis Indonesia sebagai Negara Kepulauan beserta lingkungan maritim yang mengitarinya.

Tjipto juga mengingatkan, indikator pembangunan dapat dilihat dari modernisasi alutsista yang identik dengan pilihan tingkat kemutakhiran teknologi.


Kogabwilhan Jangan Mendistorsi Modernisasi Alutsista

Di samping mendukung rencana Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) sebagai counter terhadap memanasnya situasi kawasan, Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut (PPAL), Laksamana (Purn) Achmad Sutjipto, menegaskan agar rencana ini jangan sampai mendistorsi modernisasi alutsista.

“Yang harus dihindari adalah bahwa pembentukan Kogabwilhan jangan mengulang kemubaziran pembentukan Kowilhan yang hanya menjadi komando di atas kertas,” ujar Tjipto.

Pasalnya, sistem yang berlaku saat ini terkait dengan kecepatan pengambilan keputusan, kemandirian logistik, keunggulan manuver, presisi tembakan, serta melakukan gelar tempur pada 
battle space masih terkendala sistem komando yang birokratis.

“Tanpa dibekali kewenangan dan sarana mutakhir untuk pelaksanaannya maka peran Kogabwilhan akan sama dengan 
joint operation yang sudah-sudah. Berarti tidak ada hal yang baru dari Kogabwilhan, malah akan memperpanjang matarantai komando dan pemborosan anggaran,” tegasnya.

Kemungkinan lain yang perlu dicermati adalah munculnya duplikasi komando dalam suatu ruang tempur antara Kogabwilhan dengan kompartemen strategik dan komando reguler yang ada, bahkan dengan kesatuan-kesatuan siaga atau 
standing forces.

“Meskipun masing-masing sudah ada deskripsi tugas, tetapi hampir pasti akan terjadi tumpang tindih yang sulit dihindari,” tuturnya.

Lebih lanjut, pria kelahiran Bondowoso Jawa Timur ini menambahkan, dalam kondisi demikian, pada akhirnya kesatuan komando dan manajemen operasi menjadi mahal dan tidak efektif. Padahal sebenarnya, hal tersebut bisa di-tackle dengan satu rantai komando sederhana. Jika demikian, tujuan efektivitas komando dan efisiensi anggaran justru jauh dari sasaran.

“Pembentukan Kogabwilhan justru mendistorsi proses modernisasi alutsista TNI pada program MEF, karena tanpa penuntasan program MEF, sementara pembentukan itu terus berjalan, dan hanya menjadikanya sebagai macan ompong,” tuturnya.

Mengingat tingginya peranan Kogabwilhan dalam mengantisipasi ancaman terhadap pertahanan negara maka dalam sistem komandonya harus dilengkapi struktur komando yang efisien, responsif, dan cepat. Selain itu, juga harus diiringi pemutakhiran alutsista TNI sebagai pendukungnya.

  Jurnal Maritim  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.