Sabtu, 18 Oktober 2014

Peristiwa 17 Oktober 1952

Politikus di parlemen seperti orang gila! TB Simatupang. ©sinar harapan

Titik terendah hubungan antara politikus dan TNI terjadi tanggal 17 Oktober 1952. Tepat 62 tahun lalu, TNI mengerahkan meriam ke depan istana negara. Mereka memaksa Presiden Soekarno membubarkan parlemen.

TNI merasa DPR terlalu ikut campur urusan tentara. Apalagi mereka merasa, para wakil rakyat yang duduk di parlemen bukan pilihan rakyat. Sebagian besar datang dari perwakilan negara federal buatan Van Mook. Ada juga unsur komunis yang dulu pernah menjadi lawan Angkatan Darat saat peristiwa Madiun 1948.

Demokrasi liberal di Indonesia dari tahun 1950 hingga 1959 diwarnai ketidakstabilan politik. Ada kabinet yang umurnya hanya beberapa bulan saja. Gonjang ganjing politik selalu terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Hal ini diperburuk dengan korupsi yang merajalela.

TNI AD pun saat itu dilanda perpecahan. Kolonel Bambang Supeno menyurati DPRS dan menilai Kolonel Nasution tak pantas memimpin Angkatan Darat. Hal ini jadi pintu masuk para politikus menyerang TNI.

Saat itu Kolonel Alex Kawilarang adalah Panglima Teritorium III Jawa Barat. Dia sebenarnya bukan tentara yang suka berpolitik. Namun akhirnya terbawa emosi juga.

Kawilarang bercerita soal pertemuannya dengan Jenderal Mayor TB Simatupang yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Perang.

"Mengapa ribut di parlemen?" kata Kawilarang polos.

Simatupang balik bertanya. "Apa kamu pernah menghadiri sidang di parlemen?" Kawilarang menjawab tidak.

"Itu mereka semua sudah gila," kata Simatupang.

Kisah ini dituturkan Alex Evert Kawilarang dalam biografi Untuk Sang Merah Putih karya Ramadhan KH yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.

Kawilarang pun kemudian mengikuti perkembangan politik. Dia mengaku cepat terbawa emosi, karena saat itu masih muda, baru berusia 32 tahun.

Simatupang sempat mengingatkan para perwira tersebut. "Kritik oke, tapi jangan kup (kudeta)," pesannya.

Maka terjadilah peristiwa 17 Oktober. Massa yang didukung TNI AD berdemo di depan istana. Komandan Resimen Tujuh Mayor Kemal Idris mengerahkan meriam dengan moncong menghadap istana.

Nasution menghadap dan diterima presiden bersama Kolonel M Simbolon, Letkol Kosasih, Letkol M Bakhrum, Letkol Suwondo, Letkol A Gani, Letkol Sutoko, letkol Sukanda, Letkol Suprapto, Letkol Suryo Sunarso, Letkol S Parman, letkol Askari, Letkol Azis Saleh, Letkol Sumantri dan Kolonel Kawilarang. Lalu menyusul TB Simatupang dan Letkol Daan Yahya.

Letkol Sutoko menjelaskan gerakan tersebut pada Soekarno. Mereka datang sebagai anak yang mengadu pada orang tuanya. Sutoko menjelaskan saat itu suasana politik tidak stabil. Umur kabinet hanya 6-8 bulan. Dua pertiga anggota parlemen di DPRS berasal dari negara boneka bikinan Belanda.

"Kami anggap bahaya bagi negara yang masih muda seperti negara kita ini, apabila tidak ada stabilitas politik di dalam negeri. Keadaan partai pada saat ini adalah satu sumber yang menyebabkan labilnya politik di dalam negeri," kata Soetoko mewakili para perwira itu.

"Maka dimohonkan agar presiden sebagai panglima tertinggi juga mengakhiri cara parlemen seperti itu dan membentuk DPR yang baru dalam waktu singkat dengan memperhatikan kehendak rakyat," lanjutnya.

Menghadapi para tentara, Soekarno mengaku memahami kekhawatiran mereka. Tapi dia meminta tentara tak ikut campur masalah politik. Soekarno berjanji akan menyelenggarakan pemilihan umum secepatnya. Tapi dia tak mau membubarkan parlemen.

Gerakan 17 Oktober 1952 gagal. Demonstran yang mendemo Soekarno langsung berbalik berteriak 'Hidup Bung Karno', saat ditemui pemimpin besar revolusi tersebut.

Para prajurit yang mengoperasikan meriam-meriam di depan istana juga tak berkutik menghadapi Soekarno.

Peristiwa 17 Oktober berbuntut panjang dan menimbulkan kisruh di internal TNI AD. Pemerintah akhirnya menggelar Pemilihan Umum tahun 1955, yang disebut sebagai pemilihan paling demokratis dalam sejarah Indonesia.
Kesaksian Mayor TNI bawa meriam ke istana minta DPR dibubarkan Kemal idris. ©2013 Merdeka.com/repro/pustaka sinar harapan

17 Oktober 1952, tepat 62 tahun lalu, TNI mengarahkan meriam ke istana. Mereka mendesak Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara.

TNI kesal gonjang-ganjing politik terus terjadi. Kabinet hanya berumur enam bulan dan terus berganti. Puncak kekesalan mereka saat para politikus ikut campur urusan tentara.

Adalah Komandan Resimen Tujuh Mayor Kemal Idris yang mengarahkan meriam dan tank ke istana, atas perintah Kolonel Nasution. Pengamanan Jakarta memang saat itu berada di bawah kendali Kemal Idris.

Kisah ini dikisahkan Kemal dalam biografinya yang berjudul Kemal Idris Bertarung Dalam Revolusi terbitan Pustaka Sinar Harapan 1997.

Kemal mengaku diajak bicara oleh Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution soal kondisi bangsa saat itu. Pada awal 1950an, ekonomi Indonesia masih morat-marit. Selain itu perpolitikan juga kacau sehingga pembangunan mandek.

"Saya ikut dalam gerakan itu karena yakin tujuannya benar. Saya menganggap perlu ada perubahan, perlu ada peremajaan dalam pimpinan. Baik di kabinet maupun di DPR serta perlu dilaksanakan pemilu secepat mungkin," kata Kemal Idris.

Dia menambahkan saat itu masih berusia muda dan avonturir sehingga cepat terbawa suasana.

"Saya bertanya kepada Nasution, di mana harus menempatkan senjata?"

"Ya sudah, saudara taruh saja di depan istana," jawab Nasution.

Kemal mengerahkan meriam, panser dan tank ke depan istana. Dia beralasan hal itu untuk menjaga keamanan istana dari para demonstran yang sebenarnya juga didukung oleh Angkatan Darat.

"Sebenarnya kalau meriam yang moncongnya menghadap istana itu ditembakkan, pasti jatuh melewati istana. Kenapa saya setuju dengan ucapan Nasution, jawabannya mudah. Kalau Bung Karno bertanya saya akan menjawab: Untuk melindungi Bung Karno dari serbuan demonstrasi." katanya.

Sebenarnya walau jatuh melewati istana pasti akan jatuh korban karena Kemal menggunakan peluru meriam sungguhan alias peluru tajam, bukan peluru kosong.

Kemal Idris hanya berjaga di luar, dia tak ikut saat Nasution dan para perwira lain menemui Soekarno. Para perwira Angkatan Darat itu menyampaikan permintaan agar Soekarno membubarkan parlemen, tapi ditolak. Soekarno hanya berjanji menggelar Pemilu secepatnya.

Kemal menilai para perwira ini tak berkutik karena kemampuan bicara Soekarno. Dia menyebut aksi ini sebuah kegagalan. Apalagi saat para demonstran yang didukung Angkatan Darat pun berbalik mendukung Soekarno. Termasuk para prajurit Kemal yang berada di balik meriam dan tank.

Walau begitu, Kemal mengaku tak pernah ada niatan untuk kudeta. Para perwira itu hanya ingin membuka mata Soekarno soal kondisi masyarakat dan politik yang kacau balau.

"Saya berpendirian, massa bisa berubah mendukung Bung Karno karena dia adalah orator ulung, yang mampu menggerakkan massa. Bagi saya adalah suatu kesalahan, membiarkan Bung Karno tampil berpidato di depan massa, sehingga target yang diinginkan semula tidak tercapai," beber Kemal.

Gerakan 17 Oktober 1952 gagal. Nasution berhenti sebagai Kepala Staf Angkatan Darat sebelum akhirnya nanti diangkat kembali oleh Soekarno. Karir Kemal Idris pun berantakan. Kemal juga sempat memusuhi Nasution karena dianggap tak pernah membelanya.

Dia kelak menjadi salah satu jenderal pendiri Orde Baru. Namun Kemal Idris akhirnya berseberangan dengan Soeharto dan turut menjadi pendukung Petisi 50 bersama Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng dan lain-lain.
Politikus bikin perang, prajurit TNI yang mati AH Nasution. ©2013 Merdeka.com

Hari ini, tepat 62 tahun lalu, sejumlah pimpinan Angkatan Darat mencoba mendesak Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Mereka merasa para politikus terlalu ikut campur masalah tentara. Mereka juga menunggangi sejumlah perwira TNI AD yang kerap membuat konflik.

Kondisi politik diperparah dengan ekonomi yang memburuk dan korupsi merajalela. TNI AD meminta permasalahan ini dibenahi.

Kepala Staf Angkatan Darat, Kolonel Nasution mengerahkan meriam ke istana. Peristiwa itu dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952.

Soekarno membeberkan peristiwa ini dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams. Dia naik pitam. Soekarno marah sekali pada Nasution.

"Engkau benar dalam tuntutanmu tapi salah dalam caranya. Soekarno tidak akan menyerah menghadapi paksaan. Tidak pernah kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia!" bentak Soekarno.

Nasution membalas. "Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tetapi si prajurit yang harus mati. Wajar bila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung," kata Nasution.

Namun penjelasan Nasution soal aksi itu hanya membuat Soekarno semakin marah.

"Mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada Bung Karno-YA. Tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia-TIDAK! JANGAN SEKALI-KALI!"

Versi lain menyebutkan Nasution membawa konsep keadaan darurat untuk ditandatangani Presiden Soekarno. Salah satu isinya memberi kewenangan untuk membubarkan parlemen.

Isi pembicaraannya kira-kira seperti berikut:

"Kami minta kepada Presiden dapat menerimanya tentang adanya keadaan bahaya di seluruh Indonesia dan Presiden supaya dapat mengambil kekuasaan sebagai Panglima tertinggi," kata Nasution.

Jawaban Soekarno: "Apakah saudara-saudara menghendaki saya sebagai diktator?"

"Jika perlu," jawab Kolonel Nasution.

"Jika saya menjadi diktator, bagaimana kalau saya memecat saudara-saudara sekalian?"

Soekarno pun mengembalikan konsep yang sudah disiapkan Nasution. Dia menolak menandatanganinya.

Versi ini dibantah Nasution. Dia menjelaskan pertemuan berlangsung dengan sopan, tak ada paksaan atau konsep apapun pada Presiden Soekarno.

Peristiwa 17 Oktober gagal. Presiden Soekarno menolak parlemen dibubarkan, namun Soekarno setuju Pemilu segera digelar.

Nasution berhenti sebagai Kepala Staf Angkatan Darat setelah peristiwa 17 Oktober. Dia juga keluar dari dinas militer dan sempat mendirikan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Tahun 1955, Soekarno kembali memanggil Nasution untuk menjabat Kepala Staf Angkatan Darat.
17 Oktober, saat TNI kerahkan meriam & tank minta DPR dibubarkan TB Simatupang. ©wikipedia.com

Perpolitikan Republik Indonesia awal tahun 1950an mendidih. Demokrasi Liberal yang diterapkan hanya menghasilkan konflik politik tak berkesudahan. Kabinet hanya berumur enam bulan, jatuh bangun.

Kondisi ini ditambah parahnya korupsi sejumlah pejabat dan perekonomian yang memburuk.

Saat itu TNI juga menghadapi permasalahan. Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Mayor TB Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel AH Nasution menginginkan tentara yang profesional. Bukan para panglima yang menjadi raja-raja kecil di daerah.

Nasution merencanakan rasionalisasi tentara. Mengurangi jumlah tentara untuk meningkatkan jumlahnya.

Angkatan Darat pun terpecah. Ada kubu Nasution dan kubu Kolonel Bambang Supeno. Kolonel Bambang Supeno merasa Nasution akan menggeser para tentara PETA didikan Jepang.

Konflik dalam militer ini ditunggangi kepentingan politik dari partai politik yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).

Kolonel Bambang Supeno mengirimkan surat ke parlemen berisi ketidakpuasaan pada kepemimpinan Nasution. DPR pun riuh membicarakan masalah kepemimpinan Angkatan Darat yang akhirnya menghasilkan mosi Manai Sophian.

Intinya DPR akan memuat suatu panitia negara yang anggotanya kebanyakan anggota DPR. Mereka akan mempelajari penempatan pasukan, pembelian persenjataan, hingga pemilihan para komandan dan kenaikan pangkat.

Nasution merasa tindakan Kolonel Bambang Supeno langsung menyurati DPR dan menemui Presiden Soekarno sebagai tindakan indisipliner. Nasution pun menjatuhkan skorsing untuk sang kolonel.

TNI juga merasa apa yang dilakukan DPR terlalu jauh. Saat itu mereka tak percaya pada sebagian besar anggota dewan. Dua pertiga anggota parlemen di DPRS berasal dari negara boneka bikinan Belanda. Ada juga unsur PKI yang dulu jadi lawan mereka saat peristiwa Madiun 1948.

TNI takut dilemahkan. Di sisi lain mereka belum terbiasa berada di bawah kendali sipil usai perang kemerdekaan.

Maka terjadilah peristiwa 17 Oktober 1952. Kubu Nasution mendesak Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Mereka mendatangkan demonstran ke istana dan mengerahkan panser dan tank baja ke depan istana.

Walau juru bicara kubu Nasution, Jenderal Soetoko mengaku mereka datang sebagai seorang anak yang datang pada ayahnya, Soekarno menganggap aksi para perwira ini sebagai upaya setengah kudeta.

Tak ada anak yang akan mengancam ayahnya dengan meriam dan tank berpeluru tajam.

Aksi ini gagal. Soekarno menolak membubarkan parlemen. Massa yang diharapkan Nasution mampu mendesak Soekarno malah berbalik mendukung, begitu mendengar pidato pemimpin besar revolusi tersebut.

"Saya peringatkan, seperti waktu saya mengangkat almarhum Pak Dirman saya pesan, supaya tentara jangan mau diombang-ambingkan politik. Apa yang saya katakan pada para demonstran tadi, berlaku juga untuk saudara. Saya minta bahkan saya perintahkan sebagai Pangti supaya pernyataan ini jangan diumumkan," kata Soekarno.

Peristiwa 17 Oktober berbuntut panjang. Kisruh TNI AD semakin melebar. Nasution mengundurkan diri dari dinas militer. Dia digantikan Kolonel Bambang Sugeng sebagai Kasad.

Bambang Sugeng pun meminta mengundurkan diri. Dia digantikan Kolonel Bambang Utoyo yang ditolak sebagian besar perwira TNI AD. Bahkan pelantikannya Utoyo pun diboikot.

Presiden Soekarno juga menghapus jabatan kepala Staf Angkatan Perang yang mengakibatkan TB Simatupang jadi perwira non job. Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX juga mengundurkan diri dari posisi menteri pertahanan.

Angkatan Darat terbagi dua. Kelompok pro-17 Oktober dan kontra-17 Oktober.

"Bahkan sampai ada perwira yang bunuh diri karena sedih melihat perpecahan ini," kata Kolonel Kawilarang.

Tahun 1955, Soekarno memanggil lagi Nasution untuk menduduki posisi Kasad dan mengakhiri konflik berkepanjangan di tubuh TNI AD.

Tahun 1955 juga digelar pemilihan umum pertama dan satu-satunya selama pemerintahan Soekarno.[ian]

  ★ Merdeka  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.