Sabtu, 25 Oktober 2014

Saya Anak Siapa Jenderal?

Keterangan Foto: satu regu pasukan Siliwangi tengah berpatroli di perbatasan Solo-Madiun pada 1948, terusir dari kampung halaman dan jauh dari sanak saudara dan harus menyabung nyawa di perantauan. (koleksi almarhum Mayjen. Roehan Roesli)

September 1948, hari ke-13. Jarum jam baru saja melewati angka 10, ketika pagi itu sekelompok pasukan bersyal merah bergerak pelan mengepung Asrama Kompi II Yon IV Brigade XII Siliwangi di kawasan Solo Balapan. Beberapa di antara mereka nampak langsung memasang posisi tempur di antara rumah penduduk, sementara sebagian besar yang lain bergerak menyebar.

Di dalam asrama, Kapten Oking memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan senjata masing-masing. Usai memerintahkan seorang kurir untuk melapor ke markas induk, sang komandan kompi yang telah banyak makan asam garam perang di palagan Jawa Barat tersebut, lantas mengintruksikan beberapa perintah kepada masing-masing komandan peleton.

Hening menyeruak di kawasan Solo Balapan ketika toko-toko yang baru buka serentak ditutup kembali para pemiliknya. Di dalam rumah, para penduduk terdiam dalam helaan nafas tegang. Beberapa menit kemudian, sebuah letusan terdengar, diiringi tembakan-tembakan yang menyalak ramai dari berbagai jenis senjata. Bunyi peluru terdengar berdesingan. Suaranya yang mengerikan bersanding dengan teriakan-teriakan para prajurit dari kedua pihak yang tengah menyabung nyawa.

Pasukan bersyal merah yang dihadapi oleh anak-anak Silliwangi itu kemudian baru terketahui berasal dari Brigade VII Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) Komando Pertempuran Divisi Panembahan Senopati. Mereka merupakan anak buah langsung dari Mayor Slamet Rijadi.

Sementara itu, di kawasan Kleco (masih di Solo), Kapten Komir tak kuasa menahan rasa geram ketika mendengar kawan-kawan satu divisinya diserang. Tanpa berpikir panjang, komandan Kompi III itu memerintahkan pasukannya untuk bergerak ke arah Solo Balapan. Sebelumnya satu seksi pasukan dari Kompi I pimpinan Letnan Satu Oemar Said yang tengah bertugas menjaga perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Stadion Sriwedari datang dan ikut bergabung dengan anak-anak Kompi III.

Seolah berpacu dengan waktu, bergeraklah ratusan prajurit yang tengah hijrah tersebut menuju kawasan Solo Balapan. Dalam formasi tempur, mereka bergerak menyusuri jalur rel kereta api Singosari-Srambatan. Sayap kanan diisi oleh pasukan pimpinan Letnan R. Warsita Kusumah, di sayap kiri ditempati oleh pasukan Letnan Herawan dan di tengah Kapten Komir yang langsung memimpin didampingi oleh Letnan Surawinata dan Letnan Oemar Said.

Sekitar pukul 13.00, pergerakan pasukan tersebut sempat tertahan di Pasar Srambatan karena secara tiba-tiba diserang oleh para prajurit dari Divisi Panembahan Senopati. Pertempuran pun berkecamuk hebat dan baru berakhir menjelang maghrib dengan mundurnya para penghadang ke arah Tirtonadi, Jebres dan Lawean.

Begitu tiba di Solo Balapan sekitar pukul 18.30, gabungan Kompi III dan sebagian kecil pasukan Kompi I Siliwangi tanpa ampun menyikat para prajurit TLRI yang sepertinya mulai putus asa menghadapi kealotan perlawanan anak buah Kapten Oking. Pertempuran hebat pun kembali berkobar di Solo Balapan. Namun karena kehabisan amunisi dan rasa lelah yang mendera, memasuki dini hari tanggal 14 September (sekitar pukul 02.00) anak-anak Divisi Panembahan Senopati akhirnya berhasil dipukul mundur.

“Pertempuran sengit itu sendiri menimbulkan 14 orang korban,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Dari 14 korban tewas tersebut, menurut sumber Siliwangi yang saya kutip dari buku Siliwangi dari Masa ke Masa, itu termasuk juga korban gugur seorang sersan dan seorang prajurit dari Kompi Kapten Oking. Lantas apa pasal yang menjadikan dua pasukan yang sama-sama anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus saling menyabung nyawa?

*

SOLO 1948, hampir ibarat Amerika Serikat di zaman “wild-wild west”: marak dengan kelompok bersenjata, pembunuhan, penculikan dan perampokan. Hampir bisa dipastikan saat itu masyarakat tak bisa membedakan mana garong dan mana pejuang, mana tentara mana lasykar. Selain persenjataan, merekapun memiliki wilayah kekuasaan dan komando masing-masing hingga menyebabkan mereka bergerak nyaris tanpa kendali.

Menurut Soe Hok Gie, dari puluhan kelompok bersenjata itu, yang paling besar adalah Lasykar Pesindo (berideologi kiri), Barisan Banteng (pro Tan Malaka), Divisi Panembahan Senopati (pasukan pemerintah yang sebagian besar komandannya berpaham kiri), Tentara Pelajar (TP) dan Divisi Siliwangi. Yang terakhir merupakan pasukan-pasukan yang hijrah dari Jawa Barat menyusul diberlakukannya Perjanjian Renville.

Padatnya Solo dengan kaum bersenjata menjadikan kota tersebut sangat rawan konflik. Terlebih sebagian besar dari kelompok-kelompok bersenjata itu merupakan sayap militer dari partai-partai politik tertentu. Makanya tak aneh jika, “Dalam suasana politik yang tegang, pasukan-pasukan ini amat mudah terbawa arus politik…” tulis Soe Hok Gie.

Rebutan senjata pun kerap menjadi pemicu konflik utama di Solo. Seperti pada pertengahan 1948, saat satu regu Mobrig (Mobile Brigade atau sekarang Brimob) dilucuti senjatanya oleh sepasukan tentara dari TLRI (masuk Divisi Panembahan Senopati). Karena tak bisa diselesaikan lewat jalur kata-kata, para polisi di Jawa Timur lantas mengancam akan menyerang markas TLRI. Di tengah situasi panas tersebut, tiba-tiba 2 tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan seorang perwira Divisi Panembahan Senopati hilang diculik.

Sebagai respon dari kehilangan itu, salah seorang perwira Panembahan Senopati yakni Letnan Kolonel Sujoto menugaskan Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Prajurit Suradi, Prajurit Supardi dan Letnan Mulyono untuk mencari orang-orang hilang tersebut. Namun, alih-alih berhasil, kelima orang tersebut justru ikut hilang. Para prajurit Panembahan Senopati hanya menemukan sepeda mereka tergeletak begitu saja di Srambatan, yang merupakan markas Kompi Kapten Lukas dari Siliwangi.

Otomatis karena bukti tersebut, Divisi Siliwangi menjadi tersangka kuat pelaku penculikan tersebut. Atas persetujuan Panglima Besar Jenderal Sudirman, komandan Divisi Panembahan Senopati lantas memberikan ultimatum kepada pihak Siliwangi untuk mengembalikan orang-orangnya yang kata mereka diculik oleh pasukan asal Jawa Barat itu. Lewat Mayor Slamet Rijadi, Divisi Panembahan Senopati memberikan batas hingga tanggal 13 September 1948.

Namun hingga sampai batas waktu yang telah ditentukan tersebut, Divisi Siliwangi yang menolak secara keras tuduhan tersebut, tak melakukan apapun. Maka terjadilah pertempuran seru di Solo Balapan dan Srambatan seperti yang saya ceritakan di atas.

**

Tak berhasil dengan cara kekerasan, para komandan Divisi Panembahan Senopati lantas mengadu ke Jenderal Sudirman. Sang Panglima Besar yang secara emosional lebih dekat kepada Divisi Panembahan Senopati menjadi berang dan memanggil Letnan Kolonel Sadikin (komandan pasukan Siliwangi yang anak buahnya terlibat langsung dalam Peristiwa Solo Balapan dan Srambatan). Di hadapan komandan Divisi Panembahan Senopati Letnan Kolonel Suadi (kelak menjadi ajudan pribadi Jenderal Sudirman saat bergerilya), Jenderal Sudirman mengingatkan Letkol Sadikin: “Jangan pikir apa-apa dulu, kecuali satu saat. Bagaimana perasaanmu sebagai tentara, jika ada perwiranya yang hilang?”

Didesak demikian, alih-alih menjadi segan dan takut, Letnan Kolonel Sadikin malah menjadi tersinggung. Ia juga tetap bersikeras bahwa Siliwangi tidak terlibat dalam penculikan tersebut dan menyalahkan pasukan Slamet Rijadi yang menyerang duluan Siliwangi di Solo Balapan dan Srambatan.

“Slamet Rijadi adalah anak saya!” kata Sudirman.

“Lalu saya anak siapa, Jenderal?” jawab Letkol Sadikin. Dan pertemuan itu pun berakhir tanpa penyelesaian.

Guna meminimalisasi konflik meluas, Jenderal Sudirman kemudian melontarkan ide agar Siliwangi ditarik dari Solo dan Semarang untuk kemudian kedua kota tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Panembahan Senopati. Ide tersebut tentu saja ditolak secara keras oleh para komandan Siliwangi. Letnan Kolonel Abimanju yang saat Jenderal Sudirman menyatakan ide tersebut hadir, mengingatkan Panglima Besarnya bahwa jika keluar intruksi seperti itu maka Siliwangi memutuskan kembali ke Jawa Barat untuk bertempur lagi dengan militer Belanda. Artinya Siliwangi akan tidak peduli lagi terhadap Perjanjian Renville.

Sikap ini juga ditegaskan oleh Letkol Sadikin ketika didesak kembali oleh Panglima Besar dan Kolonel Moestopo: “Apakah pekerjaan saya sejak menjaga PON yang lalu dianggap sebagai tindakan pemberontakan atau pembelaan negara? Kalau dianggap pemberontakan, maka saya tak peduli kepada siapa-siapa lagi dan akan pulang ke Jawa Barat…” ujarnya.

Ya, terbayangkan bagaimana pedihnya perasaan seorang tentara ketika merasa “dianaktirikan” oleh Panglima Besar yang dihormatinya. Padahal untuk suatu loyalitas kemiliteran, ia telah mengorbankan segalanya, termasuk meninggalkan tumpah darahnya, hidup terlantar dan miskin di perantauan serta kerap menjadi obyek provokasi kaum politisi. Apakah situasi seperti itu akan kerap terulang? (hendijo).

[Diposkan by Samuel Tirta]


  Garuda Militer  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.