Kamis, 13 November 2014

Pergulatan batin seorang serdadu Belanda yang berujung delapan tahun penjara

HARI KE-14 BULAN JUNI 1947, baru saja berjalan sekitar satu jam ketika gerimis semakin gencar menombaki kawasan hutan sekitar Nyalindung di Sumedang. Angin berdesir resah, meningkahi lambaian dedaunan yang bersanding dengan suara gemerisik pohon-pohon bambu.

Di jalan setapak nan licin, Piet Van Staveren tercekat sesaat. Ada rasa gentar yang singgah sekejap di hati serdadu Belanda itu saat siulan seekor burung Hantu mencegatnya secara tiba-tiba. Namun ia cepat-cepat menafikan rasa itu. Bagi Piet, kecemasan akan kejaran kawan-kawannya sesama tentara Belanda lebih besar dibandingkan dengan bayangan hantu-hantu penghuni hutan Nyalindung.

Setelah berjam-jam lamanya berusaha menembus gelapnya malam, menjelang pagi, Piet tiba di suatu kampung. Justru ketika itulah tiba-tiba ia merasa lelah dan lapar menderanya sangat hebat. Untuk berkompromi dengan kedua rasa itu, Piet memutuskan berhenti di luar pagar sebuah rumah sederhana.

“Aku lantas menghempaskan tubuhku yang kuyup pada sebuah batu seukuran tubuh manusia yang melintang di jalanan desa,” ujar Piet, seperti yang disampaikan olehnya kepada Eric Mol dalam Vrijheid voor Piet Van Staveren.

Sekitar 10 menit, Piet berdiam diri: memikirkan langkah selanjutnya yang harus ia lakukan. Tiba-tiba tercetuslah ide gila untuk mengetuk pintu rumah tersebut. Dengan berseragam hijau, ransel militer dan pet rimba yang sudah ia pasang secarik kecil kain berwarna merah putih, ia lantas melangkah dan memasuki halaman rumah tersebut. Suara orang mendengkur terdengar saling bersambaran.

“Tok..Tok..Tok Selamat malam! Selamat malam!” teriaknya dalam logat bahasa Indonesia yang kebelanda-belandaan.

Alih-alih mendapat jawaban, seisi rumah justru menjadi panik. Lampu dalam yang tadinya menyala terang tiba-tiba dipadamkan. Sebagian orang bergerak cepat melalui pintu belakang, sedangkan sebagian lagi berloncatan ke luar melalui jendela yang ada di bagian kanan dan kiri rumah itu. Bersamaan dengan itu, terdengar suar senjata dikokang dalam irama yang hampir bersamaan.

“Siaaapppp! Siaaapppp! Siaaaaapppp! “

Piet terkepung. Beberapa dari gerilyawan lantas mendekatinya secara perlahan. Seraya menghunus senjata ber bayonet, mereka mengancam tubuh Piet.

“Angkat tangan!”

Piet berusaha tenang. Ia yang memang sudah lama memiliki tekad untuk menyebrang ke pihak republik sangat yakin bahwa para gerilyawan itu tak akan menyakitinya jika ia bisa menerangkan tujuan sebenarnya ia ada di sana. Dengan memasang wajah percaya diri, anak muda Belanda itu lantas mengangkat perlahan tangan kanannya.

“Merdeka! Merdeka! Merdeka!”

Tiba-tiba suasana pun menjadi hening. Beberapa gerilyawan ternganga, seolah tak percaya kata-kata sakti yang tiap hari mereka teriakan justru terlontar dalam semangat yang sama, justru dari seorang yang selama ini dianggap sebagai musuh mereka.

TUJUH TAHUN SEBELUMNYA. Langit Rotterdam berwarna merah bercampur abu-abu. Puluhan pesawat Jerman hampir tiap detik seolah tak bosan menghujani salah satu kota terbesar di Belanda tersebut dengan berton-ton bom. Situasi kota sudah tak jelas juntrungannya: porak poranda dengan bau mesiu di sana-sini.

Piet tak pernah akan melupakan ketika kota kelahirannya menjadi ajang mainan pasukan Hitler. Masih segar dalam ingatannya bagaimana orang-orang tak berdosa ditembaki di jalanan kota Rotterdam dan manusia-manusia Belanda menjadi gelandangan yang kelaparan karena serbuan Jerman.

Sebagai seorang buruh muda, jiwa Piet berontak melihat situasi demikian. Bertempat di Den Haag, pada 1941, ia lantas memutuskan bergabung dengan ANJV (Algemene Nedelandse Jeugd Vereniging: Organisasi Pemuda Belanda yang berafiliasi ke Partai Komunis Belanda) dan memulai debutnya sebagai kelompok partisan Belanda untuk melawan Jerman.

“Sebagai anggota partisan, hidupku selalu diiringi bahaya. Tidak jarang, untuk menghindari kejaran para mata-mata dan Gestapo, kami harus bersembunyi beberapa hari,”ujarnya.

Piet sangat membenci fasisme dan kolonialisme. Ia sangat menentang segala bentuk penghisapan manusia atas manusia lainnya. Ini pula yang menjadi sebab, pada 1946, ia bersama ribuan pemuda Belanda lainnya menolak mentah-mentah permintaan pemerintah Belanda untuk masuk wajib militer dan diberangkatkan ke Hindia Belanda.

“Sungguh memalukan, ketika senjata-senjata yang kita gunakan untuk meraih kebebasan dari kungkungan Nazi Hitler, kemudian kita arahkan kepada para pemuda Indonesia yang juga menginginkan sebuah kebebasan seperti kita,” kata Piet yang lantas menjadi buronan pemerintahnya sendiri akibat pembangkangannya itu.

Namun takdir menentukan Piet tidak bisa mengelak dari “kewajiban” tersebut. Suatu hari, saat ia tengah berjalan-jalan secara tiba-tiba ia ditangkap. Pemerintah Belanda lantas memberikan 2 pilihan kepadanya: diadili sebagai penjahat perang atau pergi ke Indonesia. Piet akhirnya memilih untuk pergi ke negeri tropis itu, dengan syarat: ia ditempatkan di barisan Palang Merah.

Januari 1947. Kapal Laut MS.Sloterdijk yang mengangkut Piet dan ribuah pemuda wajib militer Belanda merapat di mulut dermaga Pelabuhan Tanjung Priuk. Bersama mereka, ada juga terdapat Kopral JC.Princen, seorang anak muda Den Haag yang kerap berdiskusi soal-soal politik secara intens dengan Piet selama perjalanan kapal dari Belanda-Indonesia.

“Aku mengenang Piet sebagai seorang serdadu muda yang di topi helm-nya tertera tulisan besar WIJ KOMEN ALS VRIENDEN (kami datang sebagai teman),” kata Princen suatu hari kepada saya. Kelak pemuda Den Haag ini menyusul Piet menyebrang ke pihak republik.

Piet kemudian ditempatkan di Cimahi sebagai bagian pasukan tempur, bukan di Palang Merah seperti yang dijanjikan sebelumnya. Beberapa saat kemudian, ia dipindahkan ke Nyalindung, sebuah desa yang terletak antara Sumedang dengan Cirebon, batas demarkasi antara militer Belanda dengan tentara Republik Indonesia.

Selama di desa tersebut, Piet tidak pernah benar-benar menjadi seorang militer yang baik. Alih-alih merugikan musuh, ia malah banyak melakukan protes atas posisi yang tak diinginkannya sebagai bagian pasukan tempur. Ia juga kerap mogok bertempur dan lebih banyak meluangkan waktunya pergi ke desa-desa sekitar markas: sekadar ngobrol dengan para petani, ikut mencangkul di sawah dan diam-diam menyumbangkan obat-obatan yang tentunya segera jatuh ke tangan pasukan republik.

“Komandan saya tentu tidak suka dengan kebiasaan ini. Ia lantas memberi pekerjaan yang membuat saya sibuk dan tak bisa berkunjung ke desa-desa seperti yang biasa saya lakukan,”ungkap Piet.

Waktu terus bergulir. Di Nyalindung, Piet semakin resah dengan keberadaannya sebagai seorang serdadu yang menjadi salah satu sekrup kapitalisme. Batinnya berontak. Ia sangat mafhum bahwa menurut keyakinan ideologinya, perjuangan para gerilyawan Indonesia adalah sah adanya. “Perjuanga mereka adalah melawan kelas penguasa dan itu aku sangat setuju,”ujarnya.

Keinginan untuk lari dan bergabung dengan pihak republik, semakin kuat bersemayam dalam dadanya. Terutama ketika ia mengetahui Belanda akan melakukan aksi polisional untuk menghancurkan kesepakatan Linggarjati.

“Hal terberat bagiku adalah ketika memegang stengun yang ditujukan kepada saudara-saudaraku pemuda Indonesia…” tulis Piet dalam sebuah surat kepada sang ibu di negeri Belanda.

Kegelisahan Piet mencapai puncaknya. Lewat tengah malam, diam-diam ia lantas menyiapkan segala sesuatu untuk hengkang dari markas pasukannya. Termasuk menyiapkan secarik kain merah dan putih yang ia sambung dengan lem untuk menjadikan simbol bendera kaum republik.

TERTANGKAPNYA Piet di wilayah batas demarkasi, dilaporkan ke markas besar tentara republik di Yogyakarta. Segera muncul perintah dari sana untuk menyerahkan Piet ke Polisi Tentara (PT) pusat. Lima minggu setelah Piet menjadi “tawanan” di Yogyakarta, tank-tank Stuart Belanda kemudian memasuki wilayah republik dan menabalkan situasi bahwa Belanda sudah mengkhianati Perjanjian Linggarjati. Pepeperangan pun kemudian kembali ke titik awal.

Sementara itu, kabar tertawannya seorang serdadu Belanda yang berniat menyebrang ke pihak republik lantas menyeruak di kalangan para gerilyawan. Tak terkecuali terendus juga oleh para gerilyawan yang tergabung dalam Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI), sebuah organ perjuangan dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang berpusat di Madiun.

Entah bagaimana, kelompok gerilyawan yang dekat dengan para tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut lantas mengirim seseorang bernama Murijanto ke Yogyakarta. Tujuannya adalah meminta Yogyakarta melepaskan Piet sekaligus membiarkannya untuk bergabung dengan BKPRI. Sebuah permintaan yang mustahil dilakukan tanpa ada upaya konfirmasi identitas Piet sebelumnya dari tokoh-tokoh PKI ke Partai Komunis Belanda (CNP) atau sebaliknya.

Piet kemudian berhasil diboyong ke Madiun. Sesampai di sana, ia disambut bak pahlawan oleh anak-anak Pesindo. Sebagai teladan, para pimpinan sayap kiri secara bergilir mendapuk Piet untuk bercerita liku-liku kisahnya di hadapan para kadernya masing-masing. Singkatnya, Piet seolah menemukan habitatnya di Madiun.

“Ia menikmati kebersamaan dengan kawan-kawan kirinya di BKPRI dan perlakuan terhadapnya sangat diistimewakan. Itu terbukti dengan ditempatkannya Piet serumah dengan para pemimpin PKI seperti Amir Syarifuddin, Moeso dan Soeripno,” tulis Martijn Blekendaal dalam Indië-Ganger in Gewetensnood.

BKPRI lantas menempatkan Piet di bagian agitasi propaganda. Dalam keseharian, ia memimpin siaran radio bernama Gelora Pemuda (kemudian berganti nama menjadi Radio Front Nasional) khusus untuk program luar negeri. Ia pun menjadi andalan kaum kiri Indonesia untuk mempromosikan secara internasional pandangan-pandangan politik mereka.

“Selain menjadi penyiar, ia pun menulis pamflet-pamflet politik mengatasnamakan dirinya dalam nama samaran: Peter Volkland, Komandan Brigade Internasional Batalion Zevenprovinciën…”ungkap Martin Blekendaal.

Zevenprovinciën adalah nama sebuah kapal perang legendaris milik Angkatan Laut Belanda yang pernah dibajak awaknya di perairan Sumatera pada 1933. Pemberontakan massif ini bukan saja didukung oleh para marinir dan kelasi bumiputera tapi juga melibatkan kalangan Belanda totok dan Indo yang dicurigai berafiliasi ke serikat buruh sayap kiri.

Saat menyampaikan agitasi propagandanya, Piet sering tanpa ampun mengkritik haluan politik Belanda di Indonesia. Akibatnya beberapa kali Radio Gelora Pemuda mendapat teguran dari pemerintah pusat di Yogyakarta karena dianggap dapat menghancurkan perundingan diplomasi yang tengah dirancang kembali oleh kedua belah pihak.

Untuk menegaskan “keindonesiannya”, pada November 1947, Piet diantar oleh Murijanto mengajukan permintaan untuk diterima sebagai warga negara Republik Indonesia. Tak menunggu waktu lama, permintaan tersebut langsung diluluskan oleh Menteri Kehakiman RI yang saat itu dipegang oleh Mr. Susanto Tirtoprodjo. Sejak itulah Piet lantas mengganti namanya menjadi lebih Jawa: Pitojo Koesoemo Widjojo.

19 SEPTEMBER 1948. Tepat pukul 02.00, satu letusan pistol tiba-tiba memecah keheningan malam di Madiun. Tembakan pistol yang merupakan tanda komando awal kemudian disusul oleh rentetan suara yang keluar dari berbagai jenis senjata. Dari berbagai lorong jalan dan pelosok kota, bermunculan para pemuda berpakaian serba hitam dengan syal merah di lehernya dan langsung merangsek ke beberapa instalasi militer milik pemerintah: markas Corps Polisi Miiter, Markas Staf Pertahanan Jawa Timur dan tangsi polisi.

“Dalam waktu beberapa jam saja, Madiun berhasil dijatuhkan oleh sebuah kudeta militer dari kelompok yang menamakan diri sebagai Pemerintah Front Nasional…”tulis Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Sejarah mencatat dari Madiun golongan sayap kiri coba membangun sebuah basis perjuangan untuk melawan apa yang disebut oleh mereka sebagai pemerintah fasis dan kolaborator Hatta yang merupakan musuh kaum buruh dan kaum tani nasional. Lewat Radio Front Nasional, Moeso dalam pidatonya pada hari itu menyatakan bahwa peristiwa Madiun merupakan “…sinyal rakyat untuk merebut kekuasaan negara dalam tangannya sendiri…”

Seruan Moeso lantas dijawab oleh pemerintah Hatta dengan mengirimkan pasukan penggempur ke Madiun. Kendati pada mulanya, Pemerintah Front Nasional yang didukung oleh unsur-unsur PKI, Partai Buruh, Pesindo, SOBSI dan kesatuan-kesatuan tentara dari Divisi Panembahan Senopati bisa mengimbangi gempuran tersebut, namun lambat laun kekuatan mereka cerai berai. Itu disebabkan selain miskinnya koordinasi di antara pasukan, juga di kalangan kekuatan politik sayap kiri nasional tak ada kata seiring sejalan.

“Yang lebih tragis lagi adalah pernyataan PKI Bojonegoro, Sumatera dan Banten yang menyatakan tetap setia kepada pemerintahan Soekarno-Hatta,”ungkap Soe Hok Gie.

Begitu pasukan sayap kiri dipukul mundur oleh kekuatan militer pemerintah di bawah pimpinan Divisi Siliwangi pada Oktober 1948, sebagian dari mereka tercecer dan menjadi tawanan di Madiun. Salah satu tokoh sayap kiri yang tertawan itu adalah Pitojo. Namun beberapa waktu kemudian tanpa alasan yang jelas, Pitojo dilepas. Ia kemudian menggabungkan diri dengan sisa-sisa kekuatan sayap kiri di Pacitan, sebelah barat selatan Madiun.

Hampir setahun lamanya Pitojo turun naik gunung dan berjuang di hutan-hutan sekitar Pacitan dan Gunung Lawu. Sebagai tenaga palang merah, ia banyak menolong puluhan bahkan mungkin ratusan gerilyawan yang menjadi korban tembakan rekan-rekan sebangsanya. Hingga tibalah hari gencatan senjata pada Agustus 1949.

Sesuai kesepakatan antar kedua belah pihak, maka pada September 1949 para gerilyawan turun gunung dan bergerak kembali ke kota. Begitu juga yang berlaku pada pasukan yang ditempati Pitojo mereka memutuskan untuk keluar dari gunung dan turun ke Solo. Pada saat proses turun gunung inilah sebuah kejadian licik dan mengecewakan terjadi pada diri Pitojo.

Saat itu Pitojo tengah berjalan memasuki Solo, ketika dua perwira TNI mengendarai jip berbendera PBB mendekatinya. Mereka lantas menanyakan identitas dan memerintahkan Pitojo untuk naik ke atas jip. Alasannya ia akan dipertemukan dengan para petugas dari UNCI ( Komisi PBB untuk Indonesia). Tanpa curiga, Pitojo menuruti perintah tersebut dan bergeraklah jip tersebut ke dalam kota.

Pitojo baru merasa curiga ketika di tengah jalan, jip yang mereka tumpangi berhenti tiba-tiba. Tak lama kemudian munculah dua polisi militer Belanda dengan masing-masing sepucuk pistol di tangan mereka dan langsung meringkusnya. Rupanya militer Belanda tak pernah lupa terhadap “pengkhianatan” salah seorang mantan anggotanya dan dengan memanfaatkan “jasa” dua perwira Indonesia tersebut, mereka berhasil mendapatkan buronannya secara mudah.

“Ia ditukar oleh kedua perwira Indonesia itu dengan dua ekor kambing dari polisi militer Belanda…”ungkap JC. Princen seperti yang dituturkan kepada Joyce van Fenema dalam Een Kwestie van Kiezen.

Selama ditahan oleh rekan-rekan sebangsanya, Pitojo kerap mengalami siksaan dan hinaan. Dalam sebuah interogasi, bahkan kaca matanya pecah akibat pukulan seorang serdadu ke mukanya. Dari Solo ia kemudian dibawa ke Jakarta dengan menggunakan kendaraan lapis baja. Setelah “dimainkan” oleh polisi-polisi militer Belanda di Jakarta, pada Januari 1950, ia dikirim ke Belanda.

Usai meringkuk selama tiga bulan di penjara militer Belanda, ia lantas diadilii mahkamah militer di Velde. Ketika jaksa penuntut umum menanyakakan kenapa ia melakukan desersi dan tega menjadi pengkhianat bagi bangsanya, dengan gagah berani, Pitojo menjawab: “Saya tidak mau ambil bagian dalam aksi militer untuk melawan Republik dan rakyat Indonesia…” Sebuah jawaban yang kemudian mengantarkannya kembali ke balik jeruji besi selama 8 tahun.(hendijo)

Diposkan samuel.tirta

  Garuda Militer  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.