Selasa, 25 November 2014

Siapa Sebenarnya 'Manusia Perahu'?

Foto: Ilustrasi

Teka-teki siapa 'manusia perahu' yang ditangkap di Perairan Derawan, Kalimantan Timur, akhirnya terjawab. Wakil Bupati Berau Ahmad Rivai menjelaskan 'manusia perahu' adalah warga tak beridentitas yang berasal dari Pulau Semporna Sabah, Malaysia.

"Ada yang bilang manusia perahu, nelayan asing, sekarang ini belum bisa identifikasi pengertiannya apa. Yang jelas kami anggap orang-orang dari Filipina dan Malaysia yang selama ini di laut dan merapat di Laut Berau," kata Rivai saat ditemui di kantor pusat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (24/11/2014).

Namun, diakui Rivai bukan berarti 'manusia perahu' yang berasal dari Pulau Semporna otomatis adalah warga Malaysia. Justru aparat setempat menemukan fakta di lapangan, fisik 'manusia perahu' mirip dengan orang Filipina dan berbahasa Tagalog.

"Faktanya mereka ini adalah nelayan asing dari luar. Identitas belum bisa teridentifikasi karena tidak punya kartu identitas. Dari bahasa Filipina, menetapnya di Pulau Malaysia di Semporna atau di daerah Derawan," paparnya.

Dijelaskan Rivai, proses masuknya 'manusia perahu' sudah mulai tampak sejak 2010 lalu. Bahkan saat itu, pemerintah Kabupaten Berau telah menangkap 153 'manusia perahu'.

Rivai menambahkan, di tempatnya Pulau Semporna, 'manusia perahu' juga terusir oleh Kepolisian Malaysia. Dengan alasan ingin dikembangkan sebagai resor pariwisata di Pulau Semporna, akhirnya 'manusia perahu' menyingkir hingga masuk ke perairan Derawan.

Rivai menegaskan konsep 'manusia perahu' di sini bukanlah warga negara yang meminta suaka atau perlindungan dari negara lain. Ini murni nelayan asing yang menangkap ikan di laut Indonesia.

"Mereka ini dikatakan manusia perahu. Tetapi faktanya mereka ini adalah nelayan asing," katanya.
'Manusia Perahu' Tangkap Ikan di Laut Indonesia, Jual ke Malaysia Para 'manusia perahu' alias nelayan asing tanpa identitas yang masuk ke perairan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, biasa menangkap ikan secara ilegal. Hasil tangkapan itu kemudian dijual ke negara terdekat, yaitu Malaysia.

"Mereka ini tidak tahu hukum dan mereka hidup di laut. Mereka ini juga tangkap ikan lumba-lumba dan ikan pari kecil lalu mereka jual ke Malaysia karena harganya mahal. Ini kan jelek," ungkap Wakil Bupati Berau Ahmad Rivai saat ditemui di kantor pusat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (24/11/2014).

Selain menangkap ikan secara ilegal, lanjut Rivai, 'manusia perahu' juga kerap merusak terumbu karang di Perairan Derawan. Dia mengungkapkan potensi perikanan di perairan Derawan memang cukup besar. Di tempat itu banyak dijumpai berbagai jenis ikan dari ukuran kecil hingga besar salah satunya adalah kumpulan kelompok tuna dan ikan pari manta (Manta Spp).

"Luas lautnya 12.000 km persegi, potensi lautnya sangat besar. Spesies ikan tunanya juga cukup banyak. Tidak hanya tuna, di sana juga banyak ikan pari manta," jelasnya.

Rivai mengakui potensi sektor kelautan Derawan belum dieksploitasi secara luas oleh nelayan lokal. Hal ini juga dibuktikan dengan rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor kelautan. Selama ini, pendapatan tertinggi Kabupaten Berau datang dari pertambangan batu bara dan pariwisata.

"Potensi kelautan kita belum tergarap oleh nelayan tradisional. Nelayan asing lebih pintar cari ikan dibandingkan nelayan kita. Pendapatan utama kita masih didominasi dari batu bara," paparnya.
Tangkap dan Rawat 526 'Manusia Perahu', Pemda Sudah Gelontorkan Rp 150 Juta Menangkap dan menahan 526 'manusia perahu' alias nelayan asing yang melakukan illegal fishing di perairan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, membutuhkan biaya. Sejak proses pengejaran dengan menggunakan speedboat hingga menampung mereka di Tanjung Batu selama 8 hari, pemerintah Berau telah menggelontorkan dana Rp 150 juta.

"Angka sudah Rp 100 juta, mungkin Rp 150 juta dari mobilisasi (pengerahan) speedboat yang disewa ada tagihan masuk ke saya Rp 65 juta. BBM (Bahan Bakar Minyak) kan mahal," kata Wakil Bupati Berau Ahmad Rivai saat ditemui di kantor pusat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (24/11/2014).

Selain bahan bakar, lanjut Rivai, alokasi penggelontoran dana Rp 150 juta digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari 526 'manusia perahu' yang ditampung di Tanjung Batu, seperti makan 3 kali sehari. Tidak hanya itu, bentuk operasional lain seperti pembayaran aparat keamanan, petugas kesehatan, dan dinas sosial menjadi tanggung jawab Pemda.

"Kemudian aparat petugas honor dan makanannya ada di cash bank. Yang masyarakat ibu-ibu yang bantu di dapur umum juga kita berikan," katanya.

Dari 526 'manusia perahu' yang ditangkap, separuhnya adalah anak-anak. Kemudian 128 adalah perempuan dewasa sisanya adalah laki-laki dewasa. Dengan jumlah tanggungan yang cukup besar, Rivai meminta perhatian lebih dari Pemerintah Pusat.

"Sampai kapan? Kita tidak tahan ini. Mereka mandi kita siapkan, baju kita beri, tenaga medis kita sudah berikan semua sudah kita layani mereka. Mudah-mudahan besok ada solusinya," tegas Rivai.
'Manusia Perahu' Disebut Tak Berniat Ambil Alih Pulau di RI Pemerintah daerah Berau memastikan tidak ada niat 'manusia perahu' asal Malaysia dan Filipina merebut pulau terluar Indonesia. Hal ini sekaligus menepis ketakutan Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo yang khawatir kejadian lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terulang.

"Indikasi itu tidak ada. Ini murni mereka orang-orang yang hidupnya tidak menentu dan terdesak," ungkap Wakil Bupati Berau Ahmad Rivai saat ditemui di kantor pusat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Senin (24/11/2014).

Rivai mengatakan meskipun 'manusia perahu' tergolong nelayan asing yang menangkap ikan secara ilegal di laut Indonesia, tetapi keberadaannya murni karena desakan hidup. Diperkirakan 'manusia perahu' berasal dari Filipina yang menetap di Pulau Semporna Sabah, Malaysia. Karena desakan aparat kepolisian Malaysia, 'manusia perahu' akhirnya menyingkir hingga lautan Indonesia.

"Mereka ini orang tersudut dan akhirnya masuk ke Malaysia. Tapi di Malaysia sedang gencar sektor pariwisata akhirnya diusir mereka ini, terdesaklah mereka dan hanyut masuk ke wilayah kita. Mereka ini tidak punya warga negara, bahasanya Tagalog. Mereka bilang dari Pulau Semporna," paparnya.

Oleh karena itu, tambah Rivai, harus ada penyelesaian kongkret untuk menyelesaikan masalah 'manusia perahu' yang melibatkan 3 negara sekaligus yaitu Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Karena tidak punya hubungan budaya maupun kesamaan fisik, ratusan 'manusia perahu' mau tidak mau harus dideportasi dari Indonesia.

"Saya minta di dalam rapat tadi, saya minta mereka ini didorong ke perbatasan negara antara Indonesia dan Malaysia. Kemudian ada tindak lanjut dari TNI AL untuk menjaga wilayah kita jangan sampai mereka datang lagi," jelasnya.(wij/hds)

  detik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.