Kamis, 18 Desember 2014

Indonesia Kekurangan 83.000 Pelaut

Kurang Pelaut – Pelaut Indonesia termasuk kedalam lima pelaut yang paling diminati perusahaan pelayaran dan perikanan di Eropa dan Asia Pasifik setelah Filipina. Tercatat sedikitnya 250.000 pelaut Indonesia bekerja di perusahaan luar negeri. | Foto: maritimeworld.web.id

S
ebagai negara kepulauan dan negara bahari, Indonesia justru mengalami defisit pelaut. Menurut data Badan Pengembangan SDM (BPSDM) Kementerian perhubungan (Kemenhub), industri maritim nasional masih membutuhkan 83.000 pelaut mulai dari jenjang nakhoda/kapten kapal, perwira/mualim, sampai ABK.

Adapun suplai dari jalur pendidikan kelautan/pelayaran hanya 1.700 dari sekolah negeri/ swasta setahun, sementara kebutuhan per tahun 16.000 orang.

Menurut Dirjen Perhubungan Laut, Kemenhub, Bobby Mamahit, selain masih kurangnya jumlah lembaga pendidikan pelaut di Indonesia, defisit tenaga pelaut juga disebabkan oleh kecenderungan pelaut Indonesia yang lebih memilih bekerja di luar negeri ketimbang domestik. Faktor gaji adalah alasan utama pelaut Indonesia lebih memilih bekerja di luar.

“Di sejumlah negara maju seperti Korea dan Jepang sudah tidak ada lagi orang yang berminat menjadi pelaut karena kehidupan dan gaji mereka di darat sudah sangat layak. Hal ini membuat pelaut Indonesia lebih memilih bekerja di luar negeri karena alasan gaji yang lebih besar,” ujar Bobby kepada JMOL.

Pelaut Indonesia termasuk kedalam lima pelaut yang paling diminati perusahaan pelayaran dan perikanan di Eropa dan Asia Pasifik setelah Filipina. Tercatat sedikitnya 250.000 pelaut Indonesia bekerja di perusahaan luar negeri.

“Ini tentu menguntungkan pemerintah karena menjadi penyumbang devisa terbesar. Pokonya devisa mereka bisa sampai triliunan rupiah per tahun,” tukas Dirjen Hubla.

Sejumlah hal yang menyebabkan pelaut Indonesia sangat diminati di luar negeri, kata Bobby, adalah upah mereka yang cukup murah dibandingkan dengan pelaut luar negeri, individu yang loyal terhadap majikan, terakhir banyak pelaut Indonesia yang tidak suka minuman keras.

“Berbeda dengan pelaut asing yang bayarannya jauh lebih mahal dan suka mabuk,” ujarnya.

 Tidak Sesuai Standar Internasional 


Bobby mengakui, kualitas SDM maritim di Indonesia memang perlu ditingkatkan. Apalagi saat ini, banyak sekolah-sekolah pelayaran swasta yang tidak memenuhi standar organisasi maritim internasional (IMO). Saat ini hanya sekitar 20 sekolah tinggi pelayaran saja yang sesuai standar.

“Sementara masih ada ratusan sekolah pelayaran swasta yang di bawah standar. Hasil audit IMO tahun lalu telah memaksa sejumlah sekolah pelayaran gulung tikar,” papar Bobby.

Ketidaksesuaian standar tersebut, jelas Bobby, umumnya seperti tidak adanya alat-alat praktik pelayaran. Sejumlah sekolah pelayaran yang tidak memiliki alat praktik lengkap karena harga alat tersebut mahal.

“Seperti simulator kapal harganya bisa mencapai Rp 44 miliar,” ungkapnya.

Saat ini, terdapat beberapa Sekolah Tinggi Pelayaran di bawah kemenhub diantaranya STIP Jakarta, PIP Makasar, PIP Semarang, serta Politeknik di Surabaya. Diluar itu, BPSDM kemenhub juga sedang membangun sejumlah sekolah pelayaran baru yang berlokasi di Aceh, Sorong (Papua), Minahasa Selatan (Sulawesi Selatan), dan Padang Pariaman (Sumatra Barat).

  JMOL  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.