Minggu, 28 Desember 2014

Jalan Pedang Seorang Pembelot

Kisah para prajurit asing yang mengabdikan diri untuk republik. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOuU_Jor3rEW3qTCix1zg7N3-6jclew_q6bXYveIHvogZEog9MbN2du6Pts1dUdkpwrD3DNffDon41eWW21Yg9UQ5vKSreDSGpe_j0VxlNRhuWt4PLchCZ0fpbKoUQLDE-IseP9OpboVk/s1600/6011941_20141212095525.jpgWatanabe, seorang prajurit Jepang yang membelot ke kubu republik saat ditangkap oleh Yon Andjing NICA di Magelang.(foto:gahetna.nl)

LETNAN (Purn) Odoy Soedarja mengenang nama lelaki Jepang itu sebagai Saman. Ia berperawakan kurus, dengan ukuran tubuh yang tak terlalu tinggi. Selain matanya yang sipit, kulit kuningnya pun menjadi penegas kejepangannya. Odoy mengenal Saman, kala mereka sama-sama sebagai petarung dari Divisi Siliwangi di Sumedang antara tahun1948-1949. "Saya mengenalnya sebagai seorang sersan di Bataliyon 11 April pimpinan Kapten Amir Machmud. Gerak-geriknya sangat gesit sebagai seorang tentara" ungkapnya kepada saya beberapa waktu lalu.

Lantas di manakah keberadaan Saman hari ini? Odoy hanya menggelengkan kepala. Terakhir ia ngobrol dengan Saman di Cimalaka, Sumedang sekitar tahun 1970-an, saat seorang saudaranya bernama Soerawidjaja menikahkan salah satu puteranya dengan putri Saman. Namun menurut jurnalis Sumedang Deddi Rustandi, sudah lama Saman tak ada lagi di kota tahu tersebut. "Tahun 1980-an, ia dijemput keluarganya dari Jepang dan seterusnya tinggal di sana, entah sudah meninggal atau masih hidup saya tidak tahu," ujar Deddi.

 Serdadu Jepang yang Tinggal 

Saman bukan satu-satunya tentara Jepang yang memilih bergabung dengan para petarung republik pasca kekalahan negaranya dalam Perang Dunia II. Menurut Profesor Aiko Kurasawa, ada sekitar 1000-an prajurit Jepang yang bahu membahu angkat senjata melawan militer Belanda antara 1946-1949. "Salah seorang mahasiswa saya pernah meneliti soal ini," kata indonesianis asal Jepang tersebut.

Hayashi Eiichi adalah nama mahasiswa yang disebut-sebut Aiko tersebut. Dalam sebuah bukunya: ZanryuuNihon Hei no Shinjitsu atau Cerita Para Tentara Jepang yang Tetap Tinggal, Hayashi menyebut sesungguhnya masyarakat Jepang mafhum akan keberadaan para pembelot itu “Di Jepang sendiri, mereka dikenal dengan istilah zanryu nihon hei (serdadu Jepang yang tetap tinggal).” tulis Hayashi.

Secara resmi, tulis Hayashi, Yayasan Warga Pesahabatan (sebuah yayasan di Jakarta yang mengkoordinasi para mantan pejuang Indonesia asal Jepang dan keturunannya) melansir sebanyak 903 orang mantan tentara Jepang yang ikut terlibat dalam perang kemerdekaan Indonesia; 243 orang (27%) gugur dalam perang, 288 (32%) hilang dalam perjuangan melawan Belanda, 45 orang (5%) kembali ke Jepang usai Perang Kemerdekaan, dan 324 (36%) memilih menjadi WNI (Warga Negara Indonesia).

Shigeru Ono (95), adalah salah satu pejuang Indonesia asal Jepang yang masih ada sampai beberapa bulan lalu. Tepat pada 25 Agustus 2014, Ono meninggal akibat penyakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah. Semasa menjadi pejuang, selain ikut bergerilya dari palagan ke palagan, Ono juga tercatat ikut terlibat dalam pembuatan buku petunjuk khusus taktik perang gerilya bersama "Bapak Intel Indonesia" almarhum Kolonel Zulkifli Lubis.

Banyak alasan yang membuat para desersi itu tak mau menyerah kepada pihak Sekutu. Selain kata "menyerah" tak ada dalam kamus mereka sebagai keturunan kaum samurai, rata-rata mereka melihat jasa orang-orang Indonesia kepada mereka kala memerangi pihak Sekutu. “Indonesia sudah banyak membantu Jepang. Kami ingin memberikan yang tidak bisa dilakukan oleh negara kami,” ujar Ono dalam Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi.

 Solidaritas Sesama Bangsa Asia 

Berbeda dengan para tentara Jepang, orang-orang India / Pakistan yang tergabung dalam BIA (British India Army) lebih memiliki alasan khusus. Mereka meniti jalan pedang sebagai pembelot karena selain terdorong semangat solidaritas sebagai sesama bangsa Asia juga karena faktor agama. Bukan rahasia lagi jika ribuan anggota BIA yang tergabung dalam militer Inggris sebagian besar adalah penganut Islam, agama yang juga dianut oleh mayoritas orang Indonesia.

Almarhum Letjen (Purn) Z.A. Maulani (mantan Kabakin) pernah berkisah tentang pertemuannya dengan sekelompok satuan pengaman (satpam) Kedutaan Besar Republik Indonesia di Pakistan pada 1970-an. Sang jenderal (saat itu masih berpangkat mayor) kaget, saat menerima penghormatan "Jaga berjajar", ia menyaksikan di dada semua satpam berkebangsaan Pakistan itu tersemat Bintang Gerilya yang biasa dianugerahkan oleh pemerintah Indonesia kepada para veteran pejuang RI.

"Ternyata mereka adalah mantan anggota TNI yang usai Perang Kemerdekaan memilih pulang ke Pakistan," ujar Maulani.

Menurut peneliti sejarah pasukan BIA di Indonesia, Firdaus Syam dan Zahir Khan, ada sekitar 600 prajurit Inggris asal India/Pakistan yang membelot ke kubu kaum republik. Mereka tersebar bukan saja di kota-kota besar pulau Jawa namun juga tersebar di wilayah-wilayah Sumatera. "Sumatera Utara khususnya Medan merupakan basis terbesar para pembelot tersebut bahkan mereka sempat membuat suatu pasukan khusus terdiri dari kalangan mereka guna melawan militer Belanda disana," tulis Firdaus Syam dan Zahir Khan dalam Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

 Membelot karena Kemanusiaan 

Dari kubu militer Belanda sendiri, pembelotan bukannya tidak terjadi. Kendati jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pembelotan yang dilakukan oleh tentara Jepang dan tentara Inggris asal India/Pakistan, namun efek politiknya lebih terasa menohok pihak Belanda, karena musuh yang dilawan oleh mereka tak lain adalah negara mereka sendiri. "Jumlah kami memang hanya 26 orang, tapi secara psikologis kami memiliki beban yang berat, karena yang dihadapi oleh kami adalah saudara-saudara sebangsa," ujar almarhum HJC. Princen, salah satu pembelot Belanda terkemuka di Indonesia.

Namun dilihat dari sisi moral, pembelotan yang dilakukan oleh para bule itu sesungguhnya memiliki pijakan kuat. Hampir sebagian besar dari 26 pembelot Belanda itu mengakui bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya dipengaruhi oleh sepak terjang militer mereka yang sudah keluar dari jalur-jalur kemanusiaan. Seperti yang dialami Henk Sterkenburg misalnya (menurut Princen terakhir ia tinggal di Cibadak dan menjadi ustadz, Henk memberi alasan "penyeberangannya", masuk ke TNI, karena antara lain melihat kejadian di Bondowoso.

"Puluhan orang mati karena militer Belanda waktu itu. Mereka menjatuhkan mayat-mayat dari kereta api. Militer Belanda menghabisi tahanan di jalan sebelum tiba di penjara," ungkap Henk dalam "Wij Komen Als Vrienden", sebuah film dokumenter Belanda yang dibuat pada 1984.

Selain Henk Sterkenburg dan HJC. Princen, masih ada kisah-kisah pembelot Belanda lainnya. Seperti Lught, Martin Eijkenboom dan Piet van Staveren alias Pitojo KoesoemoWidjojo. Khusus untuk kasus pembelotan Piet, banyak orang mengkait-kaitkan namanya dengan upaya penyelusupan Partai Komunis Belanda ke tubuh TNI terkait Peristiwa Madiun 1948.

 Kisah Para Sedadu Jerman 

Orang-orang Jerman juga pernah terlibat dalam kecamuk Perang Kemerdekaan di Indonesia. Dalam Arca Domas - Ein Deutscher Soldatenfriedhofin Indonesien (yang edisi Indonesianya diberi judul "Sejarah dari Tugu Peringatan Pahlawan Jerman di Arca Domas, Indonesia” Antara 1942-1945), Herwig Zahorka menulis bahwa sebagai sekutu Dai Nippon, Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) menempatkan 42 kapal selam di perairan Indonesia. Mereka kerap terlibat dalam duel bawah laut dengan armada kapal selam Sekutu yang datang dari perairan Australia. Sebagai basis mereka menjadikan sebuah markas yang saat ini terletak di wilayah Pasar Senin, Jakarta Pusat. Sedangkan untuk peristirahatan para awak kapal selam yang sudah bertugas, mereka menyulap kawasan salah satu afdeling Perkebunan Teh Gunung Masyang terletak di Cikopo (masuk wilayah Puncak) menjadi sebuah tempat peristirahatan yang sangat nyaman. “Begitu pentingnya posisi Cikopo, hingga para prajurit Angkatan Laut Jerman menyebutnya sebagai “U-Boots-Weide” (padang rumput untuk kapal selam),” ujar Herwig Zahorka, sejarawan militer Jerman di Indonesia yang saat ini berdomisili di Bogor.

14 Agustus 1945, Jepang kalah. Kekalahan ini menjadikan 260 marinir Jerman sebagai tawanan Tentara Inggris yang datang kemudian ke Jawa. Soal tawanan ini kemudian diserahkan Inggris kepada Belanda. Maka untuk lebih memudahkan pengawasan, ratusan anggota AL Jerman tersebut dibuang ke Onrust, sebuah pulau bekas galangan kapal VOC dan karantina para penderita kusta di era Hindia Belanda.

Di Onrust, para tawanan perang ini mendapat perlakuan yang sangat buruk dari Belanda. Begitu buruknya, sehingga banyak orang-orang Jerman yang mati dimakan penyakit demam berdarah, malaria dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup, bertahan dalam penderitaan. Banyak dari mereka yang coba melarikan diri dari "neraka" di kepulauan Seribu itu. Ada yang berhasil dan ada pula yang gagal dan ditembak mati seperti seorang prajurit AL Jerman bernama Freitag.

Menurut Zahorka, yang berhasil lari dari “neraka Onrust” tercatat ada 2 orang. Namanya Werner dan Losche, yang merupakan anggota Kriegsmarine dari U-219. Begitu lolos dan mendarat kembali di Pulau Jawa, konon kedua serdadu Jerman itu memutuskan bergabung dengan para gerilyawan Indonesia. Salah seorang dari mereka yakni Losche bahkan gugur akibat kecelakaan saat merakit sejenis alat pelontar api di sekitar wilayah Jakarta.

Dari Onrust, serdadu-serdadu Jerman itu lantas dipindahkan ke Penjara Glodok. Saat di Glodok ini terjadi sebuah kehebohan saat beberapa personil Kriegsmarine dari U-195 nekat kabur dan bermaksud menggabungkan diri dengan para gerilyawan Indonesia. Sayang usaha itu gagal. Mereka pada akhirnya tertangkap kembali di Pasar Pesing, Jakarta pada 1946. Usai kejadian itu Belanda memutuskan memindahkan mereka ke Penjara Malang hingga sampai 1948 ketika PBB memerintahkan Belanda untuk memulangkan para tawanan perang itu kenegerinya.

Perang Kemerdekaan Indonesia pun mencatat nama seorang serdadu bule Inggris yang bergabung dengan kaum republik di Sumatera Utara dan Aceh. Namanya John Edward. "Setelah masuk Islam, ia dikenal oleh para pejuang kita sebagai Abdullah Inggris, ujar Muhammad TWH, seorang wartawan senior di Medan.

Ada juga juga dua serdadu bule asal Inggris dan Australia yang nyaris berdiri di belakang republik. Dalam Revolusi di Nusa Damai, Muriel Stuart Walker alias Ketut Tantri menyebut-nyebut soal seorang tawanan perang Sekutu dari Resimen West Yorkshire dan seorang penerbang RAF (Royal Air Force) yang memohon untuk bergabung dengan pihak republik. Namun karena alasan politis, permohonan itu ditolak oleh Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifoeddin. (hendijo)[Diposkan samuel tirta]

Dalam bentuk tulisan yang sudah diedit, artikel ini pernah dimuat di rubrik Teropong, Pikiran Rakyat, 20 Oktober 2014

  Garuda Militer  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.