Rabu, 31 Desember 2014

Kisah Pilot yang Terjebak Awan Badai Saat Bawa Pesawat Tempur

http://images.cnnindonesia.com/visual/2014/12/30/c9366557-d479-433b-bbec-03981ef812e7_169.jpg?w=650 Pencarian pesawat AirAsia QZ8501. (Antara/Eric Ireng)

Kumulonimbus atau Cb begitu akrab di telinga masyarakat beberapa hari terakhir menyusul tragedi pesawat AirAsia QZ8501 yang hilang selama tiga hari sebelum serpihannya ditemukan tersebar di Selat Karimata, Selasa (30/12). Kumulonimbus disebut sebagai sebagai awan badai berbahaya yang harus dihindari pesawat.

Kumulonimbus diduga membuat QZ8501 yang membawa 155 penumpang dan tujuh awak itu celaka setelah terjebak di dalamnya. Seberapa besar sesungguhnya pengaruh kumulonimbus bagi penerbangan? Mukhamad Sofii yang saat ini menjadi pilot untuk maskapai Kalstar Air, berbagi kisahnya bertemu si awan badai.

"Saya membawa pesawat tempur dalam formasi saat itu, dan hanya pesawat saya yang terjebak awan kumulonimbus," kata Sofii kepada CNN Indonesia saat ditemui di kediaman Pilot Irianto di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menjadi kapten pesawat nahas QZ8501, Selasa (29/12).

"Saya langsung terlempar ke ketinggian 4.000 meter di atas formasi. Kendali otomatis tak bisa berfungsi," ujar Sofii yang dahulu menjadi pilot jet tempur.

Pria yang juga teman kerja Irianto ini merasa sangat beruntung bisa selamat. "Efek kumulonimbus dahsyat. Semakin ke atas, dampaknya semakin kuat, apalagi kalau awannya besar," kata Sofii.

Selanjutnya ketika menjadi pilot pesawat komersial jenis Boeing, Sofii kembali harus berhadapan dengan kumulonimbus dan terpaksa masuk ke awan itu. "Tapi saat itu pesawat sudah mau mendarat, sudah di bawah. Jadi sudah agak ringan karena awan sudah menjadi hujan," kata dia.

Menurut pria bertubuh tegap ini, kumulonimbus memang berbahaya bagi penerbangan. Sebisa mungkin, hindari awan itu. "Terlebih kalau lihat di radar soal QZ8501, awannya nge-block. Awan itu bisa membuat pesawat terlempar ke atas atau ke bawah," kata Sofii.

Sebelumnya, kisah memasuki kumulonimbus juga dibeberkan oleh pilot Garuda Indonesia, Abdul Rozaq. Saat itu ia terjebak dalam awan badai dalam kondisi putus komunikasi dengan menara pemantau lalu-intas udara atau air traffic controller (ATC). Pesawat pun tak bisa bermanuver ke kanan atau ke kiri karena ada gunung menjulang. Akhirnya pesawat turun ketinggian dengan drastis, dan mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo.(pit/agk)

   CNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.