Jumat, 12 Desember 2014

[World] Berita Seputar Interogasi Sadis CIA

Banyak Negara Bantu AS Terkait Program Sadis CIA, Bagaimana Indonesia? Blackred/ Getty Images

Laporan Senat Amerika Serikat (AS) terkait aksi interogasi sadis CIA terus berkembang. Disinyalir banyak negara yang membantu AS untuk memuluskan program tersebut. Apakah Indonesia termasuk?

Beberapa media AS membuat laporan soal negara mana saja yang menjadi lokasi penjara rahasia CIA sebagai tempat penyiksaan. Ada juga negara yang kontribusinya sebatas mengekstradisi tahanan tanpa prosedur legal standar. Sebagian lagi mendukung dalam penyediaan informasi dan data.

Hufftington Post melansir, Rabu (10/12/2014), peristiwa penyiksaan tahanan ini terjadi di rentang waktu tahun 2002-2006. Nama-nama negara itu tidak muncul dalam laporan yang disampaikan Senat. Namun sejumlah sumber mulai membocorkannya kepada media.

Para jurnalis kemudian mencocokkan data itu dengan berbagai laporan sebelumnya mengenai kabar penjara rahasia yang disinyalir jadi lokasi penyiksaan. Hasilnya ditemukanlah beberapa negara yang membantu AS.

Sebagai imbalan, AS memberikan dana agar negara-negara itu 'bungkam'. Bahkan keberadaan program dan penjara itu tidak boleh disampaikan pada kedutaan AS sekalipun.

Washington Post kemudian membuat daftar negara-negara tersebut. Data mereka dapatkan dari organisasi non profit yang melakukan investigasi terkait hal tersebut seperti ACLU dan Open Society Justice Initiative. Indonesia ada dalam daftar negara yang ikut membantu pemberian informasi dan kemudahan ekstradisi saja. Tidak ada penjara atau fasilitas penyiksaan di Tanah Air.
Hambali Pernah Jadi 'Korban' Penyiksaan Interogasi di Penjara Rahasia CIA Ridwan Isamuddin alias Hambali, tokoh Al Qaeda yang berasal dari Cianjur, Jawa Barat, pernah ditahan selama tiga tahun di tempat rahasia sebelum dibawa ke Guantanamo. Disebut-sebut, dia pernah menghuni penjara rahasia CIA di Yordania.

Berdasarkan dokumen pemberitaan detikcom pada tahun 2003-2004, Kementerian Luar Negeri Indonesia kala itu sudah mendengar kabar bahwa Hambali ditahan di Yordania. Saat itu, Juru bicara Kemlu Marty Natalegawa memastikan akan menelusuri kabar tersebut.

"Masalah besar yang belum dipenuihi oleh pihak AS adalah akses bagi kita sendiri dan bahkan untuk memberikan yang bersangkutan kepada Indonesia," kata Marty.

Berita yang beredar saat itu, Hambali termasuk dari 14 anggota senior Al Qaeda yang dibawa Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat ke penjara rahasia Yordania. Mereka ditahan di sana agar para pemeriksa bisa mengorek keterangan dengan metode interogasi yang menggunakan cara-cara kekerasan, yang dilarang diterapkan di penjara AS.

Informasi mengenai penahanan tokoh-tokoh top Al Qaeda ini diungkapkan oleh harian Israel, Haaretz, Rabu (13/10/2004) lalu. Harian ini mengutip sumber-sumber intelijen. Kabar ini semakin terkonfirmasi setelah kini laporan senat AS menguak praktik penyiksaan tahanan tersebut.

Presiden AS George W Bush pernah mengakui keberadaan penjara rahasia CIA di sejumlah negara. Bahkan Eropa bereaksi keras atas masalah ini. Dia juga mengakui selama tiga tahun ini Hambali ditahan di penjara tersebut. Namun pada tahun 2006, Hambali dan tersangka teroris kelas kakap lainnya telah dipindahkan ke penjara Guantanamo di Kuba.

Selain Hambali, 14 tersangka terorisme itu adalah Khalid Sheikh Mohammed alias Mukhtar, Abu Zubaydah, Ramzi bin al-Shibh, Mustafa Ahmad al-Hawsawi, Lillie alias Mohammed Nazir Bin Lep, Walid bin Attash alias Khallad, Majid Khan, Abd al-Rahim al-Nashiri, Abu Faraj al-Libi, Zubair, Ahmed Khalfan Ghailani, Gouled Hassan Dourad, dan Ali Abd al-Aziz Ali. Khalid Sheikh Mohammed merupakan arsitek serangan teroris 11 September 2001 lalu.

Sementara Hambali, pernah dilukiskan Bush sebagai tokoh Al Qaeda yang menjadi sahabat dekat Khalid Sheikh Mohammed. Hambali pernah disebut Bush sebagai tersangka terorisme yang membahayakan dan mematikan. Hambali selama ini juga dikenal sebagai tokoh di balik kasus bom-bom di Indonesia. Hambali ditangkap aparat Thailand pada 15 Agustus 2003. Setelah ditangkap, Hambali yang warga Indonesia ini tidak diberikan kepada pemerintah Indonesia, tapi malah dibawa pemerintah AS.

Pemerintah Indonesia telah berupaya dan meminta izin agar aparat Indonesia bisa menemui Hambali untuk memeriksa. Namun, pemerintah AS selalu menolak memberikan akses kepada penyidik Indonesia untuk bertemu Hambali. AS hanya memberikan akses kepada penyidik Indonesia untuk memeriksa Hambali secara tertulis. Pemerintah AS juga menyembunyikan tempat penahanan Hambali. Karena itulah, selama ini tempat penahanan Hambali misterius. Dengan pernyataan Bush itu, maka selama 3 tahun ini, setelah dirinya ditangkap, Hambali yang asli Cianjur, Jawa Barat itu ternyata mendekam di tahanan rahasia CIA.

Sebenarnya, isu tahanan rahasia CIA di luar negeri ini pernah dibocorkan oleh harian the Washington Post bulan November tahun 2005. Tapi, pemerintah AS tidak pernah membenarkan atau pun menyangkalnya. Namun kini, lewat laporan Senat AS semuanya jadi terbuka.(mad/nrl)
CIA Gelontorkan Rp 987 M untuk Program Interogasi Sadis Era Bush Program interogasi sadis CIA disusun oleh perusahaan yang dijalankan dua psikolog mantan anggota Angkatan Udara Amerika Serikat. CIA menggelontorkan dana hingga US$ 80 juta (Rp 987 miliar) kepada perusahaan tersebut untuk menyusun program interogasi pada era Presiden George W Bush.

Dalam laporan Senat AS, seperti dilansir Reuters, Rabu (10/12/2014), disebutkan perusahaan itu yang merekomendasikan metode interogasi dengan waterboarding, penamparan dan mock burial terhadap tahanan terorisme. Padahal perusahaan tersebut sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam interogasi maupun pemberantasan terorisme.

Dua psikolog itu disebut dalam laporan Senat AS dengan nama samaran 'Dunbar' dan 'Swigert'. Namun sumber intelijen AS yang dikutip Reuters, mengidentifikasinya sebagai James Mitchell dan Bruce Jessen.

Lebih dari 80 persen program interogasi CIA diserahkan dengan sistem subkontrak kepada perusahaan bernama Mitchell Jessen & Associates of Spokane. Program ini berjalan dari tahun 2005 hingga diakhiri pada tahun 2009, saat AS dipimpin Presiden George W Bush.

CIA juga menggelontorkan dana sebesar US$ 1 juta kepada perusahaan tersebut, untuk melindunginya dan pegawainya dari kemungkinan gugatan hukum.

Laporan Senat AS mempertanyakan kualifikasi kedua psikolog tersebut dan menuding mereka melakukan pelanggaran kode etik profesional dalam menyusun dan merancang program interogasi sarat penyiksaan.

"Kedua psikolog tersebut tidak memiliki pengalaman apapun, baik sebagai interogator maupun juga tidak memiliki pengetahuan khusus soal Al-Qaeda, soal latar belakang pemberantasan terorisme, maupun pengalaman budaya atau linguistik yang relevan," demikian penggalan laporan Senat AS.

Contoh praktik interogasi sadis CIA disebut detail dalam laporan Senat. Salah satunya yang terjadi terhadap tahanan Abd al-Rahim al-Nashiri yang merupakan tersangka pengeboman kapal USS Cole di Aden tahun 2000 lalu.

Disebut bahwa di sebuah penjara rahasia pada awal tahun 2003 lalu, Nashiri berulang kali di-waterboarding (teknik interogasi yang mensimulasikan pengalaman tenggelam-red), lalu dipaksa berdiri dengan tangan di kepala selama berjam-jam sambil ditutup matanya saat diinterogasi. Tidak hanya itu, Nashiri juga diancam dengan bor listrik yang dinyalakan dan diarahkan ke kepalanya.

Parahnya, beberapa agen CIA yang terlibat interogasi ini akhirnya menyimpulkan bahwa Nashiri sama sekali tidak memiliki informasi penting soal rencana terorisme. Bahkan setelah itu, salah satu psikolog turun langsung dan mendesak Nashir agar menjalani metode keras lainnya demi membuatnya tak berdaya sehingga mau mengaku.

Ketua Komisi Intelijen Senat AS Dianne Feinstein menyebut, dua psikolog itu juga menilai kinerja mereka sendiri terkait program interogasi sadis CIA. Hal tersebut, lanjut Feinstein, jelas menjadi konflik kepentingan dan melanggar kode etik.

Mitchell dan Jessen memiliki pengalaman dalam program era Perang Dingin yang melatih tentara AS agar bisa bertahan menghadapi interogasi keras jika tertangkap musuh. Namun rupanya, dua psikolog ini merancang program interogasi dengan 'membalikkan' program militer bernama Survival Evasion Resistance Escape (SERE) yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Kecil Kemungkinan Praktik Interogasi Sadis CIA Berujung ke Pengadilan Praktik interogasi sadis CIA telah diungkapkan oleh Senat Amerika Serikat ke publik secara gamblang. Namun, tampaknya tidak ada kemungkinan persidangan bagi penyiksaan yang dilakukan CIA terhadap tahanan terorisme.

Departemen Kehakiman AS memiliki wewenang untuk mengadili dugaan pidana dalam praktik interogasi CIA yang banyak disebut melanggar HAM tersebut. Namun tampaknya tidak akan ada persidangan atas laporan Senat ini.

Seorang pejabat penegak hukum senior AS menyebutkan, Departemen Kehakiman AS tidak memiliki rencana untuk membuka kembali penyelidikan kriminal pasca Senat merilis laporan soal interogasi CIA yang sarat penyiksaan.

Penyelidikan kriminal yang dimaksud terkait dua kasus tewasnya tahanan CIA yang penyelidikannya ditutup pada tahun 2012 lalu, dan tidak ada dakwaan pidana yang dijeratkan. Demikian seperti dilansir Reuters, Rabu (10/12/2014).

Selama ini, CIA dan pendukungnya menentang adanya penyelidikan kriminal dan berargumen bahwa tindakan mereka mendapat izin secara hukum dari Departemen Kehakiman dan Gedung Putih era Presiden George W Bush.

Namun laporan Komisi Intelijen Senat setebal 500 halaman menyebutkan dengan detail praktik penyiksaan yang dilakukan CIA terhadap tahanan terorisme, serta menuding CIA berbohong kepada Gedung Putih, Kongres, dan publik.

Direktur Eksekutif American Civil Liberties Union, Anthony Romero menyebut laporan itu menjadi cetak biru bagi persidangan kasus penyiksaan oleh CIA. Menurut Romero, jika Presiden Barack Obama mengabulkan pengampunan formal bagi pemerintahan Bush, maka akan memberi sinyal bahwa pengadilan kasus penyiksaan bisa terjadi di masa mendatang.

"Baik Anda mengadili mereka yang melakukan penyiksaan atau mengabulkan pengampunan. Anda tidak bisa berpura-pura bahwa orang-orang yang melanggar hukum, bukanlah pelaku kriminal," sebutnya.

Dalam sejarah kehakiman AS, satu-satunya warga sipil yang pernah diadili terkait penyimpangan perlakuan CIA terhadap tahanan pasca tragedi 11 September ialah David Passaro, yang merupakan kontraktor CIA. Passaro divonis bersalah atas penyiksaan yang berujung kematian seorang tahanan Afghanistan pada tahun 2006 lalu.(nvc/ita)
Korut Desak PBB Tindak Tegas AS Atas Interogasi Sadis CIA Korea Utara (Korut) mengomentari laporan Senat Amerika Serikat soal interogasi sadis CIA. Korut mendorongk Dewan Keamanan PBB untuk mengecam dan mengambil tindakan tegas atas metode yang sarat penyiksaan tersebut.

Dalam komentarnya via kantor berita KCNA dan dilansir AFP, Rabu (10/12/2014), Korut menyebut pengungkapan tersebut menjadi ujian besar bagi kredibilitas DK PBB. Korut menyindir kecaman PBB terhadap pelanggaran HAM di negaranya, namun menutup mata bagi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara besar seperti AS.

"Penyiksaan tidak manusiawi dilakukan oleh CIA," ujar juru bicara Kemnterian Luar Negeri Korut.

"Jika (DK PBB) ingin membahas isu HAM, seharusnya ... menyinggung pelanggaran HAM yang merajalela di AS," imbuhnya sambil merujuk pada kekerasan polisi AS terhadap warga kulit hitam yang marak baru-baru ini.

Beberapa waktu lalu, Korut menolak penyelidikan PBB soal pelanggaran HAM di Korut dan mengecam resolusi untuk membawa negeri komunis itu ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Korut menyebut hal tersebut sengaja dikontrol oleh AS.

Dalam pernyataannya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut menyebut laporan PBB tersebut penuh dengan prasangka dan kebohongan, yang ujungnya hanya akan menjadi dasar pembenaran bagi AS untuk melakukan invasi militer ke Korut.(nvc/ita)
PBB: Tak Ada Kekebalan Hukum Bagi Penyiksaan oleh CIA Komisioner Tinggi HAM PBB mengomentari laporan Senat Amerika Serikat soal interogasi sadis CIA terhadap tahanan terorisme era Presiden George W Bush. PBB menegaskan tidak ada kekebalan hukum bagi setiap tindak penyiksaan, termasuk yang dilakukan CIA.

Konvensi terhadap Larangan Penyiksaan melarang adanya tindak penyiksaan dan tidak ada pengecualian bagi siapapun dan dalam keadaan apapun, bahkan bagi negara yang dilanda perang sekalipun.

Demikian disampaikan oleh Komisioner Tinggi HAM Zeid Ra'ad Al-Hussein dalam pernyataannya seperti dilansir Reuters, Kamis (11/12/2014).

"Konvensi tidak akan membiarkan siapapun lepas dari masalah -- tidak penyiksanya sendiri, maupun pembuat kebijakannya, maupun pejabat publik yang menentukan kebijakan atau yang memberikan perintah," ucap Hussein. Pakta Konvensi terhadap Larangan Penyiksaan tersebut telah diratifikasi oleh 156 negara di dunia.

Dalam laporannya, Senat AS menyebut CIA telah membohongi Gedung Putih dan publik soal program interogasi sarat penyiksaan terhadap tahanan terorisme pasca 11 September dan bertindak lebih brutal dari yang diakui. Laporan ini juga memicu seruan untuk mengadili pejabat AS yang terlibat dalam praktik interogasi sadis CIA.

"Mendapatkan konfirmasi jelas bahwa itu memang dipraktikkan -- sebagai persoalan kebijakan -- oleh negara seperti AS menjadi peringatan keras bahwa kita perlu melakukan lebih jauh untuk mengakhirinya di manapun," ucap Zeid.

"Ini menjadi jelas pada waktu yang baik. Khususnya saat periode meningkatnya terorisme internasional, ketika menunjukkan kecenderungan ini akan kembali dipraktikkan, penyamaran eufemisme, bahkan di negara yang jelas-jelas dilarang," imbuhnya.

Sementara itu di Brasil, komisi kebenaran nasional yang dibentuk tahun 2012 akan menyampaikan laporan mereka soal pidana, yang terjadi selama masa kepemimpinan diktator antara tahun 1964-1985 silam.

"Sementara dibutuhkan waktu untuk menganalisis secara penuh konten dari dua laporan bersejarah tersebut -- dan saya tidak ingin mendahului analisis tersebut -- kita masih bisa menarik kesimpulan tentang kegagalan memberantas kejahatan internasional serius, sehingga tidak seharusnya ada pengecualian dan kekebalan hukum," tandasnya.(nvc/ita)
Presiden Afghanistan akan Selidiki Praktik Penyiksaan CIA Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengaku terkejut mengetahui laporan Senat Amerika Serikat soal interogasi sadis CIA. Presiden Ghani bersumpah akan menyelidiki dugaan penyiksaan oleh CIA di penjara yang ada di wilayahnya.

"Laporan ini cukup mengejutkan. Ini melanggar seluruh norma HAM yang ada di dunia," sebut presiden Ghani dalam pernyataan resminya yang ditayangkan televisi setempat dan dilansir Reuters, Kamis (11/12/2014).

"Tidak ada pembenaran bagi tindakan dan penyiksaan manusia seperti itu di dunia," tegasnya.

Laporan Senat AS juga mengungkapkan keberadaan penjara rahasia CIA bernama Detention Site Cobalt, yang diyakini berada di luar Kabul. Penjara ini disebut sebagai salah satu lokasi praktik interogasi sarat penyiksaan oleh CIA, termasuk pemukulan, dipaksa tidak tidur dalam waktu lama, dirantai ke dinding dan dipapar dengan suhu dingin.

Presiden yang baru menjabat sejak dua bulan lalu ini, bersumpah akan menyelidiki lebih lanjut berapa banyak warga Afghanistan yang menjadi korban penyiksaan di penjara-penjara rahasia CIA, yang juga menahan beberapa tersangka terorisme dari negara-negara lain.

Dalam pernyataannya, Presiden Ghani menegaskan bahwa mulai 1 Januari 2015 mendatang, AS tidak akan bisa lagi menahan tahanannya di wilayah Afghanistan.

Sebagian besar tentara asing akan ditarik dari Afghanistan pada akhir tahun ini, setelah selama 13 tahun terakhir ditugaskan melawan Taliban di negara tersebut. Di bawah kesepakatan bilateral yang ditandatangani Presiden Ghani, AS dan sekutunya akan tetap menempatkan tentaranya dalam jumlah kecil untuk melakukan tugas pelatihan.(nvc/ita)
Kecam Interogasi Sadis CIA, China Minta AS Perbaiki Teknik Interogasi Banyak negara mengomentari laporan Senat Amerika Serikat soal interogasi sadis CIA. Salah satunya China, yang mendorong AS untuk memperbaiki caranya dalam melakukan interogasi terhadap para tahanan.

"China konsisten menentang penyiksaan. Kami meyakini bahwa pihak AS seharusnya merenungkan hal ini, memperbaiki caranya dan bersungguh-sungguh menghormati dan mengikuti aturan terkait konvensi internasional," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hong Lei seperti dilansir Reuters, Kamis (11/12/2014).

Selama ini, China sendiri kerap dituding melakukan penyiksaan oleh beberapa kelompok HAM.

Pemerintah China di masa lalu pernah mengakui dan bersumpah akan menghentikan praktik sarat penyiksaan, pasca mencuatnya sejumlah kasus rekayasa yang terungkap bahwa pengakuan terdakwa didapat dengan melakukan penyiksaan.

Laporan Komisi Intelijen Senat AS soal CIA menyimpulkan, badan intelijen tersebut melakukan interogasi yang sarat penyiksaan terhadap tahanan terorisme, terutama terkait Al-Qaeda, yang kebanyakan ditahan di penjara rahasia di dunia, antara tahun 2002-2006 ketika Presiden George W Bush menjabat.

China dan AS seringkali berdebat soal praktik pelanggaran HAM oleh masing-masing negara. China sendiri mulai merilis laporan tahunan soal catatan pelanggaran HAM AS.

Tidak hanya itu, China juga kerap mengkritisi AS atas sejumlah isu mulai dari rasisme, aksi penembakan hingga maraknya gelandangan di AS.

Kritikan China terhadap AS ini muncul pada pekan yang sama, saat pengadilan China memvonis tujuh mahasiswa dari etnis Uighur dengan hukuman penjara 8 tahun.(nvc/ita)

  ★
detik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.