Rabu, 07 Januari 2015

Di Balik Bantuan Asing Cari AirAsia QZ8501

Tidak semua negara memiliki motif kemanusiaan. Pesawat amfibi Rusia bantu proses evakuasi AirAsia (Foto: VIVAnews/Ikhwan Yanuar) (VIVAnews/Ikhwan Yanuar)

D
ua pesawat Rusia mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, pada Sabtu, 3 Januari 2015. Kementerian Darurat Negeri Beruang Merah itu sengaja mengirimkan dua pesawat untuk membantu Indonesia mengevakuasi jasad dan bangkai AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan Selat Karimata pada Minggu, 28 Desember 2014.

Menurut perwakilan Kementerian Darurat Rusia, Alexander Drobyshevsky, pemerintahnya mengirimkan jet amfibi Beriev (BE)-200 dan Illyushin. Namun, yang digunakan untuk proses evakuasi hanya pesawat amfibi. Selain pesawat, Rusia juga mengirimkan 22 penyelam tangguh, 24 tim penyelamat, satu dokter, dan dua asisten medis.

Menurut Kepala Badan SAR Nasional, Marsekal Madya FHB Soelistyo di kantornya, jet tempur milik Rusia bisa diandalkan untuk menemukan bangkai pesawat tipe Airbus A320-200 itu. Kehadiran BE-200 sudah mencuri perhatian publik sejak awal. Sebab, pesawat tetap bisa mendarat di laut kendati gelombang setinggi 1,5 meter menghalangi proses pencarian.

Rusia menjadi negara ke-10 yang ikut serta dalam misi kemanusiaan evakuasi AirAsia tujuan Surabaya ke Singapura. Bahkan, mereka tidak mempermasalahkan, walau seteru abadinya, Amerika Serikat, sudah lebih dulu ikut upaya pencarian itu.

Selain AS, beberapa negara sudah resmi bergabung. Mereka antara lain Singapura, Malaysia, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Prancis, Jepang, Inggris, Uni Emirat Arab, dan terbaru Tiongkok. Berdasarkan informasi yang diterima VIVAnews Selasa, 6 Januari 2015 dari Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta, Negeri Tirai Bambu mengirimkan satu kapal dan tiga ahli di bidang penerbangan.

"Pagi ini (Selasa) tiga ahli sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta dan seharusnya kini telah menjejakkan kaki di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah," ungkap pejabat Kedubes Tiongkok melalui telepon.

Sementara itu, kapal yang dikirim bernama "Nan Hai Jiu 101" telah berangkat pada 5 Januari 2015 dan dijadwalkan tiba di perairan Indonesia empat hari kemudian. Total, terdapat 12 negara yang ikut serta membantu Indonesia dalam tim SAR multinasional ini. Walaupun yang mengirimkan alutsista sembilan negara.

Sisanya membantu dengan mengirimkan tim Disaster Identification Victim (DVI) yang berfungsi mengenali jenazah dan tim untuk menyelidiki isi pembicaraan di kotak hitam. Inggris dan Prancis, termasuk negara yang secara khusus mendatangkan ahli untuk membantu anggota Komisi Nasional dan Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam menyelidiki isi rekaman di kotak hitam.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Christiawan Nasir, mengatakan, sembilan negara di antaranya telah diberikan izin melintas oleh Pemerintah RI. Untuk itu, mereka legal beroperasi di Indonesia.

Maka, sejak satu pekan terakhir, wilayah perairan sepanjang Laut Jawa hingga ke Selat Karimata tiba-tiba penuh dengan kapal-kapal asing. Begitu pula dengan wilayah udara. Pihak asing seolah berlomba-lomba membantu Indonesia untuk mengevakuasi jasad dan bangkai pesawat AirAsia QZ8501.

Padahal, sebelumnya, Basarnas secara terbuka hanya meminta bantuan kepada tiga negara yakni Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.

Soal banyaknya bantuan asing yang datang menghampiri Indonesia, Bambang mencoba menyikapi secara bijak.

"Semua yang hadir di daerah operasi itu awal mulanya adalah keinginan mereka untuk membantu kita," ungkap Bambang di kantornya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa.

Sementara itu, Deputi Bidang Operasi Basarnas, Mayor Jenderal Tatang Zaenudin, menyebut, semua bantuan kapal dan pesawat asing itu dikendalikan langsung oleh institusinya.

"Saya harus mengendalikan pesawat-pesawat dari negara asing," ungkap Tatang.

Karena kewajibannya itulah, dia mengaku tidak bisa berlama-lama menyampaikan keterangan pers. Dia mengatakan, Basarnas terus berpacu dengan waktu.

"Ini permasalahannya berhitung dengan waktu. Pesawat hitungannya detik, kapal hitungannya jam," kata dia.

 Motif Tersembunyi 

Namun, apakah bantuan asing itu benar-benar diberikan kepada Indonesia atas dasar solidaritas? Di mata pengajar program studi Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, negara asing tidak sepenuhnya bertujuan membantu Indonesia. Pria yang akrab disapa Reza berpendapat, di balik rasa solidaritas itu, ada motif tersembunyi.

"Tentu hidup dalam era globalisasi seperti sekarang, semua negara harus bermitra satu sama lain. Tetapi, jujur lautan Indonesia merupakan lokasi yang strategis. Bisa jadi, melalui misi ini mereka ingin pamer kekuatan atau ingin mengeksplorasi laut kita," papar Reza yang dihubungi VIVAnews pada Selasa, 6 Januari 2015.

Dia menambahkan, melalui misi ini, masing-masing negara seolah-olah ingin menunjukkan alutsista terbaik milik mereka. Dengan begitu, maka secara tidak langsung bisa membuat otoritas pertahanan di Indonesia ngiler dan akhirnya membeli alutsista tersebut.

Analisis Reza itu seolah menjadi kenyataan ketika Panglima TNI, Jenderal Moeldoko melontarkan pujiannya terhadap kemampuan alutsista milik Negeri Paman Sam. Hari ini, Moeldoko berkesempatan menjajal helikopter Seahawk untuk memantau proses evakuasi korban dan pesawat AirAsia di Landasan Udara Iskandar, Pangkalan Bun, Kalteng. Moeldoko juga tidak bisa menyembunyikan kekagumannya ketika berkunjung ke atas kapal militer penghancur, USS Sampson.

"Kita ngiler lihat alutsista mereka. Ada heli Viper. Luar biasa untuk alutsista kita, terutama TNI AL," ujar Moeldoko.

Bahkan, dia tidak segan mengungkapkan ketertarikannya untuk melengkapi kekuatan AL Indonesia dengan helikopter tersebut.

Pesawat Rusia, BE-200, kabarnya juga tengah dilirik oleh Pemerintah Indonesia. Sebab, dapat membantu untuk mengamankan kedaulatan NKRI dari aksi pencurian ikan.

Sementara itu, motif eksplorasi laut, ungkap Reza, diwujudkan dengan melakukan pemetaan bawah air atau hidrografis. Hal tersebut, menurut analisis Reza, bisa dilakukan ketika AL asing menurunkan perangkat-perangkat di laut dangkal milik Indonesia.

"Data-data seperti pergeseran arus laut sangat bermanfaat bagi penyelaman AL mereka, misalnya jika mereka ingin mengerahkan kapal selam. Belum lagi di wilayah perairan lokasi jatuhnya pesawat terdapat tiga arus air yakni atas, bawah dan tengah. Hal itu jarang ditemui di tempat lain," ujar Reza.

Pihak asing juga bisa mempelajari latihan penyelaman, pengerahan kapal dan koordinasi antara Basarnas dengan pihak lain di Indonesia, termasuk TNI. Reza menyimpulkan, misi tersebut layaknya laboratorium bagi pihak asing, karena momentum semacam ini tidak selalu terjadi.

Menurut pria yang juga kakak Duta Besar RI untuk Kanada itu, idealnya dalam proses evakuasi, Basarnas bekerja sendiri dan tidak didampingi pihak asing. Reza berpendapat, kemampuan Basarnas sudah diakui dunia, bahkan sejak awal pesawat dinyatakan hilang kontak, mereka sudah mengetahui titik lokasinya.

"Aspek asing bisa membantu dan dinilai lebih netral dalam proses identifikasi jenazah penumpang," ujarnya.

Bantuan dari negara asing, kata Reza, bisa ditolak tanpa merusak hubungan bilateral kedua negara. Asal, dilakukan sejak awal dan pemimpin nasional bertindak tegas.

"Kita bisa memberikan laporan perkembangan dan rencana aksi hingga satu bulan kepada pihak asing. Lalu, tunjukkan bagaimana sirkulasi kapal dan pesawat beroperasi setiap hari. Jika ada informasi itu, mereka akan mengerti," kata Reza.

 Siagakan Intel 

Namun, Basarnas sudah kadung membuka tangan lebar dan menerima bantuan asing. Lalu, bagaimana cara mencegah pihak asing mengambil keuntungan dari misi ini? Dalam wawancara dengan tvOne pada Minggu lalu, Pangkoops Angkatan Udara, Marsekal Muda, Agus Dwi Putranto, menyebut TNI turut mengawasi seluruh armada asing yang ikut dalam operasi AirAsia.

Bahkan, Agus menyebut TNI turut mengerahkan intelijen untuk mengawasi semua pergerakan kapal, helikopter dan pesawat negara asing di lokasi pencarian AirAsia.

"Mereka hanya diperbolehkan beraktivitas di area yang telah ditentukan," tegasnya.

Namun, Reza meragukan kemampuan yang digunakan oleh intelijen TNI. Sebab, rata-rata alutsista yang digunakan oleh asing sudah melampaui alutsista yang digunakan oleh Indonesia.

"Apakah mereka bisa mengetahui misalnya ketika ada operasi diam yang dilakukan oleh pihak asing yang tengah memasang radar bawah laut dan tidak terdeteksi oleh sonar. Apakah intelijen TNI sanggup untuk mengendalikan mereka?," tanya Reza.

Oleh sebab itu, dia menyarankan setelah misi evakuasi AirAsia selesai, pemerintah perlu berbenah untuk membangun kemandirian intelijen.

"Naikkan anggaran Badan Intelijan Negara dan berdayakan institusi tersebut lewat teknologi asli Indonesia," kata Reza memberi saran.

 Kinerja Hebat 

Selain rentan disusupi kepentingan asing, menurut Reza, melalui operasi evakuasi AirAsia ini, kinerja Basarnas turut diapreasiasi oleh dunia. Bahkan, Direktur Operasi Armada Ketujuh AL AS, Kapten Laut (Kolonel) Christopher Budde, mengacungi jempol bagi Basarnas.

"Pemerintah dan Basarnas Indonesia secara luar biasa dan sangat cepat mengorganisasi upaya pencarian pesawat itu, yang melibatkan sejumlah negara," kata Budde yang diwawancarai VIVAnews secara khusus melalui telepon.

Selain itu, melalui tragedi ini membuktikan bahwa Bangsa Indonesia bisa bersatu ketika dicoba dengan musibah. Momen serupa terlihat ketika Indonesia dilanda tsunami tahun 2004 dan Bom Bali I serta II.

"Negara bisa mengelola semangat kekeluargaan ini untuk hal-hal lain, misalnya dalam aksi pemberantasan narkoba atau revolusi mental. Sebab, mahal sekali biaya yang dikeluarkan untuk menggerakkan emosi masyarakat," kata dia.

Seandainya, emosi tersebut bisa dikelola, maka Indonesia ujar Reza, bisa menjadi negara yang maju.(art)

  ★ VIVAnews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.