Sabtu, 03 Januari 2015

Kasal, Dari RE Martadinata Hingga Ade Supandi

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksdya Ade Supandi (kiri) salam komando dengan Laksamana Marsetio seusai pelantikan di Istana Negara, Jakarta | Foto JPNN

Jabatan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) memiliki nilai tersendiri bagi pemegangnya beserta tantangan pada zamannya. Sejarah perjalanan TNI Angkatan Laut yang berawal dari nama BKR Laut kemudian berganti menjadi TKR Laut dan bertransformasi lagi menjadi TRI Laut hingga ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) diwarnai dinamika dalam sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara.

Tercatat 24 nama telah menghiasi perjalanan sejarah pimpinan matra yang bermoto Jalesveva Jayamahe itu. Diantara nama-nama besar seperti Mas Pardi, M. Nazir, R Soebijakto, RE Martadinata, Sudomo, Achmad Sutjipto, hingga Tedjo Edhy Purdijatno dan lainnya pernah terukir dalam sejarah TNI AL sebagai pimpinan tertinggi atau saat ini bernama Kepala Staf.

Kemarin, Rabu 31 Desember 2014, Presiden Joko Widodo melantik pimpinan angkatan laut ke-25 Laksdya TNI Ade Supandi di Istana Negara yang menggantikan Laksamana TNI Marsetio melalui Surat Keputusan Presiden Nomor: 92/TNI Tahun 2014.

Pepatah mengatakan sejarah akan berulang. Suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau akan kembali berulang dalam waktu yang akan datang dengan kejadian yang hampir sama namun berbeda dalam ruang dan waktu.

55 tahun silam, tepatnya pada 17 Juli 1959 Laksamana RE Martadinata dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut (Menpangal) menggantikan Laksdya R Soebijakto. RE Martadinata merupakan salah satu pimpinan angkatan laut yang membawa kemajuan bagi pembangunan matra laut pada masanya.
Laksamana RE MartadinataLaksamana RE Martadinata (Foto: santijenanda.wordpres.com)

Lahir di Bandung 29 Maret 1921, RE Martadinata mengawali pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Lahat tahun 1927-1934 dan di­lanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs bagian B (MULO-B) Bandung tahun 1934-1938 kemudian Algemene Middelbare School (AMS) Jakarta tahun 1938-1941. Pada masa pendudukan Jepang, dirinya masuk Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) hingga menjadi guru di sekolah itu.

Menjelang kemerdekaan, Ia aktif melakukan pergerakan dengan para pemuda lainnya dan menjalin hubungan erat dengan Bung Karno dan Bung Hatta dalam merencakan kemerdekaan. Pasca 17 Agustus 1945, bersama lulusan SPT lainnya, RE Martadinata turut melucuti tentara Jepang hingga terbentuknya BKR Laut pada 10 September 1945.

Karirnya dalam badan itu yang kemudian menjadi TKR Laut lalu ALRI itu senantiasa dekat dengan dunia pendidikan. Ia pernah diangkat menjadi komandan Latihan Opsir Kilat ALRI di Kalibakung dan kepala pendidikan perwira Basic Operation School di Sarangan. Kemudian pernah ditunjuk sebagai komandan kapal yang diberi nama RI Hang Tuah yang merupakan pemberian Belanda pasca pengakuan kedaulatan.

Puncak karirnya di ALRI ketika ia diangkat menjadi KSAL pada tanggal 17 Juli 1959 dan saat itu dilakukan pe­rubahan dengan program “Menuju Angkatan Laut yang Jaya” dengan bertitik tolak pada konsepsi Wawasan Nusantara. Membangun Angkatan Laut yang kuat perlu penataan kekuatan Armada dan operasi yang didukung dengan pendirian darat.

Ketika menjabat KSAL yang kemudian diubah namanya diubah menjadi Menpangal, Angkatan Laut Republik Indonesia memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifik seiring dengan meningkatnya konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan perebutan Irian Barat. Dengan dicanangkannya Trikora, maka ALRI membeli peralatan tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak antara lain: 1 kapal penjelajah (kelas Sverdlov), 8 perusak (kelas Skoryy), 8 frigat (kelas Riga), 12 kapal selam (kelas Whiskey) dan kapal-kapal pendukung lainnya yang berjumlah hampir lebih dari 100 buah kapal. Selain itu dibeli pula pesawat pembom torpedo Ilyushin Il-28 seri Il-28T dan Il-28U, serta helikopter Mil Mi-4.

Jabatannya sebagai Menpangal berakhir pada tahun 1966 dan dirinya langsung ditempatkan sebagai Dubes RI untuk Pakistan. Pada saat hari ABRI 5 Oktober 1966, RE Martadinata kembali ke tanah air untuk mendampingi 3 tamu dari Pakistan yaitu Kolonel Laut Maswar bersama istri serta Nyonya Rouf, istri dari Deputi I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan.

Pada tanggal 6 Oktober 1966, mereka mengadakan perjalanan menaiki helikopter Alloutte II milik ALRI yang dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan. Ternyata dalam perjalanan itu, helicopter yang ditumpanginya menabrak bukit di Riung Gunung. Kecelakaan tersebut menewaskan seluruh penumpang dan pilot, termasuk Laksamana Laut R.E. Martadinata. Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional karena pengabdiannya untuk negeri ini.
Laksdya TNI Ade SupandiLaksdya Ade Supandi (Foto: ANTARA/Prasetyo Utomo)

Lahir di Bandung, 26 Mei 1960, Ade mengawali karirnya di Angkatan Laut saat memasuki AAL pada tahun 1980 dan lulus tahun 1983. Selesai dari AAL, Ade melanjutkan pendidikannya pada Suspadiv dan Kursus CTT & NBCD di Belanda tahun 1986. Di TNI AL, kariernya diawali di beberapa KRI di bawah jajaran Koarmatim baik Satuan Kapal Eskorta maupun Satuan Kapal Patroli, diantaranya KRI Mongisidi-343 sebagai Asisten Kadiv Senjata Atas Air (SAA) dan Kadiv Komunikasi tahun 1983. Selanjutnya tahun 1986 sebagai Kadiv Pusat Informasi Tempur (PIT). Tahun 1990 menjabat sebagai Kadiv Artileri KRI Ahmad Yani-351. Dua tahun kemudian tahun 1992 dimutasikan ke KRI Oswald Siahaan-354 sebagai Kadep Operasi. Penugasan di kapal perang pun masih terus berlanjut. Palaksa KRI Nuku-373 dijabatnya pada tahun 1993. Dua tahun kemudian tepatnya tahun 1995 dipercaya sebagai Komandan KRI Tongkol-813, selang setahun kembali dipercaya sebagai orang nomor satu di KRI Sutedi Senaputra-378.

Usai mengikuti pendidikan Seskoal pada tahun 1997, Ade bergabung di Akademi Angkatan Laut (AAL) sebagai Kepala Subdit Perencanaan dan pengembangan tahun 1998. Dua tahun berdinas di Kampus AAL, ternyata jabatan sebagai orang nomor satu di KRI masih menghampiri pria yang dikenal low profile ini, diantaranya sebagai Komandan KRI Malahayati-362 pada tahun 2000 dan Komandan KRI Ahmad Yani-351 yang dijabatnya satu tahun kemudian pada tahun 2001. Pada tahun 2002 menjabat sebagai Asisten Operasi Gugus Tempur Laut Koarmabar dan ditahun yang sama memegang jabatan sebagai Sahli “F” Binpotnaskuatmar Pangarmabar. Usai berdinas di Koarmabar, tahun 2002 hingga 2004 kembali bergabung memperkuat jajaran Koarmatim dengan jabatan masing-masing sebagai Komandan Satuan Kapal Amfibi, Komandan Satuan Kapal Eskorta dan Komandan Komando Latihan.

Karirnya kian menanjak di lingkungan TNI AL. Pada tahun 2007 dengan pangkat Kolonel, dirinya mengabdi di Lembaga Pendidikan Kobangdikal hingga 2009, dengan jabatan masing-masing sebagai Direktur Operasi Pendidikan (Dir Opsdik) dan Komandan Komando Pendidikan Operasi laut (Dankodikopsla). Satu tahun menjabat sebagai Dankodikopsla, bulan Juli tahun 2009 jabatan sebagai Orang nomor satu di jajaran Guskamlabar dipercayakan kepadanya. Dan setahun kemudian dipercayakan menjadi Gubernur AAL.

Karirnya berlanjut pada tahun 2011 dengan menjabat sebagai Pangarmatim dan diteruskan dengan menjadi Assisten perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kasal setahun kemudian. Dan terakhir menjabat sebagai Kasum TNI sebelum akhirnya dilantik sebagai Kasal oleh Presiden Jokowi pada 31 Desember 2014.
Kesamaan KeduanyaAntara Laksamana RE Martadinata dan Laksdya TNI Ade Supandi, keduanya sama-sama dilahirkan di Bandung. Selain itu keduanya juga berada di masa kepemimpinan yang boleh dibilang concern terhadap maritim. RE Martadinata dibawah pimpinan Bung Karno fokus membangun bangsa ini dari maritim. Ucapan Bung Karno yang terkenal akan semangat maritimnya yaitu “untuk membangun Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang kuat, bangsa yang makmur, dan bangsa yang damai kita harus punya jiwa cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunya armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri”.

Slogan yang didengungkan pada peresmian Institut Angkatan Laut (IAL) di Surabaya tahun 1953 itu menjadi realita saat Bung Karno menjadi Pemimpin Besar Revolusi setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pasca mengeluarkan Dekrit, 12 hari kemudian Bung Karno mengangkat RE Martadinata untuk menjabat Menpangal dan dituntut menjalankan segala program Presiden yang hendak mendajikan Indonesia sebagai Mercusuar Dunia melalui bidang kemaritiman dan diatar rel-nya Revolusi Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 45.

Alhasil, ALRI pun muncul sebagai kekuatan yang semakin disegani di kawasan dan memiliki segudang prestasi dalam melakukan operasi. Pencapaian menjadi negara maritim kian di depan pintu sebelum akhirnya kandas di tengah jalan pasca terjadinya peristiwa 1 Oktober 1965.

Sama halnya dengan RE Martadinata, Ade Supandi menduduki jabatan Kasal di tengah gelora poros maritim dunia yang selalu didengingkan oleh Presiden Jokowi baik pada masa kampanye maupun setelah menjabat sebagai Presiden. Dalam pidato pelantikannya pun, Jokowi mengulang pernyataan Bung Karno tentang perlunya membangun maritim dan ditutup dengan pekikan Jalasveva Jayamahe, yang selama ini menjadi slogan TNI AL.

Suatu peluang bagi Laksdya TNI Ade Supandi untuk membawa TNI AL dalam gelora tersebut dan mencapai kejayaan bangsa dan negara seperti RE Martadinata dahulu. Bahkan Ade dapat melebihi dari apa yang telah dicapai oleh RE Martadinata waktu itu dalam keadaan dan tantangan yang berbeda. Yang menjadi perbedaan mencolok dari kedua zaman itu, jika masa RE Martadinata dulu bangsa dan negara ini berada pada rel yang sebenarnya yaitu Pancasila dan UUD 45, namun hari ini entah berada di rel apa. Semoga Kasal baru ini dapat mencermati kondisi tersebut untuk sebuah cita-cita yang besar dalam bingkai kepentingan nasional Indonesia. Maju terus TNI AL, Jalesveva Jayamahe !!!


  JMOL  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.