Kamis, 29 Januari 2015

☆ Laksamana Dari Halmahera (II)

ANDAI cita-citanya menjadi marinir terpenuhi, mustahil Bernard Kent Sondakh dipilih memimpin Angkatan Laut. Entah kenapa Angkatan Laut tak pernah dipimpin laksamana berlatar marinir. Saat memimpin Angkatan Laut (25 April 2002 hingga 18 Februari 2005), Kent membuat banyak terobosan berani.

Lelaki kelahiran Tobelo, Halmahera Utara, 9 Juli 1948, itu terobsesi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim.
Tegas Menolak Kapal Bekas “KITA NEGARA BESAR HARUSNYA PUNYA HARGA DIRI. MASAK DIKASIH SAMA NEGARA KECAMATAN KITA TERIMA.”

HABIBIE dan Kapal Itu. Begitu judul cerita sampul majalah Tempo edisi 7 Juni 1994. Isinya berfokus pada harga pembelian 39 kapal bekas Jerman yang diperdebatkan oleh Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie dan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad, terutama besaran harga pembelian dari semula US$ 12,7 juta menjadi US$ 1,1 miliar.

Dua hari berselang, ketika meresmikan pembangunan Pangkalan Utama Angkatan Laut di Teluk Ratai, Lampung, Presiden Soeharto mengungkapkan kemarahannya. Dia memerintahkan supaya menindak tegas media yang dianggapnya telah “mengadu domba”.

Menteri Penerangan Harmoko menindaklanjutinya dengan memberedel Tempo. Juga dua media lainnya yang ikut mengkritik seputar pembelian kapal bekas dari Jerman, yakni Editor dan tabloid Detik.

Rupanya, tak cuma harga pembelian yang kelewat mahal, kapal-kapal itu sejatinya tak lebih dari barang rongsokan. Hampir semua kapal yang dibeli itu nyaris tak bisa dioperasikan karena sudah uzur. Teknologi yang digunakan sudah kadaluwarsa, tak cocok dengan iklim Indonesia yang tropis, dan amat boros bahan bakar. Tapi hampir semua petinggi TNI Angkatan Laut kala itu tak berkutik.

Saat kontroversi itu berlangsung, Bernard Kent Sondakh masih berpangkat Letnan kolonel. Delapan tahun kemudian, saat sudah menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, ia mendapati ke semua kapal itu sudah tak mampu beroperasi dengan baik.

●●●

Waktu itu saya ingat KSAL M. Arifin sempat menolak. Beliau menawar, sebaiknya dua dulu saja untuk dicoba. Kalau bagus, ya yang lainnya boleh diterima. Pak Arifin itu guru saya. Tapi sepertinya dia dipaksa, kan Pak Harto ikut berbicara.

Begitu saya jadi KSAL, tidak ada satu pun kapal (bekas) Jerman Timur itu yang beroperasi dengan benar. Sudah nongkrong semua. Sebagian memang sudah ada yang direpowering oleh KSAL sebelum saya.

Kapal korvet milik Jerman Timur itu tidak cocok buat kita, karena mereka pakai untuk hit and run. Deteksi, keluar, serang, lalu balik. Tiap seribu jam harus ganti, overhaul, suku cadang sudah sulit didapat, dan bahan bakar borosnya minta ampun. Satu kapal butuh 36-40 ton solar per hari. Agar tidak mubazir, saya putuskan ganti mesin. Setelah itu, konsumsi solarnya berkurang, jadi cuma 12 ton per hari.

Selama saya menjadi KSAL, saya pun bertekad tidak mau menerima kapal bekas dari negara lain. Setidaknya dua kali saya menolak penawaran kapal bekas, yakni dari Libya dan kapal hidrografi dari Belanda. Libya waktu itu menawarkan dua jenis korvet, tiga kapal cepat, dan empat kapal penyapu ranjau. Atas nasihat Panglima (Jenderal Endriartono Sutarto), saya tidak langsung menolak.

Saya tugaskan empat perwira ke Libya untuk meninjau kondisi kapal-kapal itu. Sebelum berangkat, saya kasih mereka duit. “Kamu jalan-jalan saja di sana, pulang bikin laporan: semua kapalnya jelek, he-he-he....” Bagi saya, kapal bekas itu traumatis. Karena itu, ketika KSAL Belanda yang kebetulan pernah satu kelas dengan saya sewaktu dua tahun mengikuti pendidikan menawarkan kapal hidrografi, umur sekitar 20 tahun, saya jawab sambil guyonan saja, “Kalau kapal itu saya beli dengan duit saya dan saya operasikan pakai duit saya, yang pakai kan kamu hasil petanya. Bukan Pelni. Jadi, kalau kamu suruh saya beli, saya tidak mau. Kalau dikasih, ya boleh.”

Karena itu, sewaktu KSAL Soeparno (28 September 2010-17 Desember 2012) menerima kapal bekas dari Brunei, waduh .... Saya berpikir, kita negara besar seperti ini harusnya punya harga diri. Masak dikasih sama negara kecamatan kita terima? Apalagi cuma kapal 40 meter. Kalau mau terima kapal bekas hibah, jangan tanggung, kapal induk sekalian, ha-ha-ha....No to used warship !

Tapi, sebelum membeli kapal bekas dari Jerman, sebetulnya pada pertengahan 1980-an Indonesia pernah beli kapal bekas. Jadi, saat booming harga minyak, pada 1985-1986 kala itu pemerintah membeli 9 fregat bekas dan 3 tribal class dari Inggris yang pernah ikut Perang Malvinas. Juga membeli 6 kapal kelas van speijk dari Belanda.

Namanya kapal bekas, kapal tua, pasti tingkat kerusakannya tinggi. Di lain pihak, kapal kapal baru, seperti 3 korvet dari Belanda dan 1 dari Yugoslavia serta 6 LST dari Korea yang berteknologi baru, terbengkalai perawatannya karena uang justru terserap untuk kapal-kapal bekas itu. Konsep pemeliharaan yang disebut PMS (planned maintenance system) dengan integrated logistic untuk kapal-kapal baru berteknologi 1980-an itu tak berjalan.

Sebetulnya saya tak sepenuhnya antikapal bekas karena pernah menerima feri bekas, Kambuna dan Kerinci, milik PT Pelni yang hampir bangkrut. Kebetulan AL belum punya kapal angkut pasukan yang memadai. Feri cepat itu bisa menampung 500 orang, jadi saya terima. Tapi, kalau nerima dari negara lain, saya tidak mau, apalagi beli. Kita sudah berpengalaman, AL hancur karena kapal bekas.
Mematahkan Amerika di Selat Malaka SINGAPURA SEMPAT MEMBERI ISYARAT SETUJU ARMADA AMERIKA SERIKAT IKUT BERPATROLI UNTUK MENGHALAU PARA PEROMPAK DI SELAT MALAKA.

KANTOR Biro Maritim Internasional (IMB), yang bermarkas di Singapura, melansir data melonjaknya angka perompakan dan penculikan di laut. Sementara pada 2002 tercatat 192 kasus, pada 2003 melonjak jadi 445 kasus di seluruh dunia. Dari jumlah itu, 139 kasus di antaranya terjadi di Selat Malaka.

Data itu menjadi santapan empuk media internasional. Far Eastern Economic Review edisi 27 Mei 2004 menulis laporan bertajuk “Sea of Trouble”. Isinya mengurai kejahatan di Selat Malaka meningkat tajam akibat krisis ekonomi dan politik di Indonesia.

Majalah The Economist edisi 12 Juni 2004 juga menurunkan laporan tentang ancaman teroris dan perompakan di Selat Malaka. Menyikapi hal itu, Panglima Pasifik Amerika Serikat Laksamana Thomas Fargo berencana menerjunkan pasukan di selat sepanjang 800 kilometer itu. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh pun terusik dibuatnya. Untuk mematahkan niat Amerika Serikat, ia merangkul Singapura dan Malaysia untuk melakukan patroli bersama.

Orang semua tahu Indonesia disebut black water. Laksamana Fargo dari Amerika bilang di koran, akan kirim kekuatan untuk turut mengawal Selat Malaka. Saya tersinggung. Kita yang punya kedaulatan kok dia yang mau masuk. Sebetulnya Menteri Pertahanan Singapura sempat memberi isyarat menyokong ide Fargo. Lalu saya telepon KSAL Malaysia dan Singapura. Kepada mereka, saya sampaikan ketidaksetujuan jika Amerika masuk. Sebaiknya kita berkoordinasi untuk melakukan patroli karena Selat Malaka ada di tiga negara. Saya lalu ngomong ke media, tidak ada yang boleh masuk Selat Malaka kecuali tiga negara pantai. Fargo pun diam.

Koordinasi patroli bersama itu pertama kali diresmikan oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono pada 20 Juli 2004. Waktu itu hadir di atas KRI Tanjung Dalpele 972 Panglima Tentara Diraja Malaysia Jenderal Tan Sri Dato Zahidi dan Panglima Tentara Singapura Letnan Jenderal Ng Yat Chung. Juga saya bersama Kepala AL Tentara Diraja Malaysia Laksamana Dato Sri Muhammad Anwar dan Kepala AL Singapura Laksamana Muda Ronnie Tay. Patroli bersama itu mengerahkan 17 kapal (lima dari Malaysia, lima dari Singapura, dan tujuh dari Indonesia) per hari selama 24 jam nonstop.

Kita sebenarnya tidak bisa apa-apa kalau Amerika mau campur tangan. Cuma, kita kan negara berdaulat, punya harga diri. Itu yang kita harus tunjukkan dulu. Kalau mengalah, sama saja jual negara. Sampai sekarang patroli masih berjalan, cuma mungkin satu negara cuma dua-tiga kapal.

Selain patroli bersama, saya juga menggagas latihan bersama tiga negara menyapu ranjau di Selat Malaka. Itu bermula ketika saya di minta mewakili Pak Endriartono sebagai pembicara dalam pertemuan panglima se Asia - Pasifik di Tokyo. Zaman itu isu yang berkembang teroris meledakkan kapal di selat Singapura. Amerika mengembangkan isu itu. Jadi saya sebagai salah satu pembicara mengatakan itu juga salah satu ancaman, tapi coba kita bayangkan kalau kapal meledak karena melanggar ranjau. Semua lalu lintas terhenti. Kalau hanya diledakkan, lalu lintas akan tetap jalan. Sedangkan kemampuan antiranjau negara pantai, seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia, sangat rendah.

Sewaktu break, ajudan Panglima Amerika dan Laksamana Fargo minta bertemu saya. Mereka tanya apa rencana saya. Saya bilang akan memasang radar di sepanjang Selat Malaka, sehingga barang sekecil drum pun akan terdeteksi. Saya sudah menganggarkan Rp 25 miliar. Lalu saya bilang, karena kalian tahu uang Indonesia terbatas, jadi Selat Malaka ini baru akan selesai dalam 10 tahun.

Mereka bilang jangan sebut-sebut lagi soal ranjau. Dua hari setelah sampai Jakarta, ada dua orang dari Kedutaan yang datang. Dan tak lama setelah berhenti sebagai KSAL, staf ahli dari Senat Amerika menemui saya di rumah. Dia membawa pesan bahwa Senat setuju memberikan bantuan cuma-cuma US$ 350 juta tapi jangan ribut karena Indonesia masih dalam posisi embargo. Itu kalau tak salah Maret 2005.

Nah, Mei, ketika saya sedang di Surabaya, mereka kembali menghubungi dan meminta saran tentang rencana pemberian dana itu. Saya sarankan agar diserahkan ke Departemen Pertahanan saja, biar mereka yang mengawasi penggunaannya. Itu pertama kali embargo Amerika ke TNI lepas dan tidak banyak orang yang tahu. Tapi akhirnya saya dengar yang pegang itu Duta Besar Amerika. [modho334]

  Majalah detik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.