Rabu, 28 Januari 2015

☆ Laksamana Dari Halmahera

ANDAI cita-citanya menjadi marinir terpenuhi, mustahil Bernard Kent Sondakh dipilih memimpin Angkatan Laut. Entah kenapa Angkatan Laut tak pernah dipimpin laksamana berlatar marinir. Saat memimpin Angkatan Laut (25 April 2002 hingga 18 Februari 2005), Kent membuat banyak terobosan berani.

Lelaki kelahiran Tobelo, Halmahera Utara, 9 Juli 1948, itu terobsesi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. Benarkah visi maritim Jokowi mengadopsi idenya?
Poros Maritim Ala Laksamana Kent OLD soldier never die, they just fade away.” Pernyataan Jenderal Douglas MacArthur pada 1951 itu sepertinya bisa menggambarkan sosok Laksamana Bernard Kent Sondakh saat ini. Sembilan tahun pensiun sebagai pelaut tak menyurutkan perhatian - nya terhadap dunia maritim. Dengan cermat, ia mengikuti berbagai program pemerintahan Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. Ia menyokongnya, sekaligus memberikan beberapa catatan kritis.

Soal pembangunan jalan tol laut, misalnya. Hal itu, kata dia, harus diikuti dengan pemberian insentif kepada para pengusaha untuk menggeser industrinya ke daerah terpencil dengan sistem regional. “Juga insentif kepada perusahaan yang menjual produknya kepada agen-agen yang jauh di luar Pulau Jawa,” kata Kent.

Ide-ide terkait hal itu sebetulnya pernah ia paparkan saat menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, 25 April 2002-18 Februari 2005. Sayang, respons pemerintah tak seperti yang diharapkan karena terbatasnya anggaran.

Saat ditemui di rumahnya, kompleks TNI AL Kelapa Gading, 19 Januari lalu, ia dengan jernih kembali memaparkan berbagai konsep dan sepak terjang yang dilakukannya sebagai KSAL. Berikut ini penuturan pensiunan laksamana kelahiran Tobelo, Halmahera Utara, 9 Juli 1948, itu.

●●●

Kebijakan poros maritim pemerintahan Joko Widodo bukan ide dari saya.

Saya belum pernah secara langsung menyampaikan konsep poros maritim kepada Presiden. Hanya, konsep ini pernah saya beberkan kepada seorang tim suksesnya. Saya percaya mereka pasti sudah punya konsep yang baik.

Ada sejumlah syarat yang harus disiapkan agar kita bisa memetik keuntungan ekonomi maupun politik dari poros maritim. Membangun pelabuhan-pelabuhan baru itu mesti, cuma harus memiliki kemampuan yang saya sebut 4R, yakni refueling, resupply, repair, dan rest and recreation. Belum lagi memperbaiki birokrasi dan pelayanan di pelabuhan. Kita harus berkaca pada Singapura dalam soal ini.

Kapal baru 20 mil laut dari pelabuhan saja mereka sudah mengontak administrator pelabuhan. Kapal langsung diberi arahan ke dermaga yang harus dituju. Bandingkan dengan Batam, yang harus menunggu berhari-hari sebelum kapal bisa masuk dermaga. Begitu sampai juga belum tentu bisa mengisi bahan bakar. Siapa yang mau singgah kalau begitu? Akhirnya Batam mati. Hal lain, terkait keamanan pelabuhan. Orang pulang ke pelabuhan di Singapura jam 1 pagi tidak ada masalah. Tapi di kita?

Lalu di mana harus membangun pelabuhan? Tentunya di jalur kapal akan lewat atau sea lane of trade. Paling tidak di Indonesia itu Selat Malaka ke utara, dari Selat Lombok-Selat Makassar ke utara, Laut Banda-Selat Maluku ke utara. Dari situ, kita lihat lagi jalur mana yang paling aman dan ekonomis. Jadi saya kurang paham jika ada gagasan pengembangan pelabuhan di Selat Sunda. Siapa yang mau lewat situ?

Bicara tanker 80 ribu ton ke atas merupakan kapal-kapal yang manuvernya sulit. Saat kapal sebesar itu masuk Selat Sunda, begitu keluar di utara akan setengah mati. Banyak karang. Setiap 10 menit harus belok. Kapal besar kalau belok itu kayak banteng, susahnya luar biasa.

●●●

Soal jalan tol laut, kita sebenarnya sudah mengenal dari zaman Belanda. Saat itu sudah digagas kapal-kapal perintis untuk menghubungkan daerah-daerah atau pulau terpencil. Tapi jalan tol laut tak otomatis membuat harga sebuah produk bisa sama di semua daerah. Karena itu, pemerintah harus memberi insentif kepada para pengusaha untuk menggeser pabriknya ke daerah terpencil dengan sistem regional. Lalu memberi insentif kepada perusahaan yang menjual produksinya itu kepada agen-agen yang jauh berada di luar Pulau Jawa.

Di bidang industri perikanan, tentu saja seharusnya kita amat berdaulat.

Nelayan sendiri yang harus ambil ikan dari laut kita, bukan orang asing seperti yang terjadi selama bertahun-tahun. Karena apa? Nelayan kita tak punya kapal dan peralatan memadai seperti orang Thailand, Taiwan, Tiongkok. Nelayan kita hanya punya dayung, motor tempel, dan mencari ikan dua atau tiga mil dari pantai. Dapat ikan yang kena polusi pula. Pemerintah harus memperbaiki dan mencari solusinya agar seluruh Zona Ekonomi Eksklusif kita itu yang berkibar benar-benar bendera Merah Putih, bukan aspal. Merah Putih tapi dalamya Tiongkok.

Sekarang nelayan kita merupakan masyarakat yang paling miskin. Coba lihat nelayan di Norwegia atau Kanada, begitu kaya-kaya. Saya pernah sarankan ke (Presiden) Susilo Bambang Yudhoyono agar industri strategis yang dulu hampir mati, seperti PT PAL, PT Kodja Bahari, PT Pindad, dan lainnya, bisa dimanfaatkan.

Dulu konsep awal industri ini hanya buat pesanan dari militer. Padahal TNI uangnya tidak ada atau pas-pasan. Belum tentu AL bisa pesan di PT PAL tiap tahun. Akhirnya industri ini menanggung beban. Nah, sekarang, kalau kita butuh kapal ikan, minimal 20 ribu buah ukuran 50 ton sampai 300 ton, PT PAL bisa ditugas kan. Setahun bikin seribu atau dua ribu kapal. Mekaniknya dibikin PT Pindad, elektroniknya oleh PT Inti. Jadi semua industri strategis dapat kerjaan.

Seperti di luar negeri, satu grup atau keluarga dikasih kapal dengan sistem bagi hasil. Nelayan dapat 40 persen, pemerintah 60 persen. Dalam lima tahun, nelayan bisa ambil kapal itu. Jadi semua nelayan punya kapal sendiri.

●●●

Saat masih taruna, Kent Sondakh pernah menangis karena ditolak menjadi marinir seperti cita-citanya sejak kecil. Maklum, saat masih di Tobelo, ia kerap melihat penampilan pasukan marinir yang gagah. Juga prestasinya dalam menumpas pemberontakan di Sulawesi Utara. “Enggak mikir kalau marinir enggak bisa jadi KSAL. Mungkin kalau jadi marinir ikut perang di Tim Tim saya sudah koit, ha-ha-ha...,” ujarnya.

Sebagai “balas dendam”, ia banyak mengoleksi atribut marinir. Saat menjadi KSAL, ia pun memberikan perhatian prioritas kepada korps marinir. Di luar itu, ia amat memperhatikan wilayah perbatasan.

●●●

Selain kapal nelayan, saya baca pemerintah mau bikin kapal perintis 100 biji. Saat papasan dengan Menteri Perhubungan Jonan di suatu acara, saya sarankan ke beliau untuk membuat kapal minimal 30 model LST (landing ship tank). Sebab, kapal jenis ini tidak perlu dermaga. Ada pantai bagus bisa langsung merapat, buka pintu. Itu bisa jadi kios-kios, bisa dipasang cold storage juga. Kapal-kapal itu bisa ditempatkan di Ambon dan Ternate masing-masing 4 buah, misalnya.

Saya tahu persis bagaimana kehidupan orang di pulau terluar dan terpencil. Barang-barang di sana mahal karena sulitnya transportasi. Semasa jadi KSAL, saya perintahkan kapal-kapal patroli mutar di daerah-daerah perbatasan. Saya bilang ke pemda, “You bisa pakai kapal ini, bawa barang dengan kapal ini. Jadi mobile market.” Jadi orang sudah tahu, misalnya hari Rabu kapal ini datang, jadilah pasar karena terjadi transaksi perdagangan. Di utara Papua, Maluku tidak terputus patroli itu.

Terkait kebijakan Presiden Jokowi untuk menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan, saya pernah melakukannya. Illegal fishing itu dikelompokkan dua. Ada pencurian murni, yakni kapal beroperasi tanpa surat-surat sama sekali.

Kedua, pencurian administrasi. Maksudnya, kapal itu punya izin menangkap, tapi harusnya tangkap di situ mereka tangkap di sana. Atau list krunya beda.

Kalau pencurian murni, saya mendekatinya dengan penegakan kedaulatan. Saya turunkan orangnya dan bawa ke kedutaan, lalu tenggelamkan kapalnya. Kalau pencurian administrasi, ya bawa ke ranah hukum. Denda Rp 100 juta, perusahaannya coret, sita ikannya.

Hal yang harus dipahami semua pihak, laut itu bukan Danau Sunter. Kalau siang lihat diradar, itu kan hanya bintik. Sulit membedakan mana kapal resmi atau yang bodong. Apalagi kalau malam hari. Untuk memeriksanya, butuh waktu, perlu kecepatan kapal yang memadai.

Belum lagi faktor dukungan cuaca. Selain itu, bahan bakar AL itu terbatas sehingga harus menggunakannya sesuai rencana prioritas operasi. Misalnya dalam satu bulan hanya bisa 30 kapal. Kalau kita mau bikin 60 kapal ya boleh saja, tapi bahan bakarnya dari mana?
Direstui Megawati, Dikritik Prabowo KENT SONDAKH MENOLAK USUL PEMBELIAN KAPAL DARI CINA. PILIH BELANDA YANG SUDAH TERUJI

SUATU hari Presiden Megawati mengabarkan kepada kami bahwa ada tawaran kapal bagus dari Cina. Mendengar hal itu, saya meminta waktu kepada beliau untuk berbicara di kediaman, Jalan Teuku Umar. Kepada beliau saya jelaskan, sejauh ini baru Thailand yang menggunakan kapal produksi Cina. Itu pun, dari 3 kapal yang dibeli, cuma 1 yang masih beroperasi padahal usianya masih muda. Jadi, membeli kapal dari Cina itu bagi saya cuma buang-buang duit saja. Lebih baik tidak usah.

Lalu saya kasih gambaran kekuatan korvet fregat yang dimiliki Singapura, India, Malaysia. Bagi saya, kapal-kapal produksi Belanda merupakan yang terbaik. Selain karena saya pernah sekolah di negeri itu sehingga bisa menyimpulkan demikian, faktanya kapal produksi Rusia dalam tempo 10 tahun saja kualitasnya sudah menurun. Begitu juga 4 korvet dan 2 fregat buatan Italia, setelah 10 tahun tak lagi bisa dioperasikan secara optimal.

Kala itu, TNI AL mengusulkan supaya pemerintah membeli 4 kapal perang baru jenis SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach), yang merupakan kapal tempur siluman (stealth). Ini telah diperhitungkan sesuai kebutuhan perairan Indonesia yang amat luas. Pembelian korvet itu amat krusial antara lain untuk menangkal praktek pencurian ikan dan mengatasi perompakan.

Ternyata Ibu Mega menerima pendapat saya. “Ya sudah, kamu bicara dengan Pak Kwik (Kian Gie, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).” Sebaliknya, dalam pertemuan di Bappenas, Pak Kwik menyatakan anggaran yang ada cuma memungkinkan untuk satu kapal.

Saya bilang, kalau satu tidak usah saja, minimal dua. Karena, satu unit taktis AL itu minimal dua. Bahkan, untuk kapal modern itu tiga, yang disebut divisi. Lalu bagaimana bila duit tidak ada? Saya pun menjelaskan bahwa pembuatan kapal itu minimal butuh waktu 26 bulan. Jadi pembayarannya bisa dicicil, multi-years. Dan itulah yang kemudian dilakukan pemerintah.

Namun respons di luar beragam. Termasuk Menko Perekonomian Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang mengatakan agar rencana pembelian korvet dari Belanda itu dikaji kembali. Saya bilang kepada pers, “Kalau Menko mau tinjau lagi, ya tinjau saja sendiri. Mereka kan yang ngurusin duit. Kami kan hanya minta. Kalau menurut dia enggak bisa, ya tidak apa-apa. Yang penting AL sudah sampaikan kebutuhannya seperti ini.”

Saya tidak tahu alasan Pak Dorodjatun menyatakan demikian. Tapi pernah ada seseorang yang bilang bahwa, kalau korvet dibeli dari galangan kecil di Belanda, mungkin tidak akan dipermasalahkan. Tapi, setahu saya, galangan kapal itu kecil, ecek-eceklah. Bagi saya, kalau mau bikin, jangan tanggung, cari yang bisa bertahan puluhan tahun. Jangan bikin yang ecek-ecek, baru lima tahun rusak.

Alasan lain, seperti yang pernah saya paparkan di Komisi I DPR, pembelian korvet dari Belanda itu sudah berikut syarat transfer teknologi kepada PT PAL. Juga dengan model pembayaran rolling contract, bukan imbal dagang seperti waktu beli Sukhoi dari Rusia.

Selain Pak Dorodjatun dan sejumlah aktivis LSM seperti Munir, Prabowo Subianto ikut berkomentar. Dia bilang anggaran yang di ajukan untuk korvet terlalu mahal. Lebih baik duitnya buat buka sawah baru. Wah, ya tidak bisa seperti itu dong membandingkannya. Yang satu untuk penegakan kedaulatan, satu nya untuk petani. Itu perbandingan yang naif, picik. Kalau hebat, dia harusnya datang ke KSAL. Kita diskusikan.

Saya juga sempat diserang LSM-LSM terkait rencana pembelian kapal-kapal patroli oleh daerah. Papua, misalnya, memesan 11 kapal patroli dari Prancis. Jika semua daerah seperti itu, berbahaya. Sebab, hukum laut internasional menyatakan hanya warship dan government ship yang boleh mengadakan penahanan, pengintaian, dan pemeriksaan.

Karena itu, saya sampaikan kepada Menteri Pertahanan, sebaiknya hal itu dikoordinasikan dengan Angkatan Laut. Juga kapal-kapal itu diawaki AL. Eh, saya malah dibilang mencuri duit daerah. Terlalu.... [modho334]

  Majalah detik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.