Selasa, 06 Januari 2015

Membangun Efek Gentar TNI AL

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCKpvMdk-f7OgMWlItu5uEUfCnqwHPCjHq3_c5L_L1yejRsB0Iw_rByNgI6wiCNqyFB5372LyiMloj9sZROnNY0WNPMd6cxGJAWgQDPAs3_vjeMD1h6rSh_LOFagvrozu3NbIqhjsXK6w/s1600/2058574_20141002031254supermarine.jpgKEPALA Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Ade Supandi yang dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu pekan lalu, mengingatkan kepada KSAL periode 1959-1966, Laksamana RE Martadinata, yang juga berasal dari tanah Parahyangan.

Regenerasi peralihan tongkat komando TNI AL pun berlangsung mulus dari Laksamana Marsetio kepada Laksamana Madya Ade Supandi sebagai KSAL ke-25. Ade mengawali tugasnya dengan melepas keberangkatan KRI Frans Kasieppo-368 dan KRI Usman Harun-359 dari Markas Komando Armada RI Kawasan Timur di Surabaya, Jawa Timur, untuk operasi kemanusiaan ke Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Minggu (4/1). Di sela kesibukannya, Ade Supandi menjawab pertanyaan Kompas.

Ada ruang fiskal yang pemerintah sebut lebih longgar kali ini. Bagaimana TNI AL memanfaatkan peluang ini?

APBN bukan untuk TNI AL saja, tetapi juga untuk seluruh masyarakat. Kami tetap berpegang pada konsep belanja alutsista (alat utama sistem persenjataan) berdasarkan minimum essential force (kekuatan pokok minimum/MEF), namun tetap mampu memberikan efek gentar kepada pihak lain.

Pada era tahun 1960-an, TNI AL disegani di Asia Tenggara. Masa itu, negara se-ASEAN belum punya kapal selam, Indonesia sudah punya 12 kapal selam. Kita memang berusaha memulihkan kejayaan di masa lalu. Tetapi, jangan lupa, membangun AL dibatasi kemampuan pembiayaan negara. Pertama untuk kapal dan kedua biaya operasionalnya. Butuh dana triliunan rupiah untuk kedua hal itu.

Biaya bahan bakar saja setahun bisa mencapai 10 persen dari harga kapal. Itu jika armada selalu siaga 100 persen. Kemudian, setiap empat tahun paling tidak harus ada pembiayaan perawatan. Belum lagi harus mengejar teknologi yang cepat berubah. Persenjataan harus semakin kompetitif dan memberi efek penangkal atau efek gentar (deterrence). Jangan sampai kapal kita hanya bisa menembak sejauh 5 kilometer, padahal kapal perang negara lain sudah bisa 10 kilometer.

Seberapa jauh kita mencapai MEF tersebut?

Target MEF kita direncanakan tercapai 2024. Kita sudah terprogram. Tahun ini belanja berapa, tahun depan berapa.

Apakah dengan kondisi APBN sekarang, peluang mencapai target MEF lebih cepat semakin terbuka?

Kita, kan, juga harus memperhatikan bidang-bidang pembangunan lain. Kita harus jujur, bidang-bidang infrastruktur butuh banyak biaya.

Seberapa besar biaya yang dibutuhkan untuk membangun armada yang kuat?

Contohnya (KRI) Usman Harun. Harga pembeliannya saja bisa sampai 250 juta dollar AS (Rp 3,1 triliun), termasuk seluruh sistem persenjataannya.

Apakah hal itu sudah cukup memberi efek gentar?

Yang disebut efek gentar itu bukan hanya jenis kapal dan persenjataannya, tetapi juga kehadiran di lautan. Sama seperti di jalan, kan, memberi efek gentar karena kehadiran polisi tidur atau patung polisi. Kapal perang juga harus hadir di laut atau di perbatasan. Nah, ini (membutuhkan) biaya untuk bahan bakar. Meskipun senjatanya hebat, kalau diam saja (tidak berlayar) karena tidak ada bahan bakar, mana mungkin memberi efek gentar.

Di AL, jumlah kapal itu penting, lalu berikutnya bagaimana senjatanya. Tetapi, itu saja juga belum cukup. Bagaimana juga mental bertempur. Ya, mental bonek (bondho nekat) Suroboyo. Kemarin, di SAR (AirAsia QZ 8501) kita sudah dipuji.

Jumlah kapal kita 160 kapal. Target kita 50 kapal operasi per periode. Pengoperasian satu kapal butuh sekitar 15 ton solar (senilai Rp 108,75 juta) per hari. Tentu masih ada strategi efisiensi. Patroli awal bisa menggunakan pesawat udara dan begitu terdeteksi pelanggaran, baru kapal dikerahkan ke sasaran.(DODY WISNU PRIBADI/AGNES SWETTA PANDIA)

  ⚓️ Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.