Rabu, 18 Februari 2015

Dua Tentara Warga Tionghoa, yang Perempuan Ini tak Lagi Terima Angpao

♙ MASIH sedikit warga Tionghoa yang memilih berkarir di dunia militer. Dua dia antaranya adalah Lettu Laut (K) dr Agustinus Riski Wirawan Riadi dan Letda Laut (K/W) dr Christina Widosari. http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/Fotona-Heli-Apache.jpgRiski (kiri) dan Christina bertugas di Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar. Mereka akan merayakan Imlek bersama keluarga. Foto: WS Hendro/Jawa Pos

IMLEK merupakan momen untuk berkumpul bersama keluarga besar. Tahun baru umat Tionghoa 2566 yang diperingati Kamis lusa (19/2) itu menjadi tahun keempat Riski, sapaan Agustinus Riski, menyandang status prajurit TNI.

Dia bertugas sebagai perwira urusan Instalasi Gawat Darurat Rumkital (Rumah Sakit Angkatan Laut) dr Idris Parimpunan Siregar, rumah sakit di internal Komando Armada RI Kawasan Timur.

Dokter umum alumnus Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu menggawangi IGD Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar yang berada di Detasemen Markas Koarmatim.

Kendati menangani masalah kesehatan, Riski terikat dalam seremonial militer sebagaimana peraturan dinas khas TNI-AL. Misalnya, apel pagi, apel sore, maupun upacara militer lain. Setiap bulan dia mendapat jatah piket jaga di sejumlah rumkital. Sebuah pengabdian yang tidak biasa di kalangan warga Tionghoa.

’’Sejak awal ya kepingin saja menjadi tentara,’’ ucap Riski di ruang tindakan Rumkital dr Idris Parimpunan Siregar kepada Jawa Pos seusai olahraga futsal siang, Selasa lalu (10/2). Sebuah pernyataan spontan yang terasa enteng didengar.

Siang itu dia mengenakan baju olahraga TNI-AL. Dalam kondisi masih berkeringat, anak bungsu di antara empat bersaudara tersebut mengisahkan masa-masa sulit meyakinkan orang tua dan kakaknya kala hendak masuk jalur perwira karir.

Keputusan Riski menuntut ilmu kedokteran termasuk tidak lazim di lingkungan keluarga besarnya. Ayahnya, Slamet Riyadi (Siauw Tjai Sing), dan sang ibu, Rita Wibawati (Liem Gwat Nio), membanting tulang di Nguling, Kabupaten Probolinggo, sebagai pedagang.

Semua kakaknya juga berwiraswasta di berbagai usaha. Alumnus SMA Katolik Mater Dei Probolinggo itu kukuh berkuliah di Surabaya untuk membebaskan diri.

’’Kalau keluar rumah lama waktu SMA dulu, saya pasti dicari. Kalau sudah di luar kota (kuliah atau kerja), mau nggak pulang sekalian ya enggak dicari,’’ seloroh dokter yang genap berusia 30 tahun pada 31 Juli nanti tersebut. Pelampiasan membuatnya ”kebablasan”.

Keputusannya mendaftar menjadi tentara direaksi kakak-kakaknya. Mau-maunya si ragil yang menyandang gelar dokter pada 2011 bersusah-susah menjadi prajurit. Apalagi, TNI dianggap memiliki sejarah kelam kala kerusuhan Mei 1998.

  ♙ JPNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.