Senin, 30 Maret 2015

Sekilas Gultor Sat 81

Operasi Woyla, Cikal Bakal Dibentuknya Satgas Gultor Sat-81 Kopassus Latihan Gabungan Satuan Gultor TNI di Madiun (Elza/detikcom)

Keberhasilan Kopassus 34 tahun lalu dalam pembebasan sandera teroris yang membajak Pesawat Garuda di Thailand menjadi tonggak sejarah penanggulangan aksi teror di Indonesia.

Pembebasan sandera pada tahun 1981 yang dikenal sebagai Operasi Woyla tersebut menjadi cikal bakal dibentuknya Satgas Penanggulangan Teror (Gultor) Satuan-81 Kopassus.

Tepat 34 tahun lalu, Sabtu 28 Maret 1981, Pesawat Garuda DC-9 Woyla dibajak oleh organisasi teroris jihad pertama di Indonesia.

Pada 31 Maret 1981, pasukan Komado Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang merupakan nama Kopassus saat itu, berhasil melumpuhkan para teroris dan menyelamatkan seluruh sandera pesawat di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.

Operasi tersebut di bawah komando mantan Pangab Benny Moerdani yang kala itu menjabat sebagai Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) ABRI.

"Itu cikal bakal dibentuknya Sat 81. Dengan itu Pak Benny mendorong terbentuknya Gultor Kopassus. Dengan semangat untuk menjaga keutuhan NKRI, terutama dari aksi-aksi teroris," ungkap Komandan Sat-81 Kopassus Kolonel Inf Thevi Zebua saat berbincang dengan detikcom di Mako Kopassus, Cijantung, Jaktim, Sabtu (28/3/2015).

Sat-81 merupakan satuan elit dari Kopassus yang bertugas dalam penanggulangan teror. Satuan ini sering menggelar latihan bersama dengan satuan Gultor dari TNI AU, Detasemen Bravo (Den Bravo) yang merupakan satuan elit Komando Pasukan Khas (Kopaskhas) dan Gultor TNI AL, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) yang merupakan satuan elit gabungan personel Komando Pasukan Katak dan Taifib Marinir.

Di buku Iwan Santosa dan E.A Natanegara yang berjudul 'Kopassus untuk Indonesia', dijelaskan bahwa keberadaan satuan di TNI dalam penanggulangan teror tidak terlepas dari sejarah keberhasilan Kopassus pada Operasi Woyla. Tak lebih dari 5 menit, seluruh teroris dapat dilumpuhkan dan sandera diselamatkan.

"Terinspirasi dari peristiwa tersebut dan melihat perkembangan situasi serta mengantisipasi maraknya tindakan pembajakan pesawat terbang era 1970/80-an, Kepala BAIS ABRI menetapkan lahirnya sebuah kesatuan baru setingkat detasemen di lingkungan Kopassandha," demikian penjelasan Iwan dan Natanegara dalam bukunya.
Akhirnya pada 30 Juni 1982, berdirilah Detasemen 81 Anti Teror (Den-81 AT) Kopassandha dengan komandan pertama Luhut Panjaitan yang saat itu berpangkat Mayor. Sementara Prabowo Subianto sebagai Kapten menjadi wakil Luhut.

"Kedua perwira tersebut sempat dikirim ke GSG-9 (Grenzschutzgruppe-9) Jerman untuk mendalami penanggulangan teror dan sekembalinya ke Tanah Air dipercaya menyeleksi dan melatih prajurit yang ditunjuk ke Den-81 AT," terang buku 'Kopassus untuk Indonesia'.

Detasemen 81 AT pun seiring perkembangan organisasi berubah nama pada tahun 1996 menjadi Grup 5 Anti Teror. Kemudian pada tahun 2002, namanya berubah lagi menjadi Satuan-81 Kopassus sampai sekarang.
Proses Perekrutan dan Kemampuan Personel Gultor Sat-81 Kopassus Menjadi personel satuan penanggulangan teror Satuan-81 Kopassus tidaklah mudah. Tes yang harus dijalani sangat sulit karena setiap anggota Sat-81 harus memiliki kemampuan luar biasa.

Sat-81 yang berisi orang-orang pilihan merupakan satuan elite dari Pasukan Khusus TNI AD. Berdasarkan buku 'Kopassus untuk Indonesia' yang ditulis oleh Iwan Santosa dan E.A Natanegara, sedikitnya ada 4 tes yang harus dilalui dalam seleksi masuk sebagai anggota Sat-81 Kopassus.

"Proses rekrutmen prajurit penanggulangan teror (Gultor) dimulai sejak seorang prajurit selesai mengikuti pendidikan Para dan Komando di Batujajar," tulis Iwan dan Natanegara dalam bukunya, seperti dikutip pada Minggu (29/3/2015).

Setelah lulus dari pendidikan tersebut, mereka lalu ditempatkan di satuan tempur Grup 1 dan Grup 2 untuk mendapat orientasi atau mendapatkan pengalaman operasi. Dari situ, prajurit yang ingin bergabung dengan satuan elite Gultor harus melewati beberapa tahapan dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Pertama adalah tes IQ yang harus di atas rata-rata 110.

"Kedua tes kesehatan (stakes II), ketiga tes jasmani (kategori BS), dan tes akhir (Pantukhir)," terang buku 'Kopassus untuk Indonesia'.

Stakes II merupakan standar penilaian pada tes kesehatan dengan kondisi yang meski memiliki kelainan atau penyakit derajat ringan, penyakit tersebut tidak mengganggu fungsi tubuh. Sementara kategori BS dalam tes Jasmani berarti orang tersebut memiliki Jasmani Baik Sekali. Untuk tes Pantukhir sendiri biasanya prajurit akan diterjunkan di lapangan untuk diketahui tingkat kemampuannya.

Saat ini Satuan-81 Kopassus dipimpin oleh Kolonel Inf Thevi Zebua dengan wakil Letkol Inf Murbianto. Markas Sat-81 berada di kompleks Mako Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Grup satuan elit ini memiliki personel paling sedikit dari grup-grup lain di Kopassus.

"Karena Sat-81 terdiri dari prajurit-prajurit pilihan yang diseleksi dari setiap grup Kopassus lainnya," kata Thevi kepada detikcom, Sabtu (28/3/2015).

Prajurit Gultor itu harus memiliki spesialisasi kemampuan tinggi. Di antaranya adalah tembak runduk (bakduk) dan freefall atau terjun bebas. Mereka juga memiliki regu dengan spesifikasi kemampuan khusus, yaitu Tim Pasukan Katak (Paska) dan K9 (gugus jihandak).

"Tim Paska adalah Tim Pasukan Katak yang ada di Batalyon bantuan di Sat-81 Kopassus. Prajurit-prajurit di Gultor yang memiliki kemampuan operasi di atas dan di bawah permukaan air. K9 itu Satuan Cakra yang dalam melaksanakan tugasnya menggunakan satwa anjing," jelas Thevi.(ear/dha)
Kesiagaan Perlu Ditingkatkan Maraknya aksi terorisme baik di dalam maupun luar negeri, menjadi perhatian serius para personel penanggulangan teror (Gultor) Satuan-81 Kopassus. Menurut sang komandan, Kolonel Inf Thevi Zebua, readiness atau kesiapsiagaan perlu ditingkatkan.

"Ancaman teror itu kan sekarang sudah maju. Tidak seperti dulu, saat ini lebih kompleks lagi. Kita perlu meningkatkan readiness," ungkap Thevi saat berbincang dengan detikcom di Mako Kopassus, Cijantung, Jaktim, Sabtu (28/3/2015).

Perkembangan aksi teror saat ini disebutnya lebih masive. Para teroris, kata Thevi, bisa dalam waktu bersamaan melalukan tindakan teror di tempat yang berbeda.

"Artinya kita perlu perkembangan lebih lagi dalam melatih (prajurit Gultor). Perlu ada sinergitas, interoperability, informasi harus up to date terus. Ini (penanggulangan teror) tidak bisa diselesaikan oleh satu satuan saja. Harus bersamaan," kata Thevi.

Interoperability sendiri merupakan tuntutan yang harus dimiliki kekuatan pertahanan, mencakup antar-alutsista dan juga antar-kemampuan. Setiap prajurit militer harus menanamkan prinsip ini, di mana interoperability bisa juga ditafsirkan sebagai ketulusan bersinergi dengan mitra lain untuk mencapai keberhasilan yang merupakan tujuan bersama.

Thevi pun memberi contoh, dalam Operasi Woyla pada tahun 1981 lalu, keberhasilan Kopassus tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah. Sebab meski Pesawat yang dibajak teroris Kelompok Jihad merupakan milik Indonesia, lokasi kejadian berada di luar negeri yaitu di Bangkok, Thailand.

"Itu perlu keterlibatan pemerinah. Itu kan terjadi di luar negeri, harus ada hubungan diplomatik yang baik, kita harus memilihara itu. Artinya pada saat itu hubungan kita dengan Thailand sangat baik," tutupnya.(ear/jor)


  detik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.