Rabu, 08 April 2015

"illegal fishing" terjadi akibat kurangnya pengawasan

Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (kiri) berbincang dengan Panglima Armada RI Wilayah Barat, Laksamana Muda TNI Widodo (kanan) dan Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat, Laksma TNI Abdul Rasyid (tengah) di atas KRI Barakuda-633 saat peledakan kapal nelayan asal Thailand di Selat Dempo, Kepri, Senin (9/2/15). Kapal bersama 12 nelayan asing itu ditangkap oleh Kapal Patroli (KP) Hiu 009 Bakorkamla saat menangkap ikan dengan jaring pukat harimau (trawl) di perairan Tambelan, Kepri bulan November 2014 lalu . (ANTARA FOTO/Joko Sulistyo)

Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Dr Joubert Maramis mengatakan illegal fishing yang marak terjadi saat ini akibat masih kurangnya pengawasan di laut.

"Masalah yang melibatkan aspek luasnya perairan laut kita, kecilnya cakupan pengawasan kesatuan penjaga laut dan pantai," kata Joubert, di Manado, Rabu.

Dia mengatakan sedikitnya armada angkutan laut dan polisi untuk mengcover seluruh lautan kita, sedikit dan kurang canggihnya armada tangkap domestik.

Juga, kata Dia, banyaknya pengangguran di daerah pantai serta murahnya ikan di dalam negeri, mahalnya bahan bakar minyak juga menjadi faktor pencurian ikan.

Kebijakan keamanan dan patroli laut yang kurang di kawasan timur indonesia, kepemilikan industri berbasis perikanan lokal dan domestik yang kuran dan faktor lainnya juga memicu terjadinya illegal fishing.

Namun, katanya, tindakan keras atas pencurian ikan saat ini sangat bagus tapi belum menyentuh permasalahan dasar yaitu kita kurang armada tangkap yang beroperasi di laut lepas dan pengawasan keamanan laut kita masih lemah.

"Sebenarnya yang harus ditenggelamkan adalah kapal penampung ikan internasional di laut lepas. Kan yang dibakar hanya perahu penangkap saja bukan yang membeli," jelasnya.

Joubert mengatakan Kalau perahu itu dari luar negeri wajar ditangkap dan dilelang.

"Kita butuh kapal penangkap dari luar negeri atau eks luar negeri tapi jika mau beroperasi di Indonesia maka kapten kapal dan ABK harus 99 persen orang Indonesia," jelasnya.

Jika ada 1.200 kapal eks luar negeri dan sejenisnya maka setidaknya akan ada tambahan tenaga kerja baru sebesar 30.000 sampai 40.000 orang belum lagi tambahan tenga kerja baru di darat.

Sekarang, katanya, ada dua pilihan strategi yaitu pertama kita biarkan seperti apa adanya namun jangka panjang illegal fishing tetap marak di Indonesia. Atau kedua, dua atau tiga tahun ini kita terapkan kebijakan keras namun dimasa depan bangsa Indonesia yang akan menikmati hasil laut melimpah.

Seharusnya dibuat "reinvestment strategy" kapal asing boleh menangkap ikan di Indonesia tapi harus dibongkar di Indonesia dan dikenai pajak ganda.

"Hasil dari pajak ini digunakan untuk beli kapal tangkap untuk dioperasikan oleh BUMN atau BUMD dan semacam koperasi perikanan," jelasnya.

Hasil keuntungan dari BUMN, BUMD atau koperasi perikanan sebagian disisihkan untuk beli kapal tangkap, jadi sejenis dana bergulir pembelian kapal tangkap. Ini sumber financing alternatif selain APBN dan APBD.

Jika ini berjalan konsisten maka 10 tahun depan industri perkapalan kita maju, armada tangkap domestik dan nasional bertambah banyak dan otomatis illegal fishing berkurang.

Tapi memang butuh komitmen dan konsistensi pemda dan pusat serta semua stakehokder yang terkait, pungkasnya.

  Antara  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.