Jumat, 24 April 2015

Supremasi Pertahanan Udara vis-a-vis Hibah F16

F16 52ID TNI AU

Untuk memahami strategi pertahanan negara, selain persepsi dan skala ancaman, perlu juga dijabarkan apa saja konsep mendasar yang menjadi landasan dalam merancang sistem pertahanan negara.

Konsep utama dan paling penting adalah pemahaman akan perang. Untuk perang udara yang menjadi salah satu ikon kekuatan utama perang masa depan, kekuatan pertahanan udara akan terletak juga pada kemampuan pengendalian udara yang mencakup: Supremasi udara (air supremacy) yaitu keadaan yang didefinisikan sebagai tingkat superioritas suatu angkatan udara di mana lawan tidak mampu mengintervensi secara efektif.

Keunggulan udara (air superiority) yaitu keadaan yang didefinisikan sebagai tingkat dominasi oleh suatu angkatan udara untuk dapat melakukan operasi darat, laut, dan udara tanpa dapat dicegah. Terakhir, keadaan udara yang menguntungkan (favorable air situation) di mana situasi pertahanan udara masih sangat terbatas oleh ruang dan waktu sehingga dimungkinkan terjadi intervensi udara oleh musuh.

Operasi pertahanan udara (hanud) terbagi atas hanud aktif dan pasif. Hanud aktif mencakup langkah-langkah seperti penggunaan pesawat, senjata langsung, dan tidak langsung pertahanan udara dan peperangan elektronik. Kegiatan dalam operasi ini meliputi deteksi (elektronis dan visual), identifikasi (elektronis, korelasi, dan visual), dan penindakan (pesawat tempur sergap, rudal jarak sedang, dan rudal taktis) terhadap ancaman kekuatan musuh.

Hanud pasif mencakup semua tindakan selain pertahanan udara aktif, yang diambil untuk meminimalkan efektivitas tindakan musuh dan ancaman rudal. Termasuk antara lain kamuflase, persembunyian, penipuan, pemulihan, deteksi, sistem peringatan, serta penggunaan konstruksi pelindung. Dalam konteks ini, skala ancaman menjadi logika utama bagi pembangunan postur pertahanan udara yang sesuai dengan kondisi terkini untuk mengidentifikasi strategi penangkalan yang efektif dimana di dalamnya organisasi TNI, personel, dan kapabilitas alutsista berada.

Ketiga komponen mendasar dalam postur pertahanan inilah yang akan menentukan sejauh mana negara siap melindungi segenap wilayahnya. Komponen alutsista dalam konteks ini menjadi faktor utama bagi kedua komponen lainnya. Karena itu, persoalan alutsista bukanlah persoalan yang mudah. Isu seputar transparansi anggaran hanyalah porsi kecil dari kompleksitas pengadaan alutsista. Ketika anggaran selalu menjadi fokus utama, masalah perencanaan kebutuhan alutsista yang sebetulnya menjadi sumber dari permasalahan sering menjadi terabaikan.

 Rencana Hibah 

Mencermati rencana beli hibah F16 C/D yang diriuhkan, kita harus mengaitkan pada perimbangan kekuatan udara kawasan. Dengan skenario hibah nanti akan ada beberapa jenis pesawat di kawasan di antaranya:

(1) F-16 C/D hibah yang dibekali radar APG-68(v) dengan kemampuan mencari 80 mil laut;
(2) F-16 D+ Block 52 yang dibekali APG-68(v)9 dengan kemampuan mencari 160 mil laut;
(3) JAS-39 Gripen yang dibekali radar PS-05/A dengan kemampuan mencari 160 mil laut;
(4) SU-30 MKI yang dibekali NIIP N011M Bars dengan kemampuan mencari 173 mil laut.

Jarak jangkau radar pesawat hibah kelak, jika dihadapkan terhadap pesawat negara kawasan, hanya akan mampu menangkap target di jarak 80 mil laut. Padahal, pesawat negara kawasan seperti F-16 D+ Block 52, JAS-39 Gripen,dan SU-30 MKI sudah mampu menangkap target sejak di jarak 160 Nm – 173Nm. Ditambah dengan teknologi IFF (Identification Friend or Foe) yang dimilikinya barisan pesawat kawasan telah memiliki interrogator sehingga apa yang tertampil di radar akan langsung terbaca sebagai lawan atau kawan.

Keadaan ini menjadi lebih rumit di masa perang jika suatu hari tanpa terduga negara kita dihadapkan pada serangan udara. Jika kita asumsikan pesawat-pesawat musuh adalah F-16 D+ Block 52, JAS-39 Gripen,dan SU-30 MKI, selain sudah menangkap target sejak di 160-173 mil laut, mereka dapat mengaktifkan kemampuan ECCM/ anti jamming, melaksanakan mekanisme notching. Hal ini akan dilakukan pesawat musuh untuk mencegah radar pesawat hibah menangkap posisi mereka hingga bisa lepas dari jarak tembak efektif misil Amraam atau R27RI di 40-45 mil laut.

Permasalahan lain, 24 pesawat hibah kita yang terdiri atas double seater dan single seater rata-rata sudah mencapai usia 6.500 jam terbang sehingga yang akan tersisa hanya +1500 jam terbang. Mengingat time line delivery pesawat hibah kita pada 2014,ini akan menjadikan pesawat hibah hanya dapat digunakan +10 jam/bulan agar bisa digunakan hingga 2024, saat pesawat tersebut siap digantikan oleh pesawat tempur KFX kerja sama kita dengan Korea.

Jumlah penggunaan jam tersebut sulit diwujudkan karena fungsi pesawat tempur kita memiliki tugas rangkap, baik sebagai pesawat latih, pesawat pengamanan, maupun sebagai pesawat pertahanan udara. Artinya, usia pesawat hibah akan lebih pendek dari 10 tahun dan akan terdapat jeda kekosongan kekuatan pertahanan udara kita antara usainya waktu penggunaan pesawat hibah dan datangnya pesawat KFX.

Kemampuan untuk mengidentifikasi sisi kelemahan pertahanan udara kita terhadap ancaman merupakan langkah awal yang strategis dalam membangun kekuatan sistem pertahanan dan postur. Mengingat persoalan kepentingan nasional tidak mengenal istilah KNM (Kepentingan Nasional Minimum), penetapan Minimum Essential Force (MEF) haruslah turun dari logika pembangunan pertahanan negara yang didasarkan pada identifikasi ancaman terhadap kepentingan nasional yang harus tetap terjaga.

Karena itu, ukuran akan perubahan geopolitik kawasan, spektrum ancaman, kuantitas alutsista yang berkualitas, dan perimbangan kekuatan relatif menjadi hal terpenting yang harus digaris bawahi. Bukankah lebih baik kita memiliki lebih sedikit pesawat tempur yang memiliki kualitas perimbangan daya tempur relatif terhadap kekuatan udara kawasan dibandingkan mengedepankan kuantitas dengan segala keterbatasannya?

Polemik pembelian alutsista TNI dapat dihindari dengan berpedoman pada grand strategy pertahanan, program pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang bagi kebutuhan satuan skuadron, kebijakan serta politik anggaran yang tepat dan tidak selalu memutuskan pembelian alutsista dengan orientasi keterbatasan, serta fluktuasi dan alokasi anggaran. Dalam mewujudkan kepentingan nasional, supremasi udara dan cita-cita TNI AU akan The First Class Air Force, pepatah telah mengatakan: Nervi Belli Pecunia Infinita, anggaran tak terbatas merupakan kekuatan perang itu sendiri.

(CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE/Direktur Defense and Security Studies-Indonesia Maritime Institute,Dosen FISIP Universitas Indonesia)

  ♔ TNI AU  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.