Kamis, 07 Mei 2015

☆ Merindukan dan Melupakan Batu Nisan Suparlan

Kisah heroik Prada Satu (Pratu) Suparlan menjadi salah satu kebanggaan bagi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) saat ini. Kehebatannya membunuh puluhan pasukan Fretelin, Timor Timur melegenda di kalangan prajurit.

Namanya terpahat di atas batu granit hitam Monumen Seroja, Kompleks Markas Besar (Mabes) TNI Cilangkap. Namanya juga diabadikan menjadi lapangan udara di Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lapangan Udara Batujajar.

Adiknya, Suharjono (50), begitu bangga dengan kisah Suparlan itu. Sejak gugur di medan perang pada 1980, keluarga hanya sekali berziarah ke makam Suparlan. Itu pun diwakili ayahnya Sudarmo.

Pahlawan korps baret merah ini dikebumikan di Timor-Timur. “Ayah baru satu kali ziarah, kalau tidak salah pada 1984 atau 1985. Saya lupa. Keluarga ingin makam Suparlan dipindahkan ke kampung halaman di pemakaman Kusumanegara, Yogyakarta,” tutur Suharjono saat HUT ke-63 Kopassus di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (29/4) lalu. Permintaan Suharjono itu menjadi kerinduan terpendam selama puluhan tahun. Keluarga besar tak pernah bertemu dengan nisan Suparlan. Keterbatasan keuangan membuat keluarga besar tidak mungkin memboyong Suparlan terbang kembali ke Yogyakarta.

Bahkan, sekadar untuk berziarah selalu terkendala uang. Padahal, anak kedua dari pasangan Sawire dan Sudarmo itu menjadi pujaan dikalangan prajurit Kopassus. “Ingin setahun sekali ziarah ke makam kakak saya. Tapi, dari mana biayanya,” ucapnya.

Suharjono sudah dua kali diundang dalam perayaan HUT Kopassus, pada 1987 dan 2015. Kali pertama, ia datang bersama ayahnya. Kini, saat ayahnya sakit, ia datang bersama ibunya.

Dulu Suparlan menjadi kebanggaan keluarga. Namun, ia hanya meninggalkan uang pensiunan yang tidak pernah cukup untuk kebutuhan keluarganya.

Anak Suharjono sangat takjub dan takzim mendengar cerita paman mereka itu. Seorang di antaranya kini menjadi taruna TNI dan sangat mengidolakan Suparlan, yang hanya diketahuinya dari berbagai cerita orang tuanya. “Dia sangat senang dengar cerita pamannya,” katanya.

 Anak Pendiam 

Ibunda Suparlan, Sawire, mengatakan anaknya sejak kecil dikenal sebagai pemberani dan berkepribadian tangguh. Ia tak ingin merepotkan kedua orang tuanya, mandiri, dan agak pendiam. “Suparlan anak kedua dari lima anak saya. Anaknya rajin. Pandai bela diri,” cerita Sawire.

Ayahnya, yang juga pensiunan militer, banyak memengaruhi Suparlan untuk menjadi anggota TNI yang hebat. Karena itu, setelah lulus sekolah menengah atas (SMA), keinginan Suparlan hanya masuk akademi militer. Niatnya yang kuat membuatnya lulus dengan sangat baik.

Dalam usia 22 tahun, ia bertugas di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang merupakan cikal bakal Kopassus. Dua tahun kemudian, ia ditugaskan meredam konflik di Timor-Timur.

Namun, di Timor Timur itulah ia menunjukkan kehebatannya sebagai prajurit. Ia berperang dengan pasukan Fretelin dan menunjukkan kehebatannya sebagai prajurit, hingga nyawanya kembali ke pangkuan Ilahi.

Banyak rekannya menceritakan kehebatannya. Cerita-cerita itu telah banyak menginspirasi Kopassus. Bagai kisah Rambo, Suparlan menaklukkan puluhan musuh hanya seorang diri, seperti cerita film Lone Survivor.

Laman situs resmi Kopassus juga mengisahkan kehebatan Suparlan; bermula saat satu unit gabungan berjumlah sembilan orang, terdiri atas empat personel Kopassus dan lima personel Kostrad. Pasukan ini dipimpin Letnan Poniman Dasuki untuk melaksanakan Patroli di Zona Z di pedalaman Timor. Daerah ini adalah daerah yang sangat rawan. Di sana ada tokoh Fretelin seperti Lobato, Lere, dan David. Saat itu Xanana Gusmao belum muncul.

Saat patroli itulah mereka bertemu Fretelin yang berkekuatan sekitar 300 orang dengan senjata lengkap. Bahkan, anggota Fretelin tersebut berpengalaman perang di Angola, Mozambik, hasil didikan Tropaz Portugis.

Suparlan berhasil menyergap pos pengamatan Fretelin. Sayang, aksinya kemudian diketahui dan memancing pertempuran dengan jumlah pasukan besar.

Suparan dikepung Fretelin dari berbagai sisi. Ia berperang seorang diri setelah semua rekan-rekannya roboh ditembak pasukan Fretelin. Ia melawan komando pemimpinnya untuk mundur demi menyelamatkan rekan-rekannya yang lain.

Bagi Kopassus, Suparlan lebih dari sebuah kisah heroik prajurit. Suparlan adalah kehormatan sebagai prajurit, negara, laki-laki perkasa dengan harga diri tinggi.

Kisah ia dihujani banyak peluru oleh musuhnya, berlari menyambut lawan dengan berani, akan selalu digunakan Kopassus untuk menyemangati pasukan muda. Suparlan banyak dirindukan rekan-rekannya yang masih hidup, ketika mengingat jatuh bangun berupaya menghindar peluru sambil terus menembak mendekati musuh.

Tak terhitung berapa banyak peluru yang bersarang di tubuhnya, tetapi ia tetap buas menembak lawan dengan senjata milik rekannya yang sudah roboh.

 Kehabisan Amunisi 

Konon, Suparlan roboh bukan karena terkena timah panas. Saat semua amunisi senjatanya habis, Suparlan beradu fisik dengan anggota Fretelin menggunakan pisau. Enam anggota Fretelin tewas dengan pisaunya itu.

Jelang akhir hayatnya, ia masih sempat meledakan granat yang ada di sakunya, saat puluhan anggota Fretelin berkumpul mengelilinginya. Setidaknya, nyawa tujuh anggota TNI pimpinan Suparlan dibalas dengan 83 anggota pasukan Fretelin.

Namun, dari pengakuan sejumlah anggota Fretelin yang ditangkap pasukan TNI di kemudian hari, dalam perang seharian itu, Suparlan hanya berperang seorang diri. Enam anggota TNI lainnya lebih dahulu tewas di tangan Fretelin.

Tak banyak yang mengenal Suparlan, pahlawan yang raganya masih tertambat di Timor Timur, negara pecahan Indonesia. Tidak banyak orang peduli akan dirinya.

Hanya keluarga dan Kopassus yang mengenangnya. Sedikit penghargaan untuk pemuda itu, tetapi amat dirindukan Kopassus akan sosoknya yang berani bertarung seorang diri. Namun, batu nisan pahlawan Kopassus itu tak bisa dipulangkan ke tanah leluhurnya karena kesulitan ekonomi keluarganya.

  sinarharapan  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.