Kamis, 04 Juni 2015

Mau Jadi Poros Maritim Dunia, Indonesia Telat 30 Tahun

Rektor Kepala Bidang Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan Koropitan mengatakan bila Indonesia ingin bercita-cita menjadi poros maritim dunia saat ini, sudah terlambat. “Pemerintah itu terlambat 30 tahun bercita-cita itu,” katanya saat dihubungi Senin, 1 Juni 2015.

Dia mengatakan sebenarnya cita-cita itu sudah pernah dicetuskan pada tahun 1983 oleh IPB. Dengan niat itu pula, IPB menggagas pembentukan program studi ilmu teknologi kelautan.

Pada tahun 1985-1989, inisiasi IPB diadopsi secara nasional melalui Proyek Pengembangan dan Pendidikan Ilmu Kelautan. “Hasilnya ada program studi ilmu teknologi kelautan di enam universitas berbeda,” katanya.

Keenam program studi dan universitas itu, adalah IPB dengan program studi eksplorasi sumber daya hayati laut, lalu ada Universitas Riau dengan program studi lingkungan laut, kemudian ada Universitas Diponegoro dengan program studi budi daya laut.

Selanjutnya ada pula Universitas Hasanuddin dengan program studi budi daya laut kemudian Universitas Sam Ratulangi dengan program studi farmakologi laut, terakhir ada Universitas Pattimura dengan program studi eksplorasi sumber daya hayati laut.

Dengan pembentukan program studi itu, kata Alan, ada banyak fasilitas yang sudah diinvestasikan, seperti kapal riset canggih kala itu dan stasiun lapang. “Melalui proyek ini juga telah disekolahkan 160 PhD dan banyak master,” kata Alan. Sayang, pemerintah tidak memberikan perhatian penuh pada dunia kemaritiman. Sehingga banyak alat-alat canggih kala itu sudah usang dan tidak terurus lagi saat ini.

Menurut Alan, bila pemerintah Indonesia bisa konsentrasi lebih awal dan meneruskan perkembangan ilmu kelautan di Indonesia saat itu, ia yakin industri kelautan akan berkembang. “Seharusnya Indonesia bisa menjadi poros maritim dunia saat ini,” katanya. Menurutnya, bila Indonesia sudah baik dalam hal ilmu pengetahuan di bidang kelautan, ia yakin industri dan bisnis pun akan berkembang dengan sendirinya.

Guru besar akustik kelautan IPB, Bonar P. Pasaribu, mendukung pendapat Alan. Dalam keterangan persnya, Bonar mencontohkan Jepang. “Mereka mencurahkan seluruh perhatian akademik mereka sejak 1946 untuk mencari pangan di laut,” kataya.

Sampai saat ini pemerintah Jepang pun masih menyediakan fasilitas laboratorium, serta beberapa kapal riset untuk perguruan tinggi dengan ukuran rata-rata di atas 1.000 gross tonnage. Hasilnya, Negeri Sakura itu menjadi salah satu negara yang dilirik dunia di bidang kelautannya.

Hal itu berbanding terbalik dengan Indonesia. Pengadaan sarana di kampus yang ada program studi ilmu teknologi kelautan berjalan lamban. Anggaran juga terbatas untuk menunjang pendidikan kelautan. “Alhasil peralatan laboratorium dan kapal riset telah usang dan rusak karena berusia lebih dari 25 tahun,” katanya.

  Tempo  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.