Minggu, 09 Agustus 2015

Tata Ulang Pengadaan Alutsista

⚓️ Oleh AL Araf KRI & Pesawat TNI AL

"Dalam satu bulan terakhir sudah empat kali pesawat Hercules rusak.” Begitu ungkapan orangtua navigator Hercules C-130B yang jatuh di Medan, seperti dikutip media (2/7).

Meski sebab musabab jatuhnya pesawat masih dalam proses penyelidikan, cerita tentang alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah tua dan tidak layak pakai sering kita dengar.

Jatuhnya pesawat Hercules di Medan membuat kita berduka. Peristiwa ini kembali menambah deret panjang kecelakaan alutsista yang dimiliki TNI. Sebelum peristiwa di Medan, pesawat tempur F-16 terbakar di ujung landasan pacu Halim Perdanakusuma pada 16 April 2015.

Presiden Jokowi menyatakan bahwa insiden kecelakaan pesawat Hercules C-130 merupakan momentum untuk memperbarui alutsista. Menurut Presiden, perlu ada perombakan mendasar dalam manajemen alutsista, mulai dari tahap pengadaan alutsista hingga pelibatan industri pertahanan dalam negeri. Selain itu, perlu ada audit total terhadap seluruh alutsista yang dipergunakan TNI. Sejak 2007, Kementerian Pertahanan sebenarnya telah membuat buku produk strategis tentang pembangunan postur pertahanan negara. Buku itu memberikan gambaran kondisi kekuatan pertahanan pada saat ini dan rencana pembangunan kekuatan pertahanan pada masa mendatang yang disusun dalam kekuatan personel, organisasi, dan alutsista.

Sayangnya, buku itu sifatnya terbatas dan tak boleh dikutip tanpa seizin Kementerian Pertahanan. Padahal, syarat membangun modernisasi persenjataan yang kuat membutuhkan transparansi dan akuntabilitas di dalamnya. Dalam sistem demokrasi, kebijakan pertahanan dan anggaran pertahanan sepantasnya tidak dikategorikan sebagai rahasia dan terbatas.

Transparansi dan akuntabilitas anggaran serta kebijakan menjadi penting agar masyarakat mengetahui realitas kondisi kekuatan pertahanan hari ini dan rencana pembangunan kekuatan pertahanan ke depan sehingga harapan dan dukungan publik dapat mengalir dalam kerangka mendukung penguatan alutsista. Di masa kini, persoalan pertahanan dan keamanan tak lagi sebatas urusan elite, tetapitelah menjadi kepentingan publik. Masyarakat sangat berkepentingan terhadap terjaminnya rasa aman mereka dan karena itu transparansi dan akuntabilitas di sektor pertahanan jadi penting.

Mengingat buku produk strategis tentang postur pertahanan negara yang dikeluarkan 2007 itu terbatas, bisa disampaikan bahwa gambaran umum kondisi alutsista di Indonesia masih minim dan terbatas. Sudah saatnya alutsista yang sudah tua dan tak layak pakai tak lagi digunakan para prajurit TNI. Presiden sebenarnya dapat menggunakan data 2007 itu untuk bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan yang tegas tentang alutsista yang dapat digunakan TNI dan alutsista yang untuk sementara waktu belum dapat digunakan TNI sampai terdapat audit menyeluruh terhadap kondisi alutsista yang akan dilakukan pemerintahan Jokowi.

 Hambatan 

Pembangunan postur pertahanan negara menurut rencana akan dilakukan secara bertahap. Upaya untuk merealisasikan pembangunan postur pertahanan negara itu kemudian diikuti dengan peningkatan anggaran pertahanan dan pembangunan program Minimum Essential Force (MEF) yang sudah berjalan sejak 2010 dan menurut rencana berakhir pada 2024.

Sudah beberapa tahun ini anggaran untuk sektor pertahanan sebenarnya telah meningkat setiap tahun, di mana untuk tahun 2015 anggaran sektor pertahanan mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 95 triliun. Selain itu, sejak 2010-2014 anggaran untuk MEF dialokasikan Rp 156 triliun dengan sifat multiyears dalam penganggarannya. Untuk tahun 2015-2019 alokasi anggaran untuk program MEF direncanakan mencapai Rp 157 triliun.

Secara konsepsi, rencana pembangunan kekuatan pertahanan secara bertahap itu sudah benar. Di tengah tingkat pertumbuhan ekonomi yang belum maksimal dan adanya keperluan di sektor lain di luar pertahanan, langkah Kementerian Pertahanan membuat tahapan-tahapan itu menjadi rasional.

Memang anggaran untuk sektor pertahanan akan selalu kurang ideal mengingat belanja di sektor pertahanan membutuhkan biaya tinggi. Naik atau turunnya anggaran pertahanan salah satunya juga dipengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah telah menyampaikan bahwa anggaran pertahanan akan naik hingga Rp 200 triliun jika pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen. Keterbatasan anggaran memang menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan kekuatan pertahanan. Namun, di tengah keterbatasan itu pemerintah perlu konsisten menerapkan strategi bertahap dalam pembangunan kekuatan pertahanan dan menyusun skala prioritas dalam perencanaan pengadaan alutsista dengan benar.

Jika pemerintah taat dan konsisten untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan pertahanan yang sudah dibuat dengan skala prioritas yang baik, sebenarnya secara bertahap kita mampu mencapai pembangunan kekuatan pertahanan ideal di masa yang datang.

Persoalannya adalah kadang kala pemerintah tidak konsisten untuk menjalankan kebijakan yang sudah dibuat dan pembelian alutsista keluar dari rencana yang sudah ada. Adanya kepentingan ekonomi ataupun kepentingan politik kadang memengaruhi perubahan pembelian alutsista. Dengan demikian, hal ini juga akan menjadi faktor penghambat dalam pembangunan alutsista.

 Kondisi obyektif 

Pemerintah dapat saja membeli alutsista di luar yang sudah direncanakan sepanjang terdapat realitas kondisi obyektif yang memerlukan perubahan pembelian alutsista. Kondisi obyektif itu sangat terkait dengan perubahan dinamika lingkungan strategis dan realitas ancaman. Dalam konteks kebijakan pertahanan, faktor ancaman dan perubahan lingkungan strategis akan memengaruhi upaya pemerintah dalam menangkal ancaman sehingga rencana pembangunan postur pertahanan negara dan kebutuhan anggaran biasanya berpijak pada faktor obyektif.

Pada 2007, pemerintah sebenarnya telah membuat produk strategis pertahanan negara dengan mempertimbangkan kondisi obyektif yang ada. Namun, jika saat ini pemerintah menilai perlu ada evaluasi dan review atas produk strategis yang telah dibuat pada 2007—karena ada pemetaan yang berbeda atas perubahan dinamika lingkungan strategis—menjadi penting buat Presiden untuk meminta Menteri Pertahanan agar mengkaji ulang produk strategis pertahanan yang sudah dibuat dan memperbaikinya. Apalagi, saat ini visi Presiden Jokowi lebih tegas tentang pentingnya pembangunan kekuatan maritim dan itulah yang membedakannya dengan pemerintahan sebelumnya.

Hambatan berikutnya dalam memodernisasi alutsista adalah terkait dengan persoalan transparansi dan akuntabilitas di sektor pertahanan. Hingga kini masih sering kita dengar kabar miring tentang dugaan penyimpangan dalam pengadaan alutsista. Bahkan, salah satu media nasional pernah melakukan investigasi dugaan permainan suku cadang palsu dalam proses pemeliharaan alutsista.

Kabar miring tentang dugaan praktik penyimpangan alutsista akan selalu terdengar sepanjang proses reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997 belum dilakukan. Dengan reformasi peradilan militer, akuntabilitas hukum dalam pengadaan alutsista akan jauh lebih baik. Melalui reformasi peradilan militer, yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas mengadili tindak pidana militer, sementara terkait dengan tindak pidana umum yurisdiksi peradilannya melalui mekanisme peradilan umum. Jika agenda reformasi peradilan militer dapat terwujud, lembaga independen seperti KPK akan lebih memiliki kekuatan di dalam memantau dan menyelidiki dugaan kasus penyimpangan dalam pengadaan alutsista.

Persoalan keterlibatan pihak ketiga atau rekanan kadang juga menjadi faktor penghambat dalam memodernisasi alutsista. Keterlibatan rekanan bisa menjadi sumber terjadinya penyimpangan dalam pengadaan alutsista. Pemerintah sebaiknya memilih jalur government to government dalam pengadaan alutsista dan menghindari sejauh mungkin pelibatan rekanan alias broker dalam pengadaan.

Selain itu, seluruh rapat antara pemerintah dan DPR dalam pengadaan alutsista dan pembahasan anggaran juga sebaiknya terbuka untuk publik, kecuali data sensitif. Lebih dari itu, sikap Presiden yang menyatakan perlunya pelibatan industri pertahanan dalam negeri untuk pengadaan alutsista perlu disambut positif dan direalisasikan Kementerian Pertahanan dan TNI.

Meski kapasitas industri pertahanan dalam negeri masih terbatas, sejauh mungkin pengadaan alutsista diprioritaskan dari industri pertahanan dalam negeri. Jika industri pertahanan dalam negeri tidak mampu, sebaiknya pembelian alutsista dari luar negeri bisa berkontribusi pada pembangunan industri pertahanan dalam negeri melalui mekanisme offset seperti transfer teknologi. Pengadaan alutsista sejauh mungkin menghindari pengadaan alutsista bekas. Meski terkesan murah dan bisa didapatkan dalam jumlah yang banyak, tetap saja kualitas alutsista bekas masih di bawah kualitas alutsista yang baru. Belum lagi biaya retrofit, upgrade, dan pemeliharaan alutsista bekas juga akan memakan biaya tak sedikit.

Membangun kapabilitas TNI yang kuat dengan alutsista yang modern tentu menjadi kebutuhan kita bersama. Namun, modernisasi itu perlu dibarengi dengan proses yang transparan dan akuntabel. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa alutsista yang akan digunakan para prajurit TNI benar-benar aman, nyaman, dan efektif untuk pertahanan negara.

Sudah saatnya sikap Presiden Jokowi yang mengingatkan perlunya perombakan dalam sistem pengadaan alutsista direalisasikan oleh Kementerian Pertahanan dan TNI. Perombakan perlu segera dilakukan secara komprehensif dari hulu hingga hilir.

Al Araf, Direktur Program Imparsial dan Mengajar di HI Universitas Paramadina dan Al Azhar Jakarta

  ⚓️ Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.