Senin, 28 September 2015

Mencintai Detail lewat Model Kit

WAJAH Ardiansyah, tampak berbinar-binar. Ditemui di Mall Central Park, Jakarta Barat, kedua tangan lelaki berusia 37 tahun ini penuh dengan belanjaan. Bukan baju atau sepatu yang dibelinya, melainkan berkotak-kotak model pesawat terbang. Salah satunya model pesawat jenis Junkers Ju 88A-4, pesawat penyerang Jerman. Para pehobi model pesawat dan kapal biasa juga disebut model kit. Model pesawat yang baru dimiliki Ardiansyah bukanlah barang murah. Di pasaran, model pesawat itu yang dilengkapi bom, dihargai lebih dari Rp 1 juta.

Sejak 2004 lalu, Ardiansyah memang menekuni hobinya merakit model berskala ini. Dalam semalam saja, dia bisa menghabiskan Rp 3,8 juta untuk membeli beberapa model sekaligus. "Saya menyisihkan rata-rata 10% dari gaji, kadang tidak tentu, tergantung izin istri," ujarnya sembari tertawa kecil. Ardiansyah mengacungi jempol untuk Dani, 29, yang hobinya merakit kapal laut. "Lihat itu, meriamnya saja lebih kecil daripada ukuran nyamuk," seru Dani menunjuk meriam di salah satu model kapal militer yang terdapat di toko penjual model kit di mal itu. Banyak bagian-bagian tambahan yang memerlukan teknik khusus untuk membuat model kapal terlihat seperti aslinya.

Termasuk di antaranya melipat kuningan berukuran kecil atau memanaskan plastik lalu menariknya sedemikian rupa hingga membentang seperti tali yang panjang dan tipis. Penyelesaian satu unit model kapal bisa memakan waktu 1 bulan - 4 bulan. Untuk menunjang hobinya, Dani dan Ardiansyah bergabung dengan Indonesian Scale Modellers Society (ISMS), paguyuban para pecinta model berskala di Indonesia. Komunitas itu berawal dari mailing list (milis) yang dibentuk 1999. Di situ mereka membahas berbagai hal terkait perakitan model kit dan info terbaru.

Karena antusiasmenya tinggi, ISMS terbentuk pada 3 Juni 2001 di Jakarta. Selain rutin berdiskusi lewat berbagai media komunikasi secara berkelompok, komunitas itu sesekali kumpul di toko Peter & Partner yang berada di mal tersebut. Toko ini memang milik salah seorang pendiri ISMS, yakni Peter Nur Asan. Ada meja di satu sudut toko itu yang dilengkapi peralatan merakit model kit dan menghiasnya hingga semirip asli. Pemula bisa saja datang ke sana untuk bertanya tentang teknik-teknik tertentu.

Setiap dua bulan, mereka mengadakan acara tantangan untuk merakit model dengan tema-tema khusus. Menurut Alex Sidharta, 44, secara umum orang-orang yang tergabung di komunitas tersebut bisa digolongkan dalam dua jenis, yakni yang hanya gemar merakit dan yang mencintai dunia luas dari model yang dirakitnya. Sebelum merakit, pehobi di golongan kedua akan terlebih dulu melakukan riset soal sejarah, filosofi, peruntukan, dan segala hal terkait model kit tersebut. Riset tersebut bisa berlangsung tahunan dan perakitannya bisa mencapai tiga bulan.

Riset juga bukan hanya lewat penelusuran internet atau membaca buku, melainkan juga bertanya langsung dengan pakar sejarah dan saksi sejarah yang masih hidup. Tak mengherankan jika hasil karya pehobi golongan kedua ini begitu detail. Anda bahkan bisa mendapati stiker khusus di sisi pesawat, bahkan efek debu yang sengaja dibubuhi di bagian bawah pesawat. Soal noda debu itu, jelas Alex, dibuat karena perakitnya menemukan pesawat tersebut dahulu dipakai di landasan pesawat yang kontur tanahnya tidak dicor atau beraspal. "Pesawat Amerika biasanya tercatat dengan lebih spesifik, bahkan dokumentasinya bisa memberi tahu lecetnya ada di mana," imbuh Alex yang sehari-hari berprofesi sebagai arsitek.

  Melestarikan sejarah 

Pera pehobi model kit mengaku ada kepuasan ketika berhasil menyelesaikan model rakitan sendiri. Berbeda dengan hanya menjadi kolektor. Namun, sejak 2010, ISMS mulai merasa sudah waktunya komunitas tersebut berkontribusi bagi masyarakat. Tangan terampil mereka dan ketekunan menelusuri sejarah pun dimanfaatkan untuk mereproduksi sejarah.

Ditemui dalam acara Pecha Kucha Night bertema Altitude yang diselenggarakan Maverick di Jakarta (16/9), ISMS memaparkan kegiatan mereka membuat replika pesawat TNI Angkatan Udara (AU) sejak pesawat pertama yang Indonesia miliki (1945) hingga kini.

Sejauh ini, mereka sudah menyelesaikan 40 dari total 100 model pesawat yang mereka targetkan. Model pesawat mereka pun secara permanen dipamerkan di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala Landasan Udara Adisutjipto Yogyakarta. Hobi merakit model berskala memang bisa menguras banyak biaya. Namun, selain turut berperan dalam mereproduksi sejarah, masih banyak manfaat lainnya. Melatih kesabaran dan kejelian hanyalah dua antaranya yang paling kentara. Kadang, model kit yang tersedia pun kualitasnya tidak terlalu presisi.

Jadi, harus disiasati sendiri biar tetap mirip dengan yang asli. Tidak jarang pula pehobi harus menunggu lama untuk mendapatkan model yang ingin dirakit. "Saya pernah melihat pesawat tempur Tomcat saat masih kelas 2 SMP dan baru dapat model kit-nya tiga bulan lalu. Jadi, puluhan tahun saya bersabar," ungkap Alex sambil tertawa ringan. Merakit model berskala juga melatih pengetahuan teknis. Meski tersedia berbagai perlengkapan yang disesuaikan dengan kebutuhan merakit model, secara intuitif alat yang digunakan pun bisa disiasati. Hendy, 35, seorang pedagang yang menggeluti hobi itu sejak 12 tahun silam contohnya. Ia kadang membeli peralatan dokter gigi untuk menyiasati rakitannya. Meski peruntukannya berbeda, tetap bisa digunakan untuk tujuan fungsional yang sama. Refleks intuitif yang fleksibel semacam itu bisa mendukung kehidupan sehari-hari.

 Berikut foto dan Video Hawk Mk53 model Kit : 

[​IMG]


  mediaindonesia  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.