Jumat, 09 Oktober 2015

Industri Strategis Makin Maju

Perencanaan Kebutuhan Tahun Jamak TNI dan Polri Sangat Penting Badak Pindad

Industri alat utama sistem persenjataan atau alutsista nasional kian maju di pasar global. Kemampuan industri strategis nasional untuk memproduksi dan mengekspor alutsista terus tumbuh seiring meningkatnya pembelian oleh para pengguna di dalam negeri, antara lain TNI dan Polri.

Peran TNI dan Polri meningkatkan belanja alutsista pada industri strategis nasional, seperti PT Pindad, PT PAL, PT Dirgan-tara Indonesia, dan PT LEN Industri, sangat penting. Apalagi, Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet paripuma pada 3 November 2014 mengarahkan, untuk memotivasi produksi dalam negeri, pemerintah harus berani memasukkan anggaran bagi industri pertahanan, seperti PT Pindad atau PT PAL, untuk menaikkan omzet 30 persen hingga 40 persen per tahun.

Saat ini, belanja alutsista negara dari industri strategis nasional baru sekitar 1,5 persen dari sekitar Rp 150 triliun total anggaran pertahanan dan keamanan. Pemerintah perlu lebili serius mendukung penyerapan produk dalam negeri demi memacu kemandirian industri strategis nasional.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Supiadin Ari^s Saputra, di Jakarta, Minggu (4/10), mengatakan, pengguna produk industri strategis nasional, seperti TNI, Polri, dan Kementerian Pertahanan, belum Industri Strategis Makin Maju optimal menyerap produk dalam negeri. Padahal, dari sisi kemampuan produksi dan teknologi, industri strategis nasional sebenarnya mampu memproduksi alutsista berkualitas tinggi.

Dari hasil peninjauan Komisi I DPR ke sejumlah perusahaan, industri dalam negeri kita mampu. Tinggal bagaimana TNI mengomunikasikan kebutuhan jangka panjang mereka lalu perusahaan nasional mengembangkan dan memproduksi sesuai proyeksi itu,” kata Supiadin, yang juga pumawirawan TNI.

DPR mendorong Kemenhan bersama TNI menyusun perencanaan pengadaan alutsista jangka panjang lengkap dengan rincian spesifikasi kebutuhan agar dapat dipenuhi industri strategis nasional. Dengan demikian, kata Supiadin, industri strategis nasional bisa membuat riset, uji coba, dan memproduksi alutsista sesuai kebutuhan TNI dan Polri yang setelah diproduksi massal juga dapat diekspor.

"Terkadang pengguna mau beli produk dalam negeri, tetapi tidak ada anggaran. Di sisi lain, industri dalam negeri mengeluh, menyediakan banyak peluru dan senjata, tetapi tidak dibeli. Kuncinya pada komitmen pemerintah untuk menyediakan anggaran yang cukup bagi sektor hankam,” kata Supiadin.

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Peijuangan Trimedya Panjaitan mencontohkan, Polri membutuhkan kapal patroli cepat untuk pengamanan wilayah perairan. Namun, Polri membeli kapal asing. Ia meminta Polri membuat perencanaan dan menyinkronkannya dengan industri strategis nasional. ”Supaya ke depan, industri nasional dapat menyediakan kebutuhan Polri akan kapal cepat,” ujamya.

Secara terpisah, Direktur Utama PT Pindad Silmy Karim mengatakan pentingnya pemerintah, TNI, dan Polri menyusun kebutuhan alutsista jangka panjang. "Dengan perencanaan yang jelas, perusahaan bisa riset dari sekarang, mempersiapkan SDM, dan dalam masa tertentu targetnya terpenuhi. Namun, tentu harus ada jaminan produk yang diproduksi akan dibeli. Jangan sampai industri dalam negeri sudah memproduksi, tetapi malah pesanannya yang tidak berkelanjutan,” katanya.

Pindad memproduksi senapan mesin ringan SS2, mortir tanpa suara melengking, peluru tembus baja, dan kendaraan tempur Anoa. SS2 sudah diekspor ke Afrika dan Timur Tengah.

PT Sari Bahari di Kota Malang, Jawa Timur, juga mampu memproduksi kepala roket asap dan memasok TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Darat sejak 2000. Perusahaan ini juga menyuplai selongsong bom untuk perang dan bom latih TNI AU sejak 2007.

 Rayuan rekanan 

Ketua Bidang Perencanaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Muhammad Said Didu mengungkapkan, di Asia, sebenarnya industri strategis Indonesia hanya kalah dari Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. ’’Kalau di Asia Tenggara paling unggul,” ujarnya Penyebab utama rendahnya belanja alutsista domestik ke industri strategis nasional adalah dampak maraknya rekanan pengadaan. Rekanan ini sering kali merayu pengguna alutsista domestik untuk membeli produk-produk asing.

"Penyebab utamanya, terus terang, adalah pedagang, supplier, trader, atau rekanan masih berperan. Padahal, UU Industri Pertahanan jelas menyatakan tidak boleh membeli alutsista melalui rekanan. Harus dari pemerintah ke pemerintah atau pemerintah ke produsen. Namun, ada cara mereka (rekanan) mengakali. Pedagang perantara jadi tim ahli produsen,” kata Said. [Kompas]

  ♘ Garuda Militer  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.