Sabtu, 10 Oktober 2015

Kisah Ade, Kasan, dan Industri Strategis bagi TNI

Judul harian Kompas, Senin, 5 Oktober 2015, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Ke-70 Tentara Nasional Indonesia, mengingatkan saya pada kejadian ironis di gedung Parlemen, Senayan, lebih dari sembilan tahun lalu. Waktu itu, 2 Februari 2006, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ade Daud Nasution, didatangi dan diserang tiga orang tak dikenal di gedung wakil rakyat.Para pekerja menyelesaikan perakitan Panser Anoa 2, kendaraan tempur produksi PT Pindad, Bandung, Jawa Barat,. [KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO]

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Bintang Reformasi itu sebelumnya mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto. Dalam rapat, Ade yang sejak awal menjagokan Djoko meminta kelak setelah menjadi Panglima TNI benar-benar reformis, serta berani membongkar mafia supplier dan pengadaan barang ke institusi TNI. Ia menyebutkan, pasokan bahan perbekalan selama 30 tahun tidak pernah diganti.

Kemudian, Ade melemparkan joke (candaan) di tubuh TNI saat ini terkesan ada empat angkatan, yaitu KASAD, KASAU, KASAL, dan Kasan. "Kasan sebagai supplier 30 tahun tidak pernah diganti," ucapnya. Ade menduga pemukulan dirinya itu terkait dengan adanya ketersinggungan pihak tertentu atas ucapannya itu (Kompas, 3/2/2006).

Nama Kasan yang disebutkan Ade diduga adalah pengusaha Kasan Gunawan. Kasan selama ini dikenal dekat dengan kalangan TNI. Kasan pula yang diduga "menjembatani" dalam penyediaan berbagai kebutuhan TNI, bukan hanya logistik, melainkan juga alat utama sistem persenjataan (alutsista). Nama Kasan pun kembali disebut di media massa pada Desember 2012. Nama itu dikaitkan dengan permintaan pemblokiran dana optimalisasi di Kementerian Pertahanan untuk TNI Angkatan Laut senilai Rp 678 miliar oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam.

Diduga pemblokiran ini terkait dengan permintaan "orang dekat" Istana sebab tak kebagian proyek. Namun, hal itu dibantah oleh Panglima TNI (saat itu) Laksamana TNI Agus Suhartono.
Badak Pindad [Pindad]

Kisah Ade Daud, yang terkait dengan Kasan, dan judul berita utama harian Kompas, "Industri Strategis Makin Maju", terasa kian kuat keterkaitannya karena di dalamnya dilaporkan kemajuan produk alutsista dan perlengkapan militer lain dari berbagai industri strategis di negeri ini. Namun, saat ini belanja alutsista negara dari industri strategis nasional baru sekitar 1,5 persen dari sekitar Rp 150 triliun total anggaran pertahanan dan keamanan (Kompas, 5/10).

Padahal, Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet pada 3 November 2014 mengarahkan, untuk memotivasi produksi dalam negeri, pemerintah harus berani memasukkan anggaran bagi industri pertahanan, seperti PT Pindad, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, atau PT LEN, untuk menaikkan omzet 30-40 persen per tahun. Artinya, TNI, Polri, Kementerian Pertahanan, dan lembaga negara lain harus lebih besar membelanjakan dananya untuk membeli produk industri strategis dalam negeri.

 UU Industri Pertahanan 
Sebanyak enam unit helikopter angkut tipe Bell-412 EP buatan PT Dirgantara Indonesia [KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO]

Menurut Ketua Bidang Perencanaan KKIP Muhammad Said Didu, sebenarnya industri strategis Indonesia hanya kalah dari Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Untuk ukuran Asia Tenggara, Indonesia lebih unggul dibandingkan negara tetangga. Namun, penyebab rendahnya belanja alutsista ke industri strategis nasional adalah dampak maraknya rekanan pengadaan. Rekanan itu sering kali merayu pengguna alutsista di dalam negeri untuk membeli produk asing.

UU No 16/2012 menegaskan, pengembangan industri strategis merupakan bagian terpadu dari perencanaan strategis sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Industri pertahanan adalah industri nasional, yang terdiri dari badan usaha milik negara (BUMN) atau swasta, yang ditetapkan pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan negara di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Salah satu tujuan pengembangan industri pertahanan adalah mewujudkan kemandirian dalam pemenuhan alat pertahanan dan keamanan. Namun, setelah dibentuk tahun 2013, Presiden (saat itu) Susilo Bambang Yudhoyono baru pertama kali mengadakan rapat KKIP pada Maret 2014. Dalam rapat itu terungkap, untuk mewujudkan kemandirian pertahanan telah disusun master plan (cetak biru) pembangunan industri pertahanan periode 2010-2029 yang mencakup dua target utama, yaitu alutsista dan industri pertahanan.

Target Alutsista yang akan dicapai adalah yang mempunyai mobilitas tinggi dan daya pukul. Target industri pertahanan yang akan dicapai adalah terwujudnya kemampuan memenuhi permintaan pasar dalam negeri, kemampuan bersaing di pasar internasional, serta kemampuan mendukung pertumbuhan ekonomi. KKIP melakukan pembinaan industri pertahanan secara bertahap dan berlanjut untuk meningkatkan kemampuannya pula. KKIP juga mencanangkan program produk masa depan, seperti pesawat tempur (IF-X), pesawat angkut, kapal selam, kapal perang atas air, roket, peluru kendali, pesawat terbang tanpa awak, radar, alat komunikasi, amunisi kaliber besar, bom udara, torpedo, propelan, kendaraan tempur, dan kendaraan taktis.

Joko Widodo, setelah menjabat Presiden, pada Desember 2014 juga menggelar rapat KKIP. Kembali dia menegaskan mengenai pentingnya kemandirian dalam pertahanan untuk menghindari ketergantungan pada produk impor. Kegiatan pertahanan dan keamanan negara pun ditempatkan sebagai bagian integral dari pendekatan keamanan yang komprehensif.
KCR60M & PKR 10514 produksi PAL Indonesia [Nufix/Gatra]

Pasal 43 UU No 16/2012 menyatakan, pengguna wajib memakai alat pertahanan dan keamanan produksi industri pertahanan dalam negeri. Kalau alat atau jasa itu belum diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri, penggunaan sesuai usulan yang diajukannya kepada KKIP bisa menggunakan alat atau jasa dari luar negeri. Namun, pengadaannya adalah antar-pemerintah (G to G) atau pemerintah pada produsen (G to B).

Pembelian alat atau jasa dari luar negeri melibatkan industri pertahanan dalam negeri pula. Dengan begitu diharapkan akan ada alih teknologi, menekan kemungkinan embargo, dan peluang imbal dagang. Namun, hingga saat ini amanat UU No 16/2012 belum sepenuhnya dijalankan. Industri pertahanan dalam negeri, walaupun sudah mengekspor produk, belum sepenuhnya bisa diterima oleh pengguna di dalam negeri. Masih perlu dorongan lebih lagi sehingga industri strategis menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Belum dijalankannya amanat UU No 16/2012 itu paling tidak tergambar dari masih adanya cerita Ade Daud dan pernyataan Said Didu. Kini, memasuki usia 70 tahun, tantangan terbesar bagi TNI adalah juga membersihkan diri sehingga penghambat bagi kemandirian pertahanan bisa disingkirkan. Salah satu caranya dengan memberikan tempat terbesar bagi produk industri strategis dalam negeri. Hal ini harus diikuti dengan dorongan dari pemerintah, parlemen, dan masyarakat yang tak boleh berhenti.

Harapannya, industri strategis dalam negeri adalah penyokong utama kejayaan TNI. Bukan justru ada orang lain yang memetik keuntungan untuk dirinya sendiri, dengan menggantungkan TNI pada produk impor....

   Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.