Minggu, 11 Oktober 2015

Membuka Tabir G30S dari Dokumen KGB

http://static.gatra.id/images/gatracom/2015/rizki/10-Okt/Soekarno_Soeharto_PedomanNusantaracom.jpgMantan Presiden RI, Soekarno dan Soeharto (Pedomannusantara.com)

Lima puluh tahun lalu, politik Indonesia mengalami tsunami oleh apa yang dikenal dengan G-30-S. Banyak analis, baik dari dalam maupun luar negeri, mencoba menguak tabir-tabir yang selama ini menyelimutinya. Pasca-reformasi Mei 1998, berbagai buku, seminar, dan makalah begitu deras mengalir. Dan sejauh ini, belum ada versi yang disepakati secara mutlak.

Untuk itulah, rubrik Ragam Majalah GATRA kali ini mencoba mengungkap G-3-S berdasarkan dokumen-dokumen dari KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti/Komite Keamanan Negara), badan intelijen Uni Sovyet; CIA (Central Intelligence Agency), badan intelijen Amerika Serikat; arsip pemerintah RRC, dan lain-lain. Khusus yang berkaitan dengan sumber-sumber dari KGB ditulis oleh Dr. Victor Sumsky, Direktur Pusat ASEAN di Universitas MGIMO di Moskwa.

 September Kelabu dan Teori Reznikov 

Sistem kekuasaan yang berfungsi di Indonesia pada awal tahun 1960-an adalah sistem Demokrasi Terpimpin, dengan Presiden Soekarno sebagai pemimpin tertingginya. Waktu itu, Kepala Negara RI juga dikenal sebagai Proklamator, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, dan sejak 1963 sebagai Presiden Seumur Hidup. Pada satu sisi, Soekarno menjadi pemain politik yang dominan, namun pada sisi lain ada dua kekuatan lain yang selalu membayanginya, yakni TNI Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Awal 1965 diwarnai oleh desas-desus mengenai adanya rencana kudeta yang akan dilakukan oleh para perwira tinggi untuk mencegah jatuhnya Indonesia ke tangan komunis. Terdengar desas-desus pula bahwa kubu komunis sedang berupaya untuk menggagalkan rencana tersebut.

Akhirnya, pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, tujuh orang pimpinan tertinggi Angkatan Darat, yakni Panglima AD Ahmad Yani, lima orang jenderal terdekatnya, serta Menteri Pertahanan Jenderal A.H. Nasution, diserbu di tempat kediaman masing-masing di Jakarta.

Aksi ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon Resimen Cakrabirawa yang bertugas menjaga keamanan Presiden. Anak buahnyalah yang malam itu melakukan penyerbuan, dibantu oleh Brigade Infanteri Garnisun Jakarta yang dipimpin oleh Kolonel Abdul Latief.

Beberapa perwira Angkatan Udara juga mendukung operasi militer yang dikoordinasikan oleh Kepala Biro Khusus PKI, Syam Kamaruzzaman. Ahmad Yani dan dua jenderal lain dibunuh di rumah masing-masing. Mayat-mayat mereka dibawa ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, di mana Letkol Untung dan kawan-kawan bermarkas.

Tiga jenderal lain dibawa ke Halim dalam keadaan masih hidup, tapi akhirnya dibunuh juga. Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri, namun ajudannya, yakni Kapten Pierre Tendean, tewas terbunuh.

Pagi 1 Oktober 1965, Radio Republik Indonesia (RRI) memberitakan bahwa sejumlah perwira Angkatan Darat telah melancarkan Gerakan 30 September terhadap sekelompok jenderal yang disponsori oleh CIA dengan tujuan melakukan kudeta. Dikatakan pula bahwa seluruh kekuasaan dalam negeri beralih kepada Dewan Revolusi Indonesia yang komposisinya akan diumumkan kemudian.

Di tengah perkembangan-perkembangan ini, di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma (di mana terdapat Letkol Untung dan kawan-kawan, D.N. Aidit, serta Panglima Angkatan Udara Omar Dhani) tibalah Presiden Soekarno sendiri.

Sesudah menerima laporan perihal apa yang telah terjadi pada hari itu Presiden tampak tidak merasa bingung dan tidak menunjukkan keberatan apa-apa, meskipun kemudian dia berkali-kali menyatakan bahwa peristiwa itu amat mengejutkan baginya.

Walaupun tidak pernah memberikan dukungan yang penuh dan terbuka terhadap Gerakan 30 September, Soekarno tidak menentangnya dan tidak merasa terancam bahaya, sehingga pada suatu saat memanggil ke Halim sejumlah menteri dan komandan militer.

Di antara mereka yang dipanggilnya adalah Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Kepada Mayjen Pranoto inilah Soekarno --setelah berkonsultasi dengan wakil-wakil dari G30S-- ingin menyerahkan tugas sehari-hari dalam kepemimpinan AD.

Pemanggilan para pejabat sipil dan militer ke Halim itu tentu saja memberikan kesan bahwa sebenarnya Soekarno ingin mengadakan rapat kerjasama dengan para pejabatnya guna mengambil suatu keputusan penting.

Dalam daftar anggota Dewan Revolusi yang disampaikan kepada Soekarno sebelum pengumuman di RRI, namanya sendiri tidak tercantum. Meski demikian, tak seorang pun menghalanginya ketika Soekarno bermaksud tetap menjalankan fungsinya sebagai Kepala Negara selama berada di Halim.
***

 Mayjen Soeharto dan Mayjen Pranoto 

Kebanyakan pejabat yang dipanggil Soekarno ke Halim tiba di sana tengah hari. Menariknya, Mayjen Pranoto tidak hadir. Seorang ajudan Presiden diutus untuk menjemputnya, namun pulang dengan tangan kosong.

Ajudan itu melaporkan bahwa Jenderal Pranoto tidak bisa datang ke Halim karena dihalang-halangi oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang waktu itu memimpin Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat). Soeharto, yang sudah mengambil alih tugas almarhum Ahmad Yani, menjelaskan bahwa Pranoto tak diizinkan pergi ke Halim agar jangan menemui nasib yang sama dengan mereka yang telah dibunuh di sana.

Soeharto juga memberitahu Presiden bahwa serangan terhadap Halim sebagai sarang pemberontakan sedang dipersiapkan, dan karena itu Bung Karno diminta keluar dari tempat itu secepat mungkin.

Pernyataan yang halus tapi penuh ancaman itu memaksa Soekarno bergegas keluar dari Halim dan bergerak menuju ke Istana Bogor.

D.N. Aidit, yang sepanjang hari itu tidak pernah membuat pernyataan apa-apa, juga bergegas meninggalkan Halim.

Pada November 1965, dia ditangkap di Jawa Tengah dan segera dibereskan. Pada 2 Oktober, ketika masuk wilayah Halim, pasukan Kostrad praktis tidak menghadapi perlawanan apa pun, baik para anggota biasa dari Gerakan 30 September maupun para pemimpinnya telah bubar entah ke mana.

Pada hari-hari berikutnya, Soeharto --yang sebelumnya hampir tidak menampakkan diri secara publik-- tiba-tiba muncul sebagai tokoh dengan sikap penuh percaya diri. Pertama-tama dia menuntut agar Kepala Negara mengangkatnya menjadi Panglima AD.

Ia memperoleh posisi itu dengan relatif mudah (walaupun untuk beberapa hari Soekarno masih coba mempertahankan Mayjen Pranoto sebagai caretaker AD).

Dengan mengabaikan segala aturan hukum yang berlaku, Soeharto mengatakan bahwa dalang utama Gerakan 30 September adalah PKI. Tsunami anti-komunis yang melanda Indonesia sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 benar-benar mengerikan.

Tak kurang dari setengah juta orang (mungkin sekali jauh lebih banyak dari itu) tewas dibunuh karena terkait atau dikait-kaitkan dengan PKI. Berpuluh-puluh ribu orang telah dijebloskan ke dalam penjara dan kamp-kamp konsentrasi tanpa melalui proses hukum yang berlaku.

Sebagaimana kemudian menjadi jelas, penumpasan PKI merupakan prolog bagi tersingkirnya sang Pemimpin Besar Revolusi dari puncak kekuasaannya. Tanpa PKI, Soekarno tidak lagi mampu menggunakan pertentangan antara kaum kiri dan kaum kanan untuk memperkuat posisi pusatnya sendiri.

Meskipun demikian, waktu itu pengaruh Soekarno masih cukup besar. Bahkan ada kekhawatiran bahwa suatu upaya menggulingkan dia secara terbuka akan dapat memicu sebuah perang saudara.

Di tengah situasi demikian sikap Panglima AD tampak begitu halus. Sementara para demonstran anti-Soekarno diberi keleluasaan untuk berteriak dan melakukan apa saja, sang Panglima AD yang baru itu menunjukkan diri di mata umum seolah-olah ia adalah seorang putra yang amat mencintai bapaknya.

Dengan demikian, tidak aneh bahwa babak kedua dari kudeta di Indonesia berlangsung secara bertahap. Pada akhir tiap-tiap tahap itu hasil-hasil yang sudah dicapai disetujui secara resmi oleh badan legislatif tertinggi saat itu, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Misalnya, pada 11 Maret 1966, sekelompok pimpinan militer memaksa Presiden untuk menandatangani suatu perintah mengenai penyerahan kekuasaan eksekutif --untuk sementara waktu dan demi pemulihan keamanan/ketertiban umum-- kepada Jenderal Soeharto.

Kemudian, MPRS memberikan status undang-undang kepada perintah itu, supaya dokumen tersebut tak dapat dibatalkan bahkan oleh orang yang mengeluarkan dan menandatanganinya.

Meski demikian, baru pada Maret 1967 MPRS mengangkat Soeharto sebagai pemangku jabatan Kepala Negara. Sementara itu, sang jenderal mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan sejumlah politisi agar Soekarno diadili karena keterlibatannya dalam Gerakan 30 September adalah kurang bijaksana. Baru setahun kemudian MPRS menetapkan Soeharto sebagai Presiden RI yang berkuasa penuh.
***

 Soekarno Versus Soeharto 

Sejak lengsernya Soeharto bersama Orde Baru-nya pada 21 Mei 1998, kajian baru bermunculan dalam upaya melihat apa yang terjadi pada tahun 1965-1966 secara terbuka dan menyeluruh.

Muncul fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui publik. Terjadi pula pertukaran informasi dan analisis di antara para peneliti sejarah Indonesia modern, baik peneliti dari Indonesia sendiri maupun para peneliti asing.

Berbagai versi dan teori mengenai sejarah 1965 pun beredar di kalangan akademisi maupun di masyarakat umum. Semua itu membuka kesempatan untuk menilai dan menguji versi atau teori-teori mana yang bisa dipertahankan dan mana yang perlu ditinggalkan.

Rezim Orde Baru telah melemparkan seluruh tanggung jawab atas Gerakan 30 September pada PKI sebagai organisasi massa. Pandangan yang sama dikemukakan oleh CIA dalam laporannya yang berjudul Indonesia 1965: A Coup That Backfired (1968).

Kini, posisi seperti itu dikritik oleh banyak pihak, bahkan oleh mereka yang tidak bersimpati terhadap kaum kiri (meskipun terdapat kesepakatan bahwa di lingkaran kecil para fungsionaris PKI memang ada yang terlibat dengan aksi Untung).

Di antara para peneliti yang mengajukan versi alternatif mengenai apa yang terjadi pada tahun 1965 itu adalah Dr. Benedict Anderson dan Dr. Ruth McVey dari Cornell University, Amerika Serikat. Kedua profesor itu berpendapat bahwa G-30-S muncul karena adanya ketidakpuasaan di antara perwira-perwira progresif terhadap posisi politik dan gaya hidup mewah para petinggi Komando AD.

Menurut Anderson dan McVey, sarang utama ketidakpuasaan tersebut adalah Divisi Diponegoro di Jawa Tengah, wilayah di mana Soeharto pernah bertugas selama Perang Kemerdekaan dan sesudahnya dan di mana dia berkenalan akrab dengan calon pelaku-pelaku G-30-S, khususnya Untung dan Latief.

Pernah ada juga pendapat bahwa Gerakan 30 September sebenarnya didalangi oleh Presiden Soekarno sendiri. Para pendukung yang paling vokal dari pendapat ini adalah Prof. Victor Fic dari Kanada dan wartawan Belanda yang bernama Antonie Dake.

Menurut Dake, banyak bukti kesalahan Soekarno bisa ditemukan dalam catatan-catatan interogasi Bambang Widjanarko, salah satu ajudan Presiden. Dialah yang pada 1 Oktober 1965 ikut Soekarno ke Halim, lalu ditugaskan untuk menjemput Jenderal Pranoto namun tidak berhasil.

Banyak pula tulisan yang menyoroti faktor-faktor luar yang memengaruhi apa yang terjadi di Indonesia menjelang berakhirnya Demokrasi Terpimpin dan naiknya Orde Baru. Ada yang mengaitkan Tragedi 1965 dengan tipu-muslihat Beijing. Ada pula yang mengaitkannya dengan intrik-intrik Washington.

Tampak bahwa versi atau teori-teori itu mengandung unsur-unsur yang bertentangan satu sama lain. Pada saat yang sama, di dalamnya terdapat unsur-unsur yang justru bisa saling melengkapi.

Dengan kata lain, bertolak dari berbagai versi dan teori yang ada itu (dengan segala perbedaan dan persamaannya) bisa dibangun suatu gambaran yang lebih utuh tentang apa yang terjadi di Indonesia antara tahun 1965 dan 1967.

Meski demikian, harus diakui bahwa hal itu tidak mudah untuk dilakukan begitu saja. Soal-soal 1965 masih terlalu panas untuk dibicarakan --baik bagi mereka yang ingin menyelaminya secara lebih mendalam guna memperoleh gambaran yang tepat maupun bagi mereka yang tidak menghendaki bahwa kebenaran mengenai Tragedi 1965 terkuak karena takut kepentingannya terancam.

Jika pada tahun-tahun pertama sesudah lengsernya Soeharto, para penguasa Indonesia kadang-kadang memberikan sinyal bahwa penafsiran Orde Baru mengenai G-30-S tidak sepenuhnya benar, tampaknya sekarang ini sebagian dari mereka ingin kembali pada posisi lama (walaupun perdebatan mengenai soal itu tidak dilarang).

Maka, lahirlah dua kubu yang berbeda. Mereka yang berpendapat bahwa Bung Karno-lah yang paling bersalah dalam soal G-30-S cenderung menolak keras untuk membahas kemungkinan keterlibatan Soeharto.

Di kubu lain, para pembela Soekarno berpendapat bahwa semua interogasi dan prosedur pemeriksaan yang bersangkutan dengan G-30-S dilakukan dengan kasar dan penuh dengan berbagai bentuk pelanggaran HAM, sehingga hasilnya tidak membuktikan apa-apa.

Prof. John Roosa dari University of British Columbia, Kanada, mengibaratkan studi dan penelitian tentang Tragedi 1965 seperti usaha untuk menyetel segi empat warna-warni Rubik's Cube yang sejatinya sia-sia belaka.

Dalam banyak segi buku John Roosa terbitan tahun 2006 yang berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Soehartos Coup d'Etat in Indonesia merupakan suatu langkah maju dalam hal kajian tentang sejarah 1965.

Sayangnya, pandangan-pandangan yang tertuang dalam buku itu tidak luput dari semacam simplifikasi: seluruh kemungkinan keterlibatan Soekarno dibantah mentah-mentah dengan beberapa kalimat saja.

Namun, pada titik tertentu tampaknya John Roosa terpaksa bertanya kepada diri sendiri: kenapa sesudah 1 Oktober 1965 itu sang Pemimpin Besar Revolusi rela menerima aturan-aturan main yang dipaksakan terhadapnya oleh Soeharto? Kenapa dia tidak melawan musuhnya dengan penuh tekad?

Jawaban yang diberikan biasanya adalah bahwa waktu itu Soekarno ingin menghindari pergolakan politik yang bisa memecah-belah Indonesia sebagai negara kesatuan. Tapi pertanyaannya kemudian: hanya itu sajakah alasan Soekarno?

Cukup menarik juga bahwa Antonie Dake (yang pro-Soeharto dan bertentangan dengan Roosa tapi, persis seperti oponennya yang pro-Soekarno, melakukan simplifikasi) menghadapi masalah yang serupa. Ia bertanya pada dirinya sendiri: mengapa Soeharto yang pasti tahu bahwa Gerakan 30 September didalangi oleh Soekarno, tidak mau menyeret Soekarno ke pengadilan?

Penjelasan yang digunakan oleh Dake adalah bahwa Soeharto tidak ingin kelak seorang Kepala Negara bisa mengadili pendahulunya, karena hal itu bisa merongrong wibawa institusi kepresidenan itu sendiri. Tapi pertanyaannya kemudian: hanya itu sajakah alasan Soeharto?
***

 Analisis dan Kesimpulan Reznikov 

Apa yang terjadi pada 1965 dan setelahnya ditanggapi oleh Uni Soviet dengan kecemasan dan kepahitan yang mendalam. Berbagai bentuk kerja sama yang telah dilakukan oleh pihak-pihak Soviet dengan Indonesia sejak pertengahan 1950-an hingga sepuluh tahun berikutnya berakhir secara mendadak.

Banyak orang Indonesia yang selama ini memiliki kontak yang dekat dengan Moskwa tersingkir dari panggung politik Indonesia, bersamaan dengan tersingkirnya Presiden Soekarno.

Apa yang terjadi di Indonesia pada 1965 itu bukan hanya hantaman untuk PKI, melainkan juga untuk gerakan komunisme internasional. Dalam konteks Perang Dingin, kehancuran golongan komunis di Indonesia merupakan kemenangan tersendiri bagi blok Barat.

Bagi para ahli politik di Uni Soviet, apa yang terjadi di Indonesia pada paro kedua dekade 1960-an itu membutuhkan penjabaran dan analisis yang mendalam. Merekapun melakukan berbagai analisis dan menuangkan hasilnya dalam berbagai bentuk tulisan.

Sayangnya, banyak dari tulisan-tulisan itu tidak sempat beredar luas. Jumlah eksemplarnya dibuat terbatas, diberi cap "Untuk Keperluan Dinas Saja (For Use in Office Only)" dan hanya dikirim ke pejabat-pejabat tinggi atau perpustakaan-perpustakaan yang tertutup untuk umum. Pokoknya, pemerintah Soviet tidak ingin beredarnya tulisan-tulisan yang berpotensi mempersulit hubungan Soviet-Indonesia.

Itulah nasib yang menimpa salah satu buku karya Aleksandr Borisovich Reznikov (1931-1980), penulis sejarah dari Uni Soviet. Rezhnikov memiliki bidang minat sejarah yang amat luas: dari soal lahirnya gerakan buruh di Inggris hingga soal Politik Timur Komintern dan dari soal Revolusi Islam Iran hingga sejarah moderen Indonesia.

Di antara karya-karyanya yang terbaik adalah sebuah monografi berbahasa Rusia yang berjudul Indonesia dalam Periode Demokrasi Terpimpin (1969), yang ia tulis bersama A.Y. Drugov.

Pada 1977, ia menerbitkan buku lain yang merupakan lanjutan dari monografi itu dengan judul Komplotan di Jakarta. Buku ini ditulis sendiri oleh Reznikov dan diterbitkan sebagai buletin khusus dari Institut Ilmu Ketimuran di Moskwa. Mengingat buku itu dicetak dalam jumlah yang amat terbatas (275 eksemplar), maka gagasan, informasi, dan analisis yang ada di dalamnya tidak sempat beredar luas.

Penulis beruntung, karena berhasil menemukan buku yang nyaris hilang ditelan zaman itu. Membaca buku Komplotan di Jakarta, orang akan mendapat kesan bahwa penulisnya sangat memahami topiknya, bahkan lebih dari banyak peneliti lain.

Reznikov tampak begitu cermat, begitu piawai, dalam menyelaraskan berbagai keterangan yang disampaikan oleh mereka yang terlibat dalam Gerakan 30 September. Ia tajam dalam menganalisis berbagai macam kesaksian dan bahan-bahan dari media massa, tekun dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang ada, sebelum akhirnya menyusun teorinya sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Satu hal yang patut disesalkan adalah bahwa dia tidak mencantumkan sumber dan referensi yang ia gunakan dalam menyusun bukunya. Meski demikian, hal ini bisa dimengerti. Selama bertahun-tahun ia memiliki kaitan yang dekat dengan Bagian Internasional dari Komite Sentral PKUS (Partai Komunis Uni Soviet).

Dari bukunya dapat disimpulkan bahwa ia memiliki akses atas dokumen-dokumen sensitif yang dimiliki oleh badan itu --dengan konsekuensi ia tidak diizinkan membuka sumber-sumber informasinya.

Pertama-tama, Reznikov ingin menetapkan sampai seberapa jauh keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September. Pertanyaannya, apakah PKI bersangkut-paut dengan gerakan itu? Jawab Reznikov: ya, PKI bersangkut-paut, kalau yang dimaksud PKI di sini adalah Aidit, Syam, dan para pembantu mereka di Biro Khusus, berikut beberapa anggota pucuk pimpinan. Tapi tidak lebih dari itu.

Lalu, apakah PKI memprakarsai Gerakan 30 September? Tidak, jawab Reznikov. Apakah melalui gerakan itu PKI sedang merencanakan untuk merebut kekuasaan? Juga tidak, simpulnya. Kesimpulan-kesimpulan Reznikov diperkuat dengan argumentasi yang panjang lebar dan cukup meyakinkan.

Kalau memang demikian, siapakah sebenarnya inspirator utama dari Gerakan 30 September itu? Menurut Reznikov, tidak lain dari Bung Karno sendiri.

Terhadap pandangan seperti ini, para pengagum sang Pemimpin Besar tentu saja akan mengajukan pertanyaan penuh ironi ini: mana mungkin seorang Kepala Negara yang sedang berkuasa dan amat populer di mata rakyatnya merekayasa kudeta terhadap dirinya sendiri? Paparan yang disampaikan oleh buku Komplotan di Jakarta dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut cukup menarik untuk diperhatikan.

Sesudah menyelami dan mengolah berbagai data yang ia dapatkan dari pers Indonesia waktu itu mengenai sejumlah mutasi dan pengambil-alihan komando atas berbagai kesatuan TNI, Reznikov berkesimpulan bahwa sekitar pertengahan 1965, pucuk pimpinan AD telah membentuk gabungan kesatuan penggempur yang sangat kuat.

Satuan penggempur itu melibatkan tank-tank, pesawat-pesawat tempur dan pengangkut, meriam-meriam yang bergerak sendiri, serta pasukan payung.

Semua itu dikumpulkan di bawah Komando Mandala Siaga (Kolaga). Tapi bukan di Sumatra atau di Kalimantan, sebagaimana dibutuhkan dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia, melainkan di Jawa yang adalah pusat politiknya Indonesia.

Sesuai dengan observasi Reznikov, apa yang dilakukan oleh Angkatan Darat itu merupakan permulaan suatu kudeta.

Menurut seorang teman akrab dan rekan sekerjanya, Reznikov sudah berkesimpulan demikian sebelum terjadinya Tragedi 1965. Supaya informasi itu cepat-cepat disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, Reznikov pernah dipertemukan dengan Kolonel Jenderal Haji Umar Mamsurov (1903-1968). Tokoh legendaris ini dikenal di kalangan militer Soviet sebagai seorang yang amat cerdik dan berani.

Dalam Perang Saudara Spanyol, dia bertugas sebagai penasehat pemerintah anti-fasis, bahkan sempat bersahabat dengan Ernest Hemingway.

Mamsurov adalah veteran Perang Dunia II dan penerima Bintang Emas Pahlawan Uni Soviet. Pada 1965, dia menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Intelejen Utama di Staf Umum Angkatan Bersenjata Uni Soviet.

Reznikov dan Mamsurov pernah bertemu dan berbincang-bincang di salah satu stasiun kereta bawah tanah Moskwa. Sesudah mendengar pertimbangan Reznikov, sang jenderal berujar: "Anak buah saya belum pernah ada yang melaporkan hal itu".

Tidak lama kemudian ketika mengikuti perkembangan Indonesia selanjutnya, Mamsurov berkomentar tentang Reznikov dan pendapatnya itu: "Orang muda itu benar-benar jenius. Sayang sekali kami tak pernah memperhatikan analisisnya secara serius."
***

 Pembersihan Para Jenderal Berhaluan Kanan 

Kembali ke soal pembentukan tinju lapis baja, yang menurut Reznikov dibentuk oleh para pemimpin AD. Siapa sebenarnya yang akan menjadi sasaran dari pasukan tersebut? Menurut Reznikov, sasaran utamanya adalah PKI, tapi Bung Karno juga.

Alasan Reznikov, tindakan-tindakan yang diambil oleh para pemimpin AD itu akan secara drastis mengubah seluruh keseimbangan kekuatan politik demi keuntungan tentara.

Kesan seperti itu diperkuat oleh munculnya tanda-tanda saling pengertian antara Ahmad Yani dan Nasution, dua tokoh militer yang paling terkemuka tapi tak selalu bersahabat. Selama ini persaingan antara keduanya telah dibesar-besarkan oleh Kepala Negara dalam semangat devide et impera.

Pada 1962, Soekarno yang tak percaya sepenuhnya kepada Menteri Pertahanan-nya mengubah struktur pimpinan TNI dengan maksud mengurangi kemampuan operasional Nasution. Khusus bagi orang kuat di TNI ini diciptakan posisi Kasab (atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata). Formalnya posisi itu tinggi, tapi dalam praktek kurang berbobot.

Pada saat yang sama, anak emas Bung Karno, yakni Achmad Yani, diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat. Namun sejak permulaan tahun 1965, dua jenderal anti-komunis itu tampak semakin siap untuk melawan PKI bersama-sama.

Perkembangan ini dicatat oleh Reznikov, sebagaimana juga oleh Harold Crouch dan Ulf Sundhaussen, dua pakar politik militer Indonesia.

Guna menguasai keadaan, Soekarno merasa diri perlu bertindak secepatnya. Pertanyaannya, untuk itu apa yang harus diperbuat? Apa pun jawabannya, yang jelas jangan sampai menggoyang sistem Demokrasi Terpimpin, agar jangan sampai kekuasaan tertinggi jatuh bagai buah yang sudah matang ke tangan kelompok yang siap menampungnya, yakni kelompok militer berhaluan kanan.

Karena itu, yang perlu ia lakukan adalah langkah sebaliknya, yakni meniadakan ancaman tergoyangnya sistem politik yang ada karena rusaknya keseimbangan dalam segitiga kekuasaan tentara-Soekarno-PKI. Pokoknya sistem perlu dikembalikan ke dalam situasi yang relatif seimbang.

Untuk itu kiranya cukup --setidaknya sebagai langkah pertama-- suatu pembersihan personal di lingkungan para jenderal. Misi inilah, sebagaimana bisa disimpulkan dari buku Reznikov, yang dipercayakan oleh Presiden kepada Gerakan 30 September dan yang sebelumnya telah ditutup-tutupi dengan seruan-seruan mengenai perlunya transisi ke tahap sosialis Revolusi Indonesia.

Apakah untuk itu Bung Karno memerlukan suatu langkah pembersihan yang berdarah? Sama sekali tidak.

Mengapa? Karena kemungkinan terjadinya destabilisasi akibat suatu pembersihan berdarah akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan suatu pembersihan yang sifatnya personal dan tak berdarah. Kalau begini, perlu ditegaskan bahwa Kepala Negara memang tidak merencanakan kudeta terhadap dirinya sendiri. Bung Karno hanya ingin memulihkan status quo.
***

 Kegagalan G30S Karena Pengkhianatan Dua Jenderal 

Rupanya dalam proses pelaksanaan rencananya itu Soekarno berusaha memastikan siapa-siapa saja yang nanti akan menggantikan para pemimpin militer yang mau dipecatnya. Lebih dari itu, dalam rangka persiapan peluncuran Gerakan 30 September itu, ia merasa perlu berembug dan menjalin kesepakatan dengan para calon pengisi jabatan yang akan lowong itu.

Pertanyaannya, siapakah orang-orang yang diajak bersepakat oleh Bung Karno itu? Guna menjawab pertanyaan ini, Reznikov terutama tertarik untuk memperhatikan gerak-gerik dua orang jenderal, yakni Jenderal Soeharto dan Jenderal Pranoto Reksosamodra.

Bertentangan dengan pendapat umum yang amat tersebar sampai sekarang bahwa Jenderal Soeharto bertindak cepat dalam melawan Letnan Kolonel Untung dan kawan-kawan, sarjana Soviet ini mengatakan sesuatu yang sangat berbeda: pada 1 Oktober 1965 Pangkostrad Soeharto justru bertindak lamban sekali, seakan-akan sedang menantikan sinyal-sinyal tertentu.

Tindakannya baru berubah menjadi cepat ketika Presiden mengumumkan penunjukan Jenderal Pranoto sebagai caretaker sementara Angkatan Darat.

Lebih menarik lagi adalah sejumlah informasi tentang Jenderal Pranoto yang dikumpulkan dan diproses oleh Reznikov. Khususnya, bahwa pada malam 30 September, Pranoto sempat bertemu dengan Aidit dan Syam.

Pagi harinya, waktu berita tentang peristiwa berdarah malam sebelumnya sudah mencapai Markas Besar AD, di sana diselenggarakan rapat yang menghasilkan keputusan bahwa setelah tewasnya Jenderal Ahmad Yani, posisi tertinggi komando AD akan dialihkan ke tangan Jenderal Soeharto.

Pemberitahuan tentang keputusan ini lantas dikirim ke komando-komando daerah militer.

Rapat tersebut, seperti juga penyebaran keputusannya ke daerah-daerah, justru dilaksanakan atas prakarsa Jenderal Pranoto (hal mana pernah diakuinya dalam rangka pemeriksaan atas dirinya). Lalu Pranoto pergi ke Markas Kostrad guna melaporkan semua kegiatan ini kepada Soeharto dan sejak itu berada di sana --artinya mendampingi Soeharto hampir sepanjang hari pada 1 Oktober 1965.

Dapat dimengerti mengapa Soeharto berhasil menghalangi Pranoto yang ingin memenuhi panggilan Pemimpin Besar Revolusi dan berangkat ke Halim.

Pengolahan informasi ini merupakan tour de force Reznikov sebagai sejarawan sekaligus ilmuwan politik. Menurut Reznikov, Pranoto sebagai tokoh yang sangat loyal kepada Bung Karno menunjukkan kemampuan yang mencurigakan untuk berinteraksi baik dengan para pemimpin Gerakan 30 September, maupun dengan Soeharto dan markasnya --sampai Reznikov menduga bahwa pada hakikatnya Pranoto berfungsi sebagai penghubung ganda.

Pada satu sisi dia menghubungi Soekarno dengan G-30-S, sedangkan pada sisi lain dia juga menghubungi Soekarno dan Soeharto.

Ternyata, baik Pranoto maupun Soeharto tidak memenuhi harapan sang Pemimpin Besar. Berdasarkan pikiran-pikiran ini, Reznikov mengakhiri bukunya dengan kesimpulan bahwa di antara penyebab kegagalan Gerakan 30 September adalah adanya pengkhianatan dua jenderal yang mula-mula bersekongkol dengan Presiden tapi kemudian berbalik dan menarik diri dari kubunya.
***

 Komandan dan Kepala Staf Terotorium Diponegoro 

Mengapa Presiden Soekarno justru memilih kedua tokoh tersebut sebagai pembantu terdekatnya pada saat-saat yang begitu genting? Reznikov tak pernah coba menjawab pertanyaan ini, mungkin karena data yang dimilikinya kurang cukup untuk itu. Untunglah, sekarang halangan macam ini, boleh dikatakan, tidak ada lagi.

Dalam riwayat hidup Soeharto dan Pranoto terdapat cukup banyak kesamaan. Keduanya pernah ikut berjuang dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949. Pada akhir tahun 1950-an, keduanya bertugas di Teritorium (kelak Kodam) Diponegoro: Soeharto sebagai komandan, sedangkan Pranoto sebagai kepala staf-nya.

Mereka berpisah pada 1959; karena alasan tertentu Soeharto dipindahkan ke Seskoad Bandung dan kedudukannya sebagai Komandan Divisi diwarisi oleh Pranoto.

Sesudah Soeharto tamat dari Seskoad, kariernya makin menanjak. Bukan saja ia menjadi jenderal pada 1961, pada 1963 ia diangkat sebagai Panglima Kostrad. Antara 1962-1965, dia ditugaskan memimpin pasukan Indonesia yang siap-siaga bertempur melawan Belanda di Irian Barat serta melawan Inggris dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia.

Pada periode yang sama, karier Pranoto juga berkembang pesat. Dalam waktu singkat, yakni dalam beberapa tahun saja, pangkatnya melonjak dari letnan kolonel menjadi mayor jenderal.

Pelantikannya sebagai Mayjen TNI dilaksanakan pada 16 Augustus 1965 --menjelang HUT ke-20 Kemerdekaan RI dan hanya satu setengah bulan sebelum pecahnya G-30-S. Pada saat itu dia sudah menduduki posisi Asisten III Panglima AD untuk urusan personel.

Membuat karier-karier yang sebegitu cemerlang di zaman Demokrasi Terpimpin, tanpa restu dan perlindungan Kepala Negara praktis tidak mungkin.

Harus juga dicatat bahwa Bung Karno pasti tahu tentang permusuhan di antara kedua perwira pilihannya. Kisah permusuhannya itu, pada 1959 Soeharto dipecat dari jabatannya sebagai Komandan Divisi Diponegoro karena terlibat operasi-operasi penyelundupan.

Kegiatan ini diketahui, karena ada bawahannya yang melaporkan, dan bawahan itu adalah Pranoto. Berkat laporannya, Soeharto hampir diadili namun akhirnya hanya dihukum dengan kewajiban belajar di Seskoad. Siapakah sebenarnya yang sanggup menyelamatkannya?

Memang ada sejumlah jawaban yang berbeda-beda. Namun, bisa kita andaikan bahwa akhirnya nasib Soeharto berada di tangan Kepala Negara. Mungkin Presiden Soekarno teringat dengan kejadian pada September 1957.

Ketika negara sedang didera oleh banyaknya pemberontakan, Kolonel Soeharto sepenuhnya mendukung pemerintah pusat dalam rangka Musyawarah Nasional dan terang-terangan menentang setiap upaya kompromi dengan kaum pemberontak. Tentu saja, Bung Karno juga percaya bahwa setelah dibelanya perwira ini akan sangat berterima kasih dan setia sampai mati.

Mungkin dalam situasi pertengahan tahun 1965, Soekarno merasa telah mengantongi dua jenderal yang sama-sama berpengalaman, sama-sama loyal kepadanya, tapi sekaligus bersaingan dan bermusuhan satu sama lain. Guna memaksa agar duet yang aneh itu mau bekerja sama, diperlukan suatu anugerah yang cukup menarik. Apa kira-kira anugerah itu?

Mungkinkah bentuknya adalah posisi-posisi Yani dan Nasution yang sudah mau disingkirkan oleh Presiden dari panggung militer dan politik? Dengan jalan memberikan kepada Soeharto salah satu posisi dan kepada Pranoto posisi yang lain, sang Pemimpin Besar berharap bisa menghidupkan kembali dualisme dalam pimpinan Angkatan Darat yang dulu telah dipakainya untuk memelihara statusnya yang istimewa di susunan Demokrasi Terpimpin.
***

 Caretaker Panglima Angkatan Darat 

Apa yang telah menggagalkan terwujudnya rencana tersebut? Kuncinya adalah penyelamatan diri Jenderal Nasution pada pada 1 Oktober 1965.

Karena Nasution berhasil menyelamatkan diri, maka hanya tersedia satu lowongan posisi di pucuk pimpinan Angkatan Darat.

Ada indikasi bahwa semula jabatan Panglima Angkatan Darat dijanjikan kepada Soeharto, sedangkan jabatan Menteri Pertahanan akan diserahkan kepada Pranoto. Akan tetapi, tampaknya realitas yang terjadi setelah operasi Gerakan 30 September (terutama berkaitan dengan selamatnya Nasution) memaksa Presiden untuk mengubah niat semula.

Bung Karno terpaksa memperhitungkan siapa di antara dua orang ini yang nanti akan dia jadikan sebagai pengimbang bagi Nasution yang selamat itu, dan akhirnya memilih Jenderal Pranoto.

Menarik bahwa Pranoto tidak diangkat sebagai Panglima yang berkuasa penuh, melainkan hanya sebagai caretaker, yakni pengurus urusan sehari-hari AD, dan itu pun hanya untuk sementara.

Presiden seakan-akan ingin menunjukkan kepada pihak yang berkepentingan bahwa sebenarnya keputusan ini bersifat darurat dan bukan merupakan cerminan dari niat dia yang sesungguhnya.

Dalam pandangan Soeharto, janji yang menurut dugaan telah diberikan kepadanya sudah dikhianati. Dengan demikian, Presiden telah menyakiti hati seorang jenderal yang kebetulan mengetahui rahasia-rahasia yang amat sensitif. Bung Karno belum sadar bahwa jenderal yang telah tersakiti hatinya ini adalah seorang pemain politik yang amat lihai dan ahli dalam strategi.

Pada saat yang sama, Soeharto tidak bisa sepenuhnya menggunakan rahasia-rahasia sensitif yang ia ketahui itu. Alasannya jelas: kalau sampai dia mengungkapnya, akan ketahuan bahwa sebenarnya dia terlibat dalam Gerakan 30 September itu, berikut pembunuhan terhadap para sesama perwira Angkatan Darat. Karena itu, ia memutuskan untuk mengambil alih kekuasaan dengan amat hati-hati dan sikapnya terhadap Presiden Soekarno sering mendua.

Lalu apa yang terjadi dengan Jenderal Pranoto? Yang jelas, dalam peristiwa ini dia sulit untuk dipandang sebagai pengkhianat. Jelas juga bahwa dalam situasi permulaan Oktober 1965 dia tidak dapat diselamatkan oleh Presiden sebagai caretaker, terutama sesudah pasukan yang menangkap Kolonel Latief merampas juga suratnya dengan permintaan perlindungan yang dialamatkan kepada Pranoto.

Pada 1966, Pranoto sendiri ditangkap atas tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September. Pertama, ia dikenai tahanan rumah, kemudian dipenjarakan. Selama di penjara itu, gajinya sebagai jenderal tidak pernah dibayar.

Tapi ia tidak pernah secara resmi dipecat dari Angkatan Darat dan pangkatnya juga tak pernah dicabut. Hanya beberapa kali saja ia diinterogasi, tapi tidak pernah dibuat laporan tertulis tentang hasil interogasi itu.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Kopkamtib pada 1978, nama Pranoto disebut di antara nama-nama mereka yang dituduh terlibat Gerakan 30 September, namun ia tidak pernah diadili secara resmi.

Pada 1981, ia dibebaskan begitu saja. Setelah itu, ia hidup diam-diam dan akhirnya wafat pada 1992, di masa pemerintahan Orde Baru. [Victor Sumsky (Moskwa)]

  GATRA  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.