Jumat, 11 Desember 2015

Pembelian helikopter VVIP akhirnya ditunda

Bukan dibatalkan, untuk heli (ada) beberapa alternatif. Ada Agusta (AW) dan Super Puma.Produksi Helikopter PT DI Seorang teknisi menyelesaikan proses produksi Helikopter jenis Superpuma SA 332 C1A dan Cougar EC725 di hanggar PT Dirgantara Indonesia (DI), Bandung, Jawa Barat, Rabu (25/11).(ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Pemerintah akhirnya menunda rencana TNI AU membeli tiga helikopter untuk "very very important person" (VVIP) yang antara lain juga akan digunakan sebagai helikopter kepresidenan setelah menimbulkan polemik.

Sebelumnya, TNI AU akan membeli AgustaWestland (AW) 101 Merlin buatan Italia untuk menggantikan NAS-332 Super Puma buatan PT Dirgantara Indonesia.

AgustaWestland AW101 dikembangkan oleh perusahaan patungan Westland Helicopters asal Inggris dan Agusta asal Italia.

TNI AU menyebutkan pembelian helikopter AW 101 yang canggih dan modern itu murni sesuai pagu anggaran yang sudah masuk dalam Rencana Strategis (Renstra) TNI AU 2015-2019.

Selain itu, pemilihan helikopter AW -101 yang rencananya akan memperkuat Skadron Udara VVIP/VIP 45 TNI AU itu sudah melalui proses pengkajian yang mendalam dari satuan bawah hingga ke Mabes TNI.

Sebagai helikopter yang diperuntukkan bagi presiden, wakil presiden, pejabat tinggi negara dan tamu negara maka faktor "safety" (keamanan) dan kenyamanannya tentu akan menjadi prioritas. Selain itu helikopter tersebut juga memiliki beberapa keunggulan lainnya.

Namun Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna menegaskan bahwa pembelian helikopter tersebut bukan permintaan Presiden Joko Widodo tetapi menjadi bagian dari modernisasi alat utama sistem persenjataan TNI Angkatan Udara.

Pada awal rencana tersebut anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin menilai, helikopter kepresidenan sudah layak untuk diganti.

"Helikopter jenis Super Puma yang digunakan oleh presiden selama ini dibuat tahun 2000 dan dipakai sejak tahun 2002, jadi sudah dipakai selama 13 tahun. Menurut saya demi keamanan sudah selayaknya diganti," kata TB Hasanuddin dalam rilisnya.

Namun beberapa pendapat termasuk TB Hasanuddin, menyarankan pemerintah membeli helikopter kepresidenan milik PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung, Jawa Barat.

"Dengan membeli produk dalam negeri, maka negara untung sebesar 30 persen dari harga dasar setidaknya dalam bentuk material dari dalam negeri. Dan mampu mempekerjakan minimal 700 orang selama setahun, dengan investasi skill untuk anak bangsa yang terus berkembang," kata Hasanuddin.

Selain itu, TNI dalam mengadakan peralatan tersebut tentu harus memperhatikan UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan.

Pada pasal 43 UU Nomor 16/2012 itu, disebutkan bahwa pengadaan barang dan jasa pertahanan negara boleh melalui penunjukan langsung dengan sejumlah prasyarat dan ketentuan yang harus dipenuhi pejabat pembuat kesepakatan dan pabrikan pembuat.

Yang pokok juga adalah produk barang dan jasa itu belum bisa dibuat di Tanah Air. Juga di antaranya adalah transfer teknologi, imbal beli, imbal dagang, kandungan dalam negeri, dan lain-lain.

"Sesuai dengan amanah UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan, pasal 43, tidak dibenarkan membeli alat pertahanan dan keamanan dari luar negeri selama negara sudah mampu memproduksinya," kata Hasanuddin.

 Masih layak 

Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjelaskan, helikopter khusus Super Puma untuk VVIP yang saat ini dioperasikan oleh TNI AU.

Dia mengatakan, helikopter itu dibeli pada saat Abdurahman Wahid menjabat Presiden RI periode 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.

"Jam terbang helikopter itu diukur dari dua hal, yaitu tahun pembuatannya dan jam terbangnya. Jam terbangnya kecil sekali," kata Wapres.

Wapres menjelaskan total penggunaan helikopter VVIP Super Puma oleh Presiden Joko Widodo) selama satu bulan rata-rata hanya satu kali penerbangan.

"Yang dimaksud angkutan VVIP cuma dua orang di Indonesia, cuma Presiden dan Wapres, sedangkan helikopter yang itu sudah ada lima, dan itu relatif baru," ujarnya.

Sehari setelah pulang dari Paris, Perancis, untuk menghadiri KTT Perubahan Iklim, pada Kamis (3//12) Presiden Joko Widodo langsung memberi pengarahan kepada para menteri terkait pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) termasuk rencana pengadaan helikopter bagi TNI-AU.

"Untuk membangun kekuatan pertahanan, kita harus memenuhi kebutuhan alutsista secara terpadu baik di AL, AU, maupun AD dan di kepolisian," kata Presiden Jokowi.

Salah satu hasil rapat tersebut Presiden tidak menyetujui rencana pembelian helikopter Marlin AW 101 buatan luar negeri. Salah satu pertimbangannya helikopter yang ada saat ini masih bisa digunakan, dan harga helikopter baru yang terlalu tinggi.

"Dengan berbagai masukan yang ada, Presiden memutuskan tidak menyetujui rencana pembelian helikopter itu," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung usai rapat.

Pramono menyebutkan sejumlah pertimbangan, pertama Presiden beranggapan helikopter yang ada masih bisa digunakan. "Kedua, dengan kondisi keuangan sekarang, harganya dianggap terlalu tinggi," ucapnya.

Ia menyebutkan Presiden tetap akan menggunakan helikopter yang ada, walapun perlu dipikirkan untuk memiliki "back up" (cadangan) helikopter karena saat ini tidak ada "back up".

"Arahan Presiden adalah agar digunakan asembling atau karoseri yang bisa dibuat putra bangsa sendiri," ujar Pramono.

"Saat ini kita gunakan helikopter Superpuma rakitan PT DI," tambah Pramono.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, mengatakan rencana pembelian Helikopter AW-101 yang telah masuk dalam rencana strategis TNI AU 2015-2019 ditunda karena kondisi perekonomian saat ini kurang baik.

"Jadi begini, bukan dibatalkan, untuk heli (ada) beberapa alternatif. Ada Agusta (AW) dan Super Puma," ujar Panglima TNI usai olah raga bersama di Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (4/12).

Sementara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan tidak mempermasalahkan terkait keputusan Presiden Joko Widodo tersebut. "Terserah, itu pilihan presiden, presiden tidak mau ya tidak apa-apa," kata Ryamizard

Menurut Menhan, keputusan dari presiden itu sudah baik dengan adanya pertimbangan-pertimbangan.

Menanggapi ditundanya pembelian helikopter VVIP buatan luar negeri, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Budi Santoso menyatakan pihaknya siap membuat helikopter kepresidenan jika suatu waktu diminta oleh Presiden Joko Widodo.

"Kalau diperintahkan presiden kita siap. Jadi, apa pun yang dianggap terbaik kami laksanakan," kata Budi.

Sebelumnya, Budi mengatakan PT Dirgantara Indonesia telah mampu membuat helikopter antipeluru tipe EC-725 Cougar yang bisa digunakan sebagai kendaraan Presiden dan Wakil Presiden RI.

"Helikopter Airbus EC-725 sangat direkomendasikan bagi VVIP yakni Presiden dan Wakil Presiden, dan lebih unggul dibandingkan buatan Italia," ujar Direktur Produksi PTDI Arie Wibowo saat memamerkan Helikopter EC-725 yang 20 persen bagiannya adalah buatan lokal, di hanggar PTDI, Bandung.

Arie menyampaikan helikopter EC-725 telah di desain sebagai helikopter antipeluru, terutama pada badan heli bagian samping dan bawah.

Helikopter EC-725 telah digunakan sedikitnya 32 kepala negara, sementara AW-101 digunakan empat kepala negara.

Namun bagi PT DI perlu memperhatikan ketepatan waktu jika BUMN tersebut diserahkan untuk membuat helikopter tersebut. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman kurang mengenakan dari TNI AU.

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna pernah menyatakan kinerja PT Dirgantara Indonesia lamban karena ada beberapa pesanan TNI AU yang belum dikirimkan.

"Seperti pesanan enam unit helikopter Super Cougar atau yang juga dikenal sebagai Eurocopter EC725 Caracal untuk rencana strategis (renstra) I pada 2010-2014, seharusnya datang pada Mei 2015 lalu," kata Agus saat menghadiri HUT Korpri ke-44 di Mabes TNI AU, Cilangkap (30/12).

Dari pesanan enam unit helikopter transportasi taktis jarak jauh itu, sudah ada beberapa yang siap dikirimkan. Namun, TNI AU tidak mau menerima jika pesanan belum lengkap.

Kontrak ditandatangani pada tahun 2012 dan seharusnya selesai dalam waktu 38 bulan, sehingga perjanjian pun diamendemen sehingga waktunya mundur.

"Sudah masuk sebelumnya di PT DI, tapi belum kami terima karena ada pending item. Semoga tahun 2016 bisa masuk dua unit," ungkap KSAU.
 

  Antara  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.